Cattari
Aryiasaccani
(Empat Kebenaran Mulia)
Kotbah tentang Empat Kebenaran Mulia pertama kali dibabarkan Guru Buddha
dalam Dhammacakkappavattana Sutta.
Kotbah mtersebut disampaikan Guru Buddha di Taman Rusa Isipatana, pada
bulan Asalha (asadha) kepada Lima
Bhikkhu Pertama (Panca Vaggiya Bhikkhu). Didalam Empat Kebenaran Mulia terdiri dari:
1. Kebenaran Ariya tentang Dukkha (Dukkha Ariya Sacca)
Kata ”dukkha” yang berasal dari bahasa Pali, yang sukar sekali untuk diwakilkan secara tepat
oleh satu kata dalam bahasa Indonesia maupun bahasa Inggris. Karena istilah
dukkha memiliki makna yang dalam. Secara etimologi berasal dari kata ”du” yang
berarti sukar dan kata ”kha” yang berarti dipikul, ditahan. Jadi kata ”du-kha”
berarti sesuatu atau beban yang sukar untuk dipikul. Pada umumnya dukkha dalam
bahas Indonesia diartikan sebagai penderitaan, ketidakpuasan, beban hidup.
Konsep dukkha dipandang dari beberapa sudut, dibedakan menjadi tiga yang
meliputi:
Ø
Dukkha-dukkhä
adalah ketidakpuasan atau
penderitaan yang alami dirasakan tubuh dan batin, seperti: lahir, usia tua,
mati, kesedihan, ratap-tangis, penderitaan keputus-asaan, berkumpul dengan yang
tidak disenangi, berpisah dengan yang
dicintai dan tidak mendapat apa yang diingginkannya. Semua bentuk penderitaan
(jasmani dan mental) tersebut secara umum dapat dialami oleh semua makluk.
Ø
Viparinäma-dukkhä
adalah ketidakpuasan atau penderitaan yang tidak lepas dari adanya perubahan, seperti kondisi perasaan bahagia, yang dirasakan cepat atau lambat akan mengalami perubahan.
adalah ketidakpuasan atau penderitaan yang tidak lepas dari adanya perubahan, seperti kondisi perasaan bahagia, yang dirasakan cepat atau lambat akan mengalami perubahan.
Ø
Sankhärä-dukkhä
adalah ketidakpuasan atau penderitaan yang berhubungan dengan Lima Kelompok Kemelekatan (Pancakhanda), seperti perasaan susah karena tidak dapat menikmati makanan enak yang dipicu karena adanya indera pengecap yang merupakan salah satu dari Lima Kelompok Kemelekatan (Pancakhanda).
adalah ketidakpuasan atau penderitaan yang berhubungan dengan Lima Kelompok Kemelekatan (Pancakhanda), seperti perasaan susah karena tidak dapat menikmati makanan enak yang dipicu karena adanya indera pengecap yang merupakan salah satu dari Lima Kelompok Kemelekatan (Pancakhanda).
2. Kebenaran Ariya tentang Asal Mula Dukkha (Dukkha
Samudaya Ariya Sacca)
Pada bagian ini Guru Buddha menjelaskan bahwa sumber
dari dukkha atau penderitaan adalah
tanhâ, yaitu nafsu keinginan yang tidak ada habis-habisnya. Tanha dapat diibaratkan seperti candu atau
opium yang menimbulkan dampak ketagihan
bagi yang memakainya terus-menerus, dan semakin lama akan merusak fisik maupun mental si pemakai. Tanha juga
dapat diibaratkan seperti air laut yang asin
yang jika diminum untuk menghilangkan haus justru rasa haus tersebut semakin bertambah.
Ada tiga bentuk tanhä, yaitu:
Ø
Kämatanhä : adalah ketagihan akan kesenangan indriya, ialah ketagihan akan :
Bentuk-bentuk (indah), suara-suara (merdu), wangi-wangian, rasa-rasa (nikmat), sentuhan-sentuhan (lembut), bentuk-bentuk pikiran.
Bentuk-bentuk (indah), suara-suara (merdu), wangi-wangian, rasa-rasa (nikmat), sentuhan-sentuhan (lembut), bentuk-bentuk pikiran.
Ø
Bhavatanhä: adalah ketagihan untuk lahir kembali sebagai manusia yang berdasarkan pada kepercayaan yang mengatakan
tentang adanya "atma (roh) yang
kekal dan terpisah" (attavada).
Ø
Vibhavatanhä: adalah ketagihan untuk memusnahkan diri, yang
berdasarkan kepercayaan yang mengatakan
bahwa setelah manusia meninggal maka berakhirlah segala riwayat tiap-tiap
manusia (ucchedaväda).
3.
Kebenaran Ariya tentang Terhentinya Dukkha (Dukkha Nirodha Ariya
Sacca)
Guru Buddha menjelaskan bahwa dukkha bisa dihentikan
yaitu dengan cara menyingkirkan tanhä
sebagai penyebab dukkha. Ketika tanhä telah disingkirkan, maka musnahnya
kesenangan tersebut tanpa sisa, terlepasnya kesenangan, bertolaknya kesenangan
, terbebas dari kesenangan, tidak terikat oleh kesenangan. Dengan menyingkirkan
tanhä, kita akan terbebas dari semua
penderitaan (bathin). Keadaan ini dinamakan Nibbana.
Guru Buddha menjelaskan bahwa terdapat 2
elemen/jenis Nibbana, yaitu :
Ø
Sa-upadisesa-Nibbana
Nibbana masih bersisa. Yang dimaksud dengan bersisa di sini adalah masih adanya pancakhanda. Ketika Petapa Gotama mencapai Penerangan Sempurna dan menjadi Buddha, Beliau dikatakan telah dapat mencapai Sa-upadisesa-Nibbana tetapi masih memiliki pancakhanda (jasmani, kesadaran, bentuk pikiran, pencerapan dan perasaan). Sa-upadisesa-Nibbana juga dapat dikatakan sebagai kondisi batin (state of mind) yang murni, tenang, dan seimbang.
Nibbana masih bersisa. Yang dimaksud dengan bersisa di sini adalah masih adanya pancakhanda. Ketika Petapa Gotama mencapai Penerangan Sempurna dan menjadi Buddha, Beliau dikatakan telah dapat mencapai Sa-upadisesa-Nibbana tetapi masih memiliki pancakhanda (jasmani, kesadaran, bentuk pikiran, pencerapan dan perasaan). Sa-upadisesa-Nibbana juga dapat dikatakan sebagai kondisi batin (state of mind) yang murni, tenang, dan seimbang.
Ø
An-upadisesa-Nibbana
Nibbana tanpa sisa. Setelah meninggal dunia, seorang Arahat akan mencapai anupadisesa-nibbana, ialah Nibbana tanpa sisa atau juga dinamakan Pari-Nibbana, dimana tidak ada lagi pancakhanda (jasmani, kesadaran, bentuk pikiran, pencerapan dan perasaan), tidak ada lagi sisa-sisa dan sebab-sebab dari suatu bentuk kemunculan. Sang Arahat telah beralih ke dalam keadaan yang tidak dapat dilukiskan dengan kata-kata. Hal ini dapat diumpamakan dengan padamnya api dari sebuah pelita, kemanakah api itu pergi ? Hanya satu jawaban yang tepat, yaitu ‘tidak tahu’. Ketika Guru Buddha mangkat/wafat, Beliau dikatakan telah mencapai anupadisesa-nibbana.
Nibbana tanpa sisa. Setelah meninggal dunia, seorang Arahat akan mencapai anupadisesa-nibbana, ialah Nibbana tanpa sisa atau juga dinamakan Pari-Nibbana, dimana tidak ada lagi pancakhanda (jasmani, kesadaran, bentuk pikiran, pencerapan dan perasaan), tidak ada lagi sisa-sisa dan sebab-sebab dari suatu bentuk kemunculan. Sang Arahat telah beralih ke dalam keadaan yang tidak dapat dilukiskan dengan kata-kata. Hal ini dapat diumpamakan dengan padamnya api dari sebuah pelita, kemanakah api itu pergi ? Hanya satu jawaban yang tepat, yaitu ‘tidak tahu’. Ketika Guru Buddha mangkat/wafat, Beliau dikatakan telah mencapai anupadisesa-nibbana.
4. Kebenaran Ariya tentang Jalan yang Menuju Terhentinya
Dukkha
(Dukkha Nirodha Ariya Sacca)
(Dukkha Nirodha Ariya Sacca)
Guru Buddha menjelaskan bahwa ada Jalan atau Cara
untuk menghentikan dukkha dengan
menempuhnya melalui Jalan Mulia Berunsur Delapan (Ariya Atthangika magga), yang
meliputi:
a. Pengertian Benar (Sammaditthi): melihat segala
sesuatunya sebagaimana adanya, sesuai dengan sifat aslinya, dalam hal ini
merupakan pengertian yang dalam dan nyata (pativedha). Jadi bukan pengertian
yang diperoleh berdasarkan data semata (anumubodha).
b. Pikiran Benar (Sammasankappo):pikiran yang mengarah
pada pelepasan, penuh cinta-kasih dan tanpa kekerasan pada semua makhluk.
c. Ucapan Benar (Sammavaca): bebas dari berkata bohong,
fitnah berkata kasar, dan omong kosong.
d. Perbuatan Benar (Sammakammanto): perbuatan bebas dari 10 perbuatan jahat
e. Penghidupan Benar (Sammaajivo): terbebas dari empat
mata pencaharian yang salah
f. Usaha Benar (Sammavayamo): mengembangkan empat usaha
benar
g. Perhatian Benar (sammasati): rajin, berperhatian murni
pada empat dasar perhatian murni.
h. Konsentrasi Benar (Sammasamadhi): mengembangkan batin
hingga mencapai tingkatan-tingkatan jhana.
Jalan Menuju Terhentinya Dukkha dapat dikelompokkan menjadi 3 kelompok, yaitu :
Ø Kebijaksanaan (Panna):Pengertian Benar
(sammä-ditthi), Pikiran Benar (sammä-sankappa)
Ø Kemoralan (Sila): Ucapan Benar (sammä-väcä),
Perbuatan Benar (sammä-kammanta), Pencaharian Benar (sammä-ajiva)
Ø Konsentrasi (Samädhi) Daya-upaya Benar
(sammä-väyäma), Perhatian Benar (sammä-sati), Konsentrasi Benar (sammä-samädhi)
Kesimpulan:
Dengan menyadari akan Cattari Ariyasaccani, seseorang dapat menggunakan landasan
tersebut sebagai sarana untuk mengembangkan potensi batin.pengembangan batin
tersebut dikembangkan melalui pemahaman akan
Empat Kebenaran Mulia. Pemahaman tersebut dipergunakan seseorang sebagai tahapan
dalam menempuh tujuan kenibanna melalui pempraktikan langsung dari Jalan
Tenggah Berunsur Delapan. Sehingga apabila Tenggah Berunsur Delapan praktik
secara sungguh-sungguh maka akan mendorong seseorang mencapai nibanna.
Refrensi:
_ _ _. 2005. Parita Suci.
Jakarta: Yayasan Sangha Theravada Indonesia.
Sumedho, Ven Ajahn._ _ _. Empat
Kebenaran Mulia. Yogyakarta: Vidyasena production.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar