Rabu, 20 Februari 2013

Kontestasi Pemaknaan Bhawana Dalam Masyarakat Buddhis Dusun Joyo


Kontestasi Pemaknaan Bhawana Dalam Masyarakat Buddhis
Dusun Joyo


Perkembangan zaman sangat berpengaruh besar bagi perubahan pola pikir manusia. Kemajuan teknologi yang digunakan untuk memudahkan pekerjaan maupun  aktifitas manusia yang kian pesat merupakan salah satu dampak dari perkembangan zaman. Dengan adanya perkembangan zaman akan memberikan manfaat besar apabila didasari dengan penggunaan teknologi secara  bijaksana. Selain itu, Setiap aktifitas yang disertai dengan teknologi tentunya akan memperoleh hasil yang lebih maksimal. Sebaliknya, teknologi tersebut akan berdampak buruk apabila seseorang yang memanfaatkannya diliputi oleh adanya faktor lobha, dosa dan moha yang menggebu-gebu. Sejalan dengan perkembangan zaman, dengan adanya perkembangan teknologi memberikan dampak yang besar bagi  daya pikir manusia yang lebih bersifat praktis jalam menjalani kehidupan. Begitu pula pemaknaan Bhavana, pola pikir dalam pemaknaan Bavana pun mulai bergeser dari Bhavana yang bersifat praksis kedalam Bhavana yang didasari catatan-catatan sebagai pedoman dalam pelaksanaan Bhavana.
Sejak awal kotbah Sang Buddha tidak bisa terlepas praktik Bhavana. Sejak zaman Buddha prakik Bhavana telah diwariskan turun temurun sebagai sarana untuk pembebasan diri dari dukkha. Pelaksanaan  Bhavana yang awalnya dipraktikan secara langung oleh masyarakat sebagai pengalaman hidup.setiap orang yang inggin belajar Bhavana harus melaksanakan Bhavana yang diajarkan oleh Sang Buddha hingga mencapai tingkatan-tingkatan dalam meditasi baru menyimpulkan kebahagiaan yang diperoleh dari pelaksanaan samadhi. Sejalan dengan perkembangan zaman dengan masuknya pengaruh kebudayaan yunanai memberi nuansa pemaknaan tersendiri dalam pelaksanaan Bhavana. Kebudayaan bangsa India yang awalnya bersifat praksis yang lebih mengutamakan praktik langsung dalam memperoleh kesucian dengan masuknya kebudayaan yunani yang lebih bersifat teoritis berdampak dalam pemaknaan Bhavana di masyarakat. Dengan adanya pengaruh kebudayaan yunani yang menjabarkan praktik Bhavana dalam bentuk catataan teori-teori tentang Bhavana akan lebih memudahkan masyarakat untuk lebih mendalami praktik samadhi.
Teori-teori yang diajarkan tentunya kian berkembang dimasyarakat. Pengaruh kebudayaan yunani memberikan manfaat yang besar bagi pemaknaan Bavana. Dengan  pembukuan memberikan peluang masyarakat untuk mendalami Bhavana terlebih dahulu sebelum pelaksanaan Bavana di lapangan secara langsung. Sejalan perkembangan Ajaran Buddha yang kian berkembang, pemahaman antara orng tua dan anak muda di suatu tempat tentu ada sedikit perbedaan. Akan tetapi, tujuan pelaksanaan Bhavana tetap sama yaitu sebagai upaya untuk membebaskan diri dari penderitaan. Tulisan tentang Kontestasi Pemaknaan Bhawana Dalam Masyarakat Buddhis ini dihadirkan guna memberikan pengetahuan kepada masyarakat tentang bagaimana umat Buddha memaknai istilah Bhavana.
Dalam ajaran Buddha Bhavana merupakan sarana yang baik untuk mengembangkan kesadaran. Kesadaran dimunculkan melalui praktik Bhavana dengan memperatikan obyek yang digunakan. Pelaksanaan Bhavana akan dapat mendorong seseorang menuju penerangan sempurna. Pelaksanaan Bhavana harus berlandasan pada pengertian benar. Dengan adanya pengertian benar dalam penggunaan obyek akan dapat mempermudah seseorang untuk melaksanaaan Bhavana. Pengertian benar mengenai obyek  yang digunakan sangat membantu seseorang pencapaian penerangan sempurna. Dalam tahap awal untuk pencapaian penerangan sempurna, seseorang haruslah memahami istilah Bhavana terlebih dahulu sebagai pondasi dasar menuju pembebasan dari penderitaan.
Pemahaman seseorang terhadap istilah Bhavana tentunya sangat dipengaruhi oleh banyak faktor yang meliputinya. Faktor pendidikan merupakan salah satu faktor yang memiliki peran penting untuk memperoleh pemahaman yang tepat tentang Bhavana. Seseorang yang memiliki pendidikan yang tinggi serta menjurus pada agama Buddha tentu akan memudahkan mereka untuk memaknai istilah Bhavana yang benar. Dengan adanya pemaknaan yang benar akan memudahkan seseorang untuk mengaplikasikan teori Bhavana dalam kehidupan sehari-hari. Pengalaman pribadi dalam melakukan diskusi-diskusi dhamma akan berpengaruh pada pemaknaan masyarakat tentang Bhavana. Hasil diskusi mengenai Bhavana yang diterapkan dalam kehidupan sehari-hari dengan landasan pengertian benar akan memperkokoh keyakinan seseorang terhadap Bhavana. Dengan keyakinan tersebut akan mendorong seseorang  mempraktikan Bhavana demi tujuan pembebasan dari dukkha.
Pelaksanaan Bhavana dalam masyarakat tentu memiliki cara-cara tersendiri berbeda-beda. Menurut Mbah Sutiman (berusia sekitar 73 tahun) berpendapat bahwa Bhavana merupakan sarana untuk mengembangkan cinta kasih dalam diri. Dalam pelaksanaan Bhavana, seorang meditator mengucapkan istilah mugi-mugi sedoyo titah manggiho tentrem rahayu. Pada pelaksanan meditasi dengan obyek cintakasih, pikiran lebih diarahkan untuk mengulangi ucapan-ucapan tersebut secar rutin dan terus menerus didalam batin hingga pikiran terpusat pada obyek meditasi. Menurut Mbah Sutiman pelaksanaan Bhavana lebih kompleks kurang dipahami karena menurut pandangannya samadhi yang lebih kompleks cenderung dilaksanakan untuk para Bhikkhu yang meninggalkan kehidupan duniawi.
Penggunaan bahasa dalam penyampaian Bhavana menjadi salah satu hambatan Mbah Sutiman untuk mendalami Bhavana. Untuk memperdalam pengetahuan tentang Bhavana, Mbah Sutiman lebih mengandalkan informasi dari hasil dhammadesana yang disampaikan dalam bentuk bahasa Jawa. Bagi  Mbah sutiman, penggunaan bahasa sangat mempengaruhi beliau dalam memaknai Bhavana. Sehingga beliau kurang dapat memetik hasil dari dhammadesana apabila dhamma yang dibabarkan dalam bentuk bahasa indonesia.
 Perbedaan pelaksanaan Bhavana sangat dipengaruhi oleh seseorang yang membimbingnya. Dalam wawancara yang kedua, tertuju pada sosok Mbah Kurdi yang berusia sekitar 65 tahun mantan pengurus Vihara Vajra Bumi Dharma Sasana (sekarang menjadi nama Vihara Dharma Sasana) di Dusun Joyo, Desa Tlogo, Kecamatan tuntang. Selama perjalanannya dalam mengurusi Vihara Dharma Sasana sering terjadi perubahan aliran Buddha di vihara tersebut. Ketika dalam pengurusan awalnya berpedoman pada aliran Mahayana istilah Bhavana dalam pelaksanaannya sepertihalnya mengembangkan cinta kasih kepada semua makhluk. Obyek Metta menjadi obyek dasar untuk pelaksanaan Bhavana dalam kehidupan sehari-hari. Dalam pelaksanaan Metta Bhavana pikiran diarahkan untuk mendoakan agar semua makhluk hidup agar mendapatkan kebahagiaan. Istilah tersebut diulangi hingga pikiran terfokus pada obyek Bhavana.
Perubahan Aliran Mahayana ke dalam aliran Buddhayana memberi pengaruh pada pelaksanaan Bhavana yang diajarkan. Dalam ajaran Buddhayana pelaksanaan Bhavana lebih cenderung pada obyek pernafasan. Obyek meditasi pernafasan yang diajarkan oleh Buddhayana berupa meditasi sembilan nafas. Meditasi sembilan nafas lebih berupa mengamati dan hitungan nafas yang ditata secara sedemikian rupa sehingga pikiran terfokus pada obyek pernafasan. Pelaksanaan meditasi sembilan nafas menurut Mbah Kurdi dilaksanakan dengan cara memperhatikan ketika nafas masuk dari lubang hidung kanan dan keluar pada hidung kiri; nafas masuk dari lubang hidung kiri keluar dari lubang hidung kanan; selanjutnya bersama-sama menghirup nafas satu kali menggunakan kedua lubang hidung. Rangkaian mengamati nafas tersebut dihitung pada tahapan meditasi nafas yang pertama. Tahapan meditasi nafas yang kedua, proses pengambilan nafas serta pengeluaran nafas sama seperti sebelumnya akan tetapi pada saat mengirup nafas secara bersama-sama menggunakan kedua belah hidung, proses pengambilan nafas yang dilakukan bertambah menjadi dua hirupan nafas secara bersama-sama. Tahap meditasi pengambilan nafas yang ketiga dan seterusnya sampai pada tahapan nafas yang kesembilan prosesnya sama dengan sebelumnya, hanya saja saat menghirup menggunakan kedua belah hidung semakin meningkat. Uniknya pada meditasi sembilan nafas ini, untuk mengakhiri nafas yang kesembilan nafas yang dihirup harus berasal dari lubang hidung kanan dan dikeluarkan pada lubang hidung paling kiri. Proses pernafasan tersebut melambangkan bahwa sebelum keluar dari meditasi, seorang meditator telah mengeluarkan segala kekotoran batin melalui lubang hidung yang kiri.
Pelaksanaan meditasi sembilan nafas, pikiran diarahkan untuk selalu terfokus pada obyek meditasi. Ketika terjadi nafas masuk pelan pikiran diarahkan untuk menyadari proses nafas yang pelan dan dengan penuh kesadaran mengeluarkan nafas pun secara perlahan-lahan. Selain itu, dalam pelaksanaan meditasi sembilan nafas pikiran selalu diarahkan untuk memperhatikan nafas sehingga apabila ada kontak suara pikiran diarahkan untuk fokus pada obyek yang dipakai hingga telinga tidak mendengar sumber suara yang muncul.
Perubahan aliran Buddhayana dalam bentuk Zenfaocoung memberi pengalaman yang baru dalam pelaksanaan Bhavana. Menurut Mbah Kurdi pelaksanaan Bhavana dalam aliran Zenfaocoung mengarahkan pikiran melalui meditasi dalam bentuk visualisasi Dewi Kwan Im. Meditasi dalam bentuk visualisasi ini pikiran diarahkan pada sifat luhur dari Dewi Kwan Im yang memiliki sifat cinta kasih serta memiliki sifat yang welas asih kepada semua makhluk hidup. Selain itu dalam pelaksanaan meditasi dalam bentuk visualisasi pikiran juga diarahkan untuk merenungi keingginanya. Dengan kemurahan hati Dewi Kwan Im berharap supaya segala yang telah direncanakan dan diharapkan dapat dikabulkan. Sehingga dalam aliran Zenfaocoung menurut pandangan Mbah Kurdi masih memiliki kepercayaan selain untuk merenungi sifat-sifat luhur dari Dewi Kwan Im, pelaksanaan meditasi juga sebagai sarana dedongo (berdoa meminta berkah) kepada Dewi Kwan Im.
Perubahan aliran dari Zenfaocoung menjadi Theravada dalam pelaksanaan Bhavana dirasakan lebih ringan. Menurut Mbah Kurdi pelaksanaan samadhi pada aliran Theravada seperti halnya aliran mahayana yaitu dengan mengembangkan cinta-kasih kepada makhluk hidup. Dalam pelaksanaan Bhavana pernafasan tidak serumit pada aliran Buddhayana yang terdiri dari meditasi sembilan nafas. Pada aliran Theravada, meditasi pernafasan lebih mudah yaitu dengan memperhatian proses keluar masuknya nafas dari lubang hidung.
Dalam proses pelaksanaan Bhavana halangan yang terbesar berasal dari dalam diri sendiri. Seseorang yang ingin melaksanakan Bhavana harus meluangkan waktu mereka dari kesibukan dan harus memiliki kemauan yang keras untuk melaksanakan Bhavana. Menurut Mbah Kurdi, ketika seseorang memiliki kemauaan keras untuk melaksanakan Bhavana maka faktor-faktor yang lain akan lebih mudah untuk ditinggalkan. Sebaliknya seseorang tidak memilki kemauan untuk melaksanakan Bhavana, walaupun seseorang dengan susah payah membuat posisi paling nyaman serta mengkondisikan lingkungan kondusif  untuk meditasi, dalam pelaksanaan meditasi tetap saja tidak akan maksimal.  untuk mengurangi halangan yang muncul dari dalam diri berupa kemalasan, pikiran harus dikondisikan siap untuk melaksanakan meditasi. Sehingga dengan kondisi pikiran yang siap nantinya akan memudahkan seseorang untuk menerima kenyataan-kenyataan saat berlangsungnya Bhavana.
Pemahaman istilah Bhavana dalam masyarkat semakin meningkat. Peningkatan pemahaman Bhavana yang awalnya merupakan sarana dedongo sekarang lebih cenderung pada pemaknaan Bhavana sebagai sarana untuk memperoleh ketenangan batin.  Menurut Bpk. Isrun (berusia 44 tahun) selaku ketua Vihara Dharma Sasana mengakui bahwa perkembangan pola pikir masyarakat buddhis mulai terjadi perubahan yang lebih baik. Pada awal Ajaran Buddha masuk di dusun joyo sebagian besar masyarakat buddhis masih beranggapan bahwa Bhavana sebagai sarana untuk meminta berkah kepada Sang Yang Adhi Buddha supaya mendapatkan keselamatan dan kesehatan. Anggapan tersebut muncul disebabkan masuknya ajaran Buddha di Dusun Joyo tidak diimbangi dengan adanya panduan yang membimbing pelaksanaan Bhavana. Sejak adanya panduan dari Romo Puji (mantan bhikkhu Vijito) pola pikir masyarakat mulai memahami istilah Bhavana sebagai sarana untuk ketenangan batin, walaupun masih terdapat sebagian masyarakat yang masih beranggapan bahwa Bhavana sebagai sarana dedongo.
Pengalaman Bhavana yang Bpk. Isrun laksanakan tidak jauh berbeda dengan pengalaman pelaksanaan bhavana yang dilakukan oleh Mbah Kurdi. Selama perubahan aliran Buddha yang pernah terjadi, Bpk. Isrun juga merasakan Bhavana yang bermacam-macam. Akan tetapi, setelah perubahan ajaran Buddha di Dusun Joyo menjadi aliran Theravada belia sekarang lebih cenderung menggunakan Metta Bhavana dan Anapanasati sebagai sarana dalam memperoleh ketenangan batin. Menurut Bpk. Isrun dengan melaksanakan Bhavana beliau merasakan pikirannya lebih tenang dalam melakukan pekerjaan.
Saat melaksanakan bhavana kesibukan menjadi penghalang saat melaksanakan Bhavana. Sebagai seorang petani yang dituntut memenuhi kebutuhan keluarga menjadi penghalang saat akan melaksanakan bhavana. Dalam keseharian yang sibuk menurut bapak Isrun sangat sulit untuk mengembangkan Bhavana. Apabila dalam kesibukan dipaksakan untuk  melaksanakan Bhavana pikiranya selalu tertuju pada pekerjaan untuk memenuhi keluarganya. Dalam keadaan sibuk tentuya sangat sulit bagi beliau untuk melaksanakan Bhavana. Sehingga untuk melakukan Bhavana beliau cenderung mengunakan waktu-luang yang tepat serta tidak terlalu dipusingkan oleh pekerjaan.
Pemaknaan bhavana antara satu orang dengan orang lain yang memiliki jarak usia yang tidak terlalu jauh serta dengan latar belakang yang sama menimbulkan kemiripan dalam memaknai istilah bhavana. Menurut pandangan Ibu Ngatini (berusia 44 tahun) Bhavana merupakan proses duduk dengan keheningan. Dalam keheningan tersebut pikiran diarahkan untuk mengembangkan cinta kasih kepada semua makhluk hidup. Obyek cinta kasih dijadikan Ibu Ngatini sebagai obyek dasar dalam melaksanakan Bhavana. Menurut sepengetahuan Ibu Ngatini untuk memperoleh ketenangan batin seseorang harus mengembangkan obyek cinta kasih. Obyek cinta kasih tersebut ditujukan kepada semua makhluk dengan harapan supaya dalam saat ini diri beliau serta para makhluk hidup sama-sama mendapatkan kebahagiaan.
Dalam pelaksanaan Bhavana Ibu Ngatini mempunyai kesulitan tersendiri untuk mengkonsentrasikan pikiran. Dalam pelaksanaan Bhavana, saat mata mulai terpejam dalam beberapa saat kepala beliau merasakan pusing. Kepala pusing tersebut sering menjadi hambatan saat melaksanakan Bhavana. Untuk mengurangim rasa pusing Ibu Ngatini sering membuka matanya dengan harapan pusingnya akan sembuh. Akan tetapi saat mengulangi untuk memejamkan mata dalam rangka mengembangkan cinta kasih rasa pusing tersebut sering muncul saat memejamkan mata. Timbulnya kepala pusing saat pelaksanaan bhavana membuat Ibu Ngatini jarang melaksanakan Bhavana. Kalaupun dalam kondisi tertentu setelah puja bakti masyarakat Buddhis melaksanakan Bhavana, beliau hanya menyempatkan beberapa saat untuk memejamkan mata mengembangkan cinta kasih dan dalam tempo yang singkat beliau segera membuka mata agar tidak pusing.
Pengaruh pendidikan mempunyai peran penting dalam memaknai istilah bhavana. Seseorang yang memiliki pendidikan akan lebih cenderung memberikan pemahaman seperti halnya yang pernah guru mereka ajarkan. Menurut Ari (usia 20 tahun) istilah Bhavana dibedakan menjadi dua macam yaitu Samatha Bhavana serta Vipassana Bhavana. Seseorang yang melaksanakan Samatha bhavana bertujuan untuk memperoleh ketenangan batin sedangkan Vipassana Bhavana cenderung ditujukan untuk memperoleh pandangan terang.  
Pelaksanaan bhavana dalam kehidupan sehari-hari Ari lebih cenderung menggunakan Samatha bhavana. Dalam pelaksanaan Samatha Bhavana menurut pandangan Ari lebih mudah dari pada pelaksanaan Vipassana Bhavana. Dalam Samatha Bhavana yang sering beliau gunakan adalah dengan mengembangkan cinta kasih serta mengamati proses keluar masuknya nafas lewat hidung. Untuk pelaksanaannya kedua obyek Samatha Bhavana tersebut lebih mudah dalam memperoleh panduannya. Panduan tersebut mudah diperoleh lewat diskusi dengan teman maupun dari buku bacaan yang sudah tersebar luas. Sedangkan obyek samatha bhavana yang lain sangat sulit untuk mencari panduannya sehingga takutnya kalau salah langkah dapat menyesatkannya. Menurut Ari: “dari pada melaksanakan Bhavana yang kurang mendapat panduan yang menyebabkan tersesat, lebih baik melaksanakan Bhavana yang sudah banyak panduanya toh tujuan akhirnya sama”. Selain kurangnya refrensi, yang menjadi hambatan terbesar dalam diri Ari lebih cenderung pada ketakutan untuk melakukan Bhavana. Ketakutan akan terjerumus dalam Bhavana yang menyesatkan membuat Ari jarang untuk mengubah obyek dalam upaya mengembangkan Bhavana. Sehingga dalam pelaksanaannya Ari lebih cenderung menggunakan obyek samadhi yang dia ketahui.
Pandangan dalam memaknai istilah Bhavana yang Ari ungkapkan tidak jauh berbeda dengan pandangan Rani. Menurut Rani (berusia 19 tahun) mengartikan istilah bhavana sebagai konsentrasi. Dalam konsentrasi, seseorang harus memfokuskan pikiran pada suatu obyek. Obyek yang digunakan pun bermacam-macam yang terdiri dari 40 kammatthanha. Diantara 40 kammatthanha sebagai obyek meditasi, Rani lebih cenderung menggunakan bhavana cinta kasih serta bhavana dengan obyek mengamati keluar masuknya nafas. Dasar dalam menggunaan obyek bhavana tersebut dikarenakan obyek cinta kasih serta obyek dengan mengamati keluar masuknya nafas pelaksanaannya lebih simpel serta mudah untuk dipraktekan dalam kehidupan sehari-hari. Rani mengakui bahwa walaupun dalam proses belajarnya dulu pernah mendapat pelajaran tentang teori meditasi akan tetapi untuk pelaksanaannya samadhi yang benar-benar mendalam belum begitu mengetahuinya. Sehingga untuk pelaksanaan Bhavana dalam kehidupan sehari-hari Rani cenderung menggunakan obyek cinta kasih serta obyek dengan mengamati proses keluar masuknya nafas yang pelaksanaannya lebih simpel.
Pelaksanaan Bhavana terdapat rintangan yang dalam pandangan Rani berupa palibodha. Menurut Rani untuk melaksanakan bhavana yang baik, seseorang harus berusaha untuk mengkondisikan suasana tempat untuk melakukan Bhavana terbebas dari gangguan-gangguan dari luar. Dengan menghindari gangguan-gangguan dari luar tersebut akan dapat memudahkan seseorang untuk melakukan Bhavana. Selain itu, seseorang yang inggin melakukan Bhavana harus mempunyai semagat yang besar. Dengan adanya semangat akan dapat memberi dorongan dari dalam diri untuk untuk menjalankan bhavana. Selain itu, dengan adanya semangat akan semakin memberikan kegigihan dalam pelaksanaan Bhavana. Sehingga dengan adanya semangat, seseorang tidak mudah menyerah saat terjadi kesemutan. Bahkan dapat menjadikan kesemutan sebagai teman setia yang mengiringi proses meditasi.
Dari hasil wawancara tersebut, dapat ditarik pemahaman bahwa istilah bhavana lebih mengarah pada obyek meditasi cinta kasih dan obyek pernafasan. Istilah cinta kasik (metta) dalam ajaran Buddha memiliki sifat yang universal. Metta (bhs. Pali) memiliki banyak arti, di antaranya kasih, sikap bersahabat, itikad baik, kemurahan hati, persaudaraan, toleransi, dan sikap tanpa-kekerasan.   Para komentator kitab suci Pali menjelaskan istilah metta sebagai dambaan bagi setiap makhluk untuk memperoleh kesejahteraan dan kebahagiaan (parahita-parasukhakamana). Intinya, metta adalah tindakan kasih yang dibedakan dari keramah-tamahan sebagai kedok kepentingan pribadi. Sehingga Metta dalam pengertiannya memiliki arti  kasih yang universal, tidak terbatas, dan bebas dari sikap mementingkan diri sendiri.
Dengan menjalankan Metta menjadikan seseorng sumber rasa aman dan tentram bagi makhluk lain. Seperti seorang ibu yang mempertaruhkan hidup untuk melindungi anaknya, begitu pula metta menjelma dalam tindakan memberi, yang tidak mengharapkan balasan. Kualitas-kualitas cinta kasih dalam diri seseorang dapat diperkuat dengan meditasi metta bhavana (meditasi dengan objek kasih universal). Dalam pelaksanaan Metta Bhavana, pikiran diarahkan untuk mengembangkan sifat-sifat dari cinta kasih yang bersifat universal. Dengan mengembangkan Metta Bhavana hasilnya adalah suatu kekuatan batin yang menakjubkan, yang akan menjaga, melindungi, dan bermanfaat bagi diri sendiri dan bagi makhluk lain.
Istilah Bhavana yang kedua mengarak pada pengertian dari anapanasati. Dalam Bavana menggunakan obyek pernafasan, pikiran diarahkan untuk mengamati setiap keluar masuknya nafas. Ketika sedang menghirup nafas  pikiran diarahkan untuk mengamati nafas yang masuk dari hidung. Begitu pula ketika sedang mengeluarkan nafas, pikiran juga diarahkan untuk mengamati nafas yang sedang keluar dari hidung.
Dari hasil wawancara yang penulis laksanakan terhadap beberapa orang yang memiliki usia diantara 60 tahun sampai 80 tahun, mereka memiliki pemaknaan Bhavana yang lebih cenderung pada pengalaman pribadi selama menjadi umat Buddha. Pengalaman awal dalam pelaksanaan Bhavana yang diperoleh dari aliran Mahayana. Aliran Mahayana merupakan cikal bakal masuknya ajaran Buddha di dusun joyo. Aliran Mahayana yang membawa praktik Metta Bhavana sangat mengakar kuat pada pribadi sesepuh umat Buddha di dusun joyo. Hingga kini, Metta Bhavana masih dominan dipraktikan oleh setiap pribadi masyarakat. Selain itu, pengaruh seringnya perubahan aliran ajaran Buddha memberikan pengalaman tersendiri bagi para sesepuh dalam mempelajari praktik bhavana. Dengan adanya perubahan aliran ajaran Buddha mereka merasakan adanya pengalaman baru dalam melaksanakan praktik Bhavana. Sehingga dari pengalaman Bhavana yang pernah mereka jalani, mereka dapat menentukan pilihan Bhavana yang paling cocok dalam kehidupan serta kesehariannya saat ini.
Bagi seseorang yang berusia dianatra 40 tahun sampai 50 tahun, mereka lebih cenderung pada pelaksanaan bhavana yang mulai berkembang saat ini. Pengalaman seringnya perubahan aliran agama Buddha yang terjadi di Dusun Joyo, awalnya memunculkan persepsi untuk mewajibkan mengikuti cara Bhavana yang dibawa oleh masing-masing sekte. Dalam perkembanganya, dengan semakin banyaknya sumber informasi yang mereka peroleh, mengubah cara pandangan mereka dalam melaksanakan Bhavana. Dalam pelaksanaanya bhavana mereka sekarang lebih cenderung untuk menggunakan metta bhavana yang diajarkan sejak dahulu. Akan tetapi dalam pelaksanaan Bhavana tidak hanya monoton metta bhavana semata. Dalam kesempatan hari berikutnya mereka juga menggunakan obyek pernafasan yang diajarkan oleh aliran Theravada. Pengaruh obyek pernafasan dari aliran Theravada memberikan sumbangsih pada proses pelaksanaan Bhavana. Ajaran Theravada dalam menerapkan Bhavana dengan obyek mengamati proses keluar masuknya nafas tidak sebegitu sulit dibandingkan dengan obyek sembilan nafas yang diajarkan Buddhayana terdahulunya. Dengan praktik yang simpel membuat sebagian orang mulai tertarik pada obyek pernafasan yang diajarkan oleh aliran Theravada.
Pemahaman seseorang yang berusia 19 tahun sampai 30 tahun, dalam memaknai istilah Bhavana lebih cenderung pada ilmu pengetahuan yang diperoleh melalui penddikan agama di bangku sekolahan. Dalam memaknai istilah cenderung tekstual seperti yang pernah mereka pelajari. Dalam sisi lain, pengetahuan yang diperlukan melalui pendidikan sangat diperlukan sebagai landasan dasar dalam pelaksanaan bhavana. Akan tetapi dari segi pengalaman untuk melaksanakan praktik Bhavana secara langsung dirasa masih kurang.

Rfrensi:
ü  Diputhera, Oka. 2004. Meditasi II. Jakarta : Vajra Dharma Nusantara.
ü  Asadhananda.___. Metta: Karaniya (Edisi Electronic-Book)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar