Rabu, 20 Februari 2013

Homoseksualitas


Homoseksualitas
Sebagai seseorang yang menjalankan kehidupan duniawi, menikah dalam perspektif buddhis merupakan suatu hal yang wajar. Suatu pernikahan yang baik adalah pernikahan yang  didasari perasaan cinta yang datang dari dalam diri pasangan tersebut. Perasaan cinta  yang telah tumbuh dijaga dengan baik untuk menciptakan keharnonisan dalam rumah tangga. Dalam tahap selanjutnya perasaan cinta yang telah ada juga memerlukan pupuk yang berupa saling mengerti dan memahami setiap kelebihan maupun kekurangan pasangan hidupnya. Selain itu, suatu pernikahan sangat memerlukan suatu tindakan yang berani untuk mengambil keputusan yang tepat. Karena, dibalik kebahagiaan yang terdapat dari pernikahan terdapat suatu tanggung jawab yang besar untuk menjaga serta membina keutuhan rumah tangga.
Pasangan hidup dalam suatu pernikahan pada umumnya terdiri dari seorang laki-laki dan perempuan. Pasangan tersebut mempunyai peranan dan tanggung jawab masing-masing dalam keluarga. Pada dasarnya seorang laki-laki lebih mempunyai kecenderungan menjadi tulang punggung bagi keluarganya. Seorang laki-laki sebagai kepala keluarga serta menjadi tulang punggung keluarga  berkewajiban untuk bekerja untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Sedangkan seorang perempuan memiliki kecenderungan untuk menjaga dan mengurusan rumah tangga. Akan tetapi, dalam perkembangannya peranan dan tanggung jawab mereka didalam mengurusi rumah tangga sama. Sejalan perkembangan zaman sejak peradaban Yunani kuno dapat ditemukan pernikahan tidak hanya terjadi antara laki-laki dan perempuan semata, homosexsual atau pernikahan sesama antara laki-laki dengan laki-laki, maupun sebaliknya sesama antara perempuan dengan perempuan sudah dapat ditemukan. Adanya permasalahan homoseksual tersebut, banyak masyarakat yang mempertanyakan bagaimana agama Buddha memandang masalah homoseksualitas yang belakangan ini menimbulkan pro dan kontra di berbagai belahan dunia, khususnya Dunia Barat. Sedangkan untuk di Indonesia sendiri perdebatan mengenai masalah homoseksual belum besar. Tulisan ini dihadirkan guna memberikan penjelasan kepada masyarakat tentang Homoseksualitas, sehingga diharapkan kita sebagai umat Buddha tidak langsung menghakimi kaum homoseksual.
Di zaman modern ini, kita tentu tidak asing lagi mendengar kata homoseksualitas. Menurut KBBI istilah homoseksualitas mengacu pada kecenderungan untuk tertarik kepada orang yang sejenis, bisa sesama pria (gay) maupun sesama wanita (lesbian). Sedangkan kata homoseks sendiri mengacu pada hubungan seksual antara orang yang berjenis kelamin sama. Menurut agama buddha seks adalah ekspresi utama dari tanha atau napsu keingginan yang membawa dukkha. Oleh karena itu tujuan umat Buddha adalah berusaha untuk menekan napsu keingginan yang menggebu-gebu yang dapat menimbulkan penderitaan bagi diri sendiri maupun orang lain.
Homoseksualitas bukanlah perbuatan penyimpangan seksual. Masyarakat di Indonesia umumnya masih banyak yang beranggapan bahwa homoseksualitas adalah salah satu kelainan atau penyimpangan seksual dan tidak alami. Pandangan tersebut salah satunya dipengaruhi oleh keberagaman ajaran dan kepercayaan setempat yang berkembang di Indonesia. Setiap ajaran dan kepercayaan tentunya mempunyai pandangan-pandangan tersendiri dalam menyikapi permasalahan homoseksualitas. Sebagian ajaran dan kepercayaan tertentu masih beranggapan perbuatan homaseksualitas sebagai perilaku yang menjijikan, aneh, atau tidak wajar yang seharusnya tidak ada. Menyikapi adanya anggapan-anggapan tersebut, Ajaran Buddha dalam melihat segala hal selalu berdasarkan banyak pertimbangan serta tidak secara mutlak menghakimi suatu hal itu baik atau buruk, benar atau salah. Ajaran Buddha tidak mengatakan bahwa homoseksualitas sebagai suatu penyimpangan hanya karena ketertarikan seksual yang sejenis. Perilaku homoseksualitas seseorang dipengaruhi oleh banyak faktor, terutama lingkungan. Selain itu, Perilaku homoseksual adalah hasil dari genetis (bawaan sejak lahir) atau perkembangan sejak anak-anak dari seseorang. Ketertarikan seksual seseorang sudah terbentuk sejak ia masih kecil, sehingga pengalaman masa kecil seseorang bisa saja membuat orientasi seksualnya menjadi homoseksual atau heteroseksual.
Kasus homoseksualitas merupakan kasus yang alami yang terjadi dalam masyarakat. Kasus homoseksualitas banyak ditemukan di berbagai negara, suku maupun ras. Artinya memang alami terjadi pada masyarakat. Sejak zaman buddha dapat kita ketahui adanya kasus kaum homoseksual yang feminis yang disebut sebagai pandaka. Didalam Vinaya dikatakan bahwa seorang pandaka tidak diperbolehkan ditahbiskan menjadi seorang Bhikkhu. Apabila secara tidak sengaja telah ditahbiskan, orang tersebut akan dikeluarkan dari Sangha. Menurut penjelasan kitab, hal itu disebabkan karena para pandaka tersebut penuh dengan nafsu dan keinginan seksual. Kata pandaka sering diterjemahkan sebagai banci atau seorang homoseksual yang berperilaku seperti wanita. Buddha sendiri sangat memahami akan sifat manusia dan mengetahui bahwa para pandaka yang penuh nafsu seksual tersebut akan sangat sulit menjalankan hidup selibat daripada seorang heteroseksual, sehingga tidak memasukkannya sebagai anggota Sangha. Di dalam Vinaya dinyatakan dengan tegas bahwa seorang anggota Sangha dilarang berhubungan seksual, sehingga pandaka yang dimaksud tersebut tidak diperbolehkan masuk dalam komunitas Sangha
Etika seksualitas dalam agama buddha dapat kita ketahui di sila ketiga dalam Pancasila buddhis. Didalam pancasila buddhis sila ketiga berisikan tentang usaha menghindari perilaku seksual yang tidak wajar. Perzinahan merupakan suatu bentuk perilaku yang tidak wajar karena sebelum menikah seseorang sudah berjanji setia dengan pasangan hidupnya. Didalam sila ketiga terdapat 20 ciri-ciri seseorang yang tidak patut disetubuhi. Diantaranya 20 ciri-ciri tersebut meliputi: orang yang masih dibawah perlindungaan orang tua atau kerabatnya, wanita yang merupakan kerabat dekat yang dilarang dalam adat masyarakat, wanita yang menjalani hidup selibat/bhikkhuni, wanita yang sudah terikat janji pernikahan atau pertunangan dengan pria lain walaupun bersifat sementara, dst. Begitu pula dengan kaum homoseksualitas dapat kita telaah dengan cara yang sama seperti terhadap heteroseksual.
Dalam upaya menghindari hubungan seks yang salah, dalam kehidupan umat awam antara pria dan wanita harus menjalin suatu kesepakatan bersama. Kesepakatan bersama dalam menjalani kehidupan berumah tangga merupakan sebuah ungkapan cinta, rasa hormat, kehangatan dan kesetiaan, maka mereka tidak melanggar sila ke tiga Pancasila Buddhis. Begitu pula untuk dua orang yang berjenis kelamin sama yang saling menyukai. Selama mereka saling setia dan menghormat, tidak melakukan penyelewengan, itu berarti tidak melanggar sila ke tiga Pancasila Buddhis. Perlu kita pahami bahwa nafsu seksual atau libido seorang homoseksual tidak berbeda dengan seorang heteroseksual hanya orientasi seksualnya yang berbeda.
Dalam perkembangan zaman yang terus berkembang penerimaan terhadap kaum homoseksualitas mulai terjadi, terutama di negara-negara barat. Begitu pula untuk Masyarakat Buddhis Indonesia sendiri mulai menunjukkan toleransi terhadap kaum homoseksual, walaupun masih ada yang belum menerima dan memahaminya sepenuhnya konsep homoseksualitas. Dialam Ajaran Buddha memandang homoseksualitas sebagai sesuatu yang wajar dan tidak bisa disalahkan atau dibenarkan. Di dalam etika Buddhisme landasan berpikirnya adalah berdasarkan kebijaksanaan dan welas asih, bukan tradisi, tabu maupun tahayul yang berkembang dalam masyarakat. Selain itu, Buddha mengajarkan agar jangan terikat oleh nafsu seksual yang berapi-api. Perilaku seksual seharusnya dilakukan dengan wajar entah oleh seorang heteroseksual maupun homoseksual. Sehingga dengan adanya pandangan yang benar dalam menyikapi adanya kasus homoseksualitas, masyarakat dapat menelaah dan menjadi landasan kebijaksanaan dalam menanggapi adanya kasus-kasus lain seperti halnya kasus homoseksualitas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar