Rabu, 20 Februari 2013

Cattari Aryiasaccani (Empat Kebenaran Mulia)


Cattari Aryiasaccani
(Empat Kebenaran Mulia)

Kotbah tentang  Empat  Kebenaran Mulia  pertama kali dibabarkan Guru Buddha dalam Dhammacakkappavattana Sutta. Kotbah mtersebut disampaikan Guru Buddha di Taman Rusa Isipatana, pada bulan Asalha (asadha)  kepada Lima Bhikkhu Pertama (Panca Vaggiya Bhikkhu). Didalam Empat  Kebenaran Mulia terdiri dari:
1.      Kebenaran Ariya tentang Dukkha (Dukkha Ariya Sacca)
Kata ”dukkha” yang berasal dari bahasa Pali, yang  sukar sekali untuk diwakilkan secara tepat oleh satu kata dalam bahasa Indonesia maupun bahasa Inggris. Karena istilah dukkha memiliki makna yang dalam. Secara etimologi berasal dari kata ”du” yang berarti sukar dan kata ”kha” yang berarti dipikul, ditahan. Jadi kata ”du-kha” berarti sesuatu atau beban yang sukar untuk dipikul. Pada umumnya dukkha dalam bahas Indonesia diartikan sebagai penderitaan, ketidakpuasan, beban hidup. Konsep dukkha dipandang dari beberapa sudut, dibedakan menjadi tiga yang meliputi:
Ø  Dukkha-dukkhä
adalah ketidakpuasan atau penderitaan yang alami dirasakan tubuh dan batin, seperti: lahir, usia tua, mati, kesedihan, ratap-tangis, penderitaan keputus-asaan, berkumpul dengan yang tidak disenangi,  berpisah dengan yang dicintai dan tidak mendapat apa yang diingginkannya. Semua bentuk penderitaan (jasmani dan mental) tersebut secara umum dapat dialami oleh semua makluk.
Ø  Viparinäma-dukkhä 
adalah ketidakpuasan atau penderitaan yang tidak lepas dari adanya perubahan, seperti kondisi perasaan bahagia, yang dirasakan cepat atau lambat akan mengalami perubahan.
Ø  Sankhärä-dukkhä
adalah ketidakpuasan atau penderitaan yang berhubungan dengan Lima Kelompok Kemelekatan (Pancakhanda),  seperti perasaan susah karena tidak dapat menikmati makanan enak yang dipicu karena adanya indera pengecap yang merupakan salah satu dari Lima Kelompok Kemelekatan (Pancakhanda).
2.      Kebenaran Ariya tentang Asal Mula Dukkha (Dukkha Samudaya Ariya Sacca)
Pada bagian ini Guru Buddha menjelaskan bahwa sumber dari dukkha atau penderitaan adalah tanhâ, yaitu nafsu keinginan yang tidak ada habis-habisnya. Tanha dapat diibaratkan seperti candu atau opium yang menimbulkan dampak ketagihan bagi yang memakainya terus-menerus, dan semakin lama akan merusak fisik maupun mental si pemakai. Tanha juga dapat diibaratkan seperti air laut yang asin yang jika diminum untuk menghilangkan haus justru rasa haus tersebut semakin bertambah.
Ada tiga bentuk tanhä, yaitu:
Ø  Kämatanhä : adalah ketagihan akan kesenangan indriya, ialah ketagihan akan :
Bentuk-bentuk (indah), suara-suara (merdu), wangi-wangian, rasa-rasa (nikmat), sentuhan-sentuhan (lembut), bentuk-bentuk pikiran.
Ø  Bhavatanhä: adalah ketagihan untuk lahir kembali sebagai manusia yang berdasarkan pada kepercayaan yang mengatakan tentang adanya "atma (roh) yang kekal dan terpisah" (attavada).
Ø  Vibhavatanhä: adalah ketagihan untuk memusnahkan diri, yang berdasarkan kepercayaan yang mengatakan bahwa setelah manusia meninggal maka berakhirlah segala riwayat tiap-tiap manusia (ucchedaväda).
3.      Kebenaran Ariya tentang Terhentinya Dukkha (Dukkha Nirodha Ariya Sacca)
Guru Buddha menjelaskan bahwa dukkha bisa dihentikan yaitu dengan cara menyingkirkan tanhä sebagai penyebab dukkha. Ketika tanhä telah disingkirkan, maka musnahnya kesenangan tersebut tanpa sisa, terlepasnya kesenangan, bertolaknya kesenangan , terbebas dari kesenangan, tidak terikat oleh kesenangan. Dengan menyingkirkan tanhä,  kita akan terbebas dari semua penderitaan (bathin). Keadaan ini dinamakan Nibbana.
Guru Buddha menjelaskan bahwa terdapat 2 elemen/jenis  Nibbana, yaitu :
Ø  Sa-upadisesa-Nibbana
Nibbana masih bersisa. Yang dimaksud dengan bersisa di sini adalah masih adanya pancakhanda. Ketika Petapa Gotama mencapai Penerangan Sempurna dan menjadi Buddha, Beliau dikatakan telah dapat mencapai Sa-upadisesa-Nibbana tetapi masih memiliki pancakhanda (jasmani, kesadaran, bentuk pikiran, pencerapan dan perasaan). Sa-upadisesa-Nibbana juga dapat dikatakan sebagai kondisi batin (state of mind) yang murni, tenang, dan seimbang.
Ø  An-upadisesa-Nibbana
Nibbana tanpa sisa. Setelah meninggal dunia, seorang Arahat akan mencapai anupadisesa-nibbana, ialah Nibbana tanpa sisa atau juga dinamakan Pari-Nibbana, dimana tidak ada lagi pancakhanda (jasmani, kesadaran, bentuk pikiran, pencerapan dan perasaan), tidak ada lagi sisa-sisa dan sebab-sebab dari suatu bentuk kemunculan. Sang Arahat telah beralih ke dalam keadaan yang tidak dapat dilukiskan dengan kata-kata. Hal ini dapat diumpamakan dengan padamnya api dari sebuah pelita, kemanakah api itu pergi ? Hanya satu jawaban yang tepat, yaitu ‘tidak tahu’. Ketika Guru Buddha mangkat/wafat, Beliau dikatakan telah mencapai anupadisesa-nibbana.
4.      Kebenaran Ariya tentang Jalan yang Menuju Terhentinya Dukkha 
(Dukkha Nirodha Ariya Sacca)
Guru Buddha menjelaskan bahwa ada Jalan atau Cara untuk menghentikan dukkha  dengan menempuhnya melalui Jalan Mulia Berunsur Delapan (Ariya Atthangika magga), yang meliputi:
a.       Pengertian Benar (Sammaditthi): melihat segala sesuatunya sebagaimana adanya, sesuai dengan sifat aslinya, dalam hal ini merupakan pengertian yang dalam dan nyata (pativedha). Jadi bukan pengertian yang diperoleh berdasarkan data semata (anumubodha).
b.      Pikiran Benar (Sammasankappo):pikiran yang mengarah pada pelepasan, penuh cinta-kasih dan tanpa kekerasan pada semua makhluk.
c.       Ucapan Benar (Sammavaca): bebas dari berkata bohong, fitnah berkata kasar, dan omong kosong.
d.      Perbuatan Benar (Sammakammanto): perbuatan  bebas dari 10 perbuatan jahat
e.       Penghidupan Benar (Sammaajivo): terbebas dari empat mata pencaharian yang salah
f.       Usaha Benar (Sammavayamo): mengembangkan empat usaha benar
g.      Perhatian Benar (sammasati): rajin, berperhatian murni pada empat dasar perhatian murni.
h.      Konsentrasi Benar (Sammasamadhi): mengembangkan batin hingga mencapai tingkatan-tingkatan jhana.
Jalan Menuju Terhentinya Dukkha dapat dikelompokkan menjadi 3 kelompok, yaitu :
Ø  Kebijaksanaan (Panna):Pengertian Benar (sammä-ditthi), Pikiran Benar (sammä-sankappa)
Ø  Kemoralan (Sila): Ucapan Benar (sammä-väcä), Perbuatan Benar (sammä-kammanta), Pencaharian Benar (sammä-ajiva)
Ø  Konsentrasi (Samädhi) Daya-upaya Benar (sammä-väyäma), Perhatian Benar (sammä-sati), Konsentrasi Benar (sammä-samädhi)
Kesimpulan:
Dengan menyadari akan Cattari Ariyasaccani, seseorang dapat menggunakan landasan tersebut sebagai sarana untuk mengembangkan potensi batin.pengembangan batin tersebut dikembangkan melalui  pemahaman akan Empat Kebenaran Mulia. Pemahaman tersebut dipergunakan seseorang sebagai tahapan dalam menempuh tujuan kenibanna melalui pempraktikan langsung dari Jalan Tenggah Berunsur Delapan. Sehingga apabila Tenggah Berunsur Delapan praktik secara sungguh-sungguh maka akan mendorong seseorang mencapai nibanna.
Refrensi:
_ _ _. 2005. Parita Suci. Jakarta: Yayasan Sangha Theravada Indonesia.
Sumedho, Ven Ajahn._ _ _. Empat Kebenaran Mulia. Yogyakarta: Vidyasena production.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar