Homoseksualitas
Sebagai seseorang
yang menjalankan kehidupan duniawi, menikah dalam perspektif buddhis merupakan
suatu hal yang wajar. Suatu pernikahan yang baik adalah pernikahan yang didasari perasaan cinta yang datang dari dalam
diri pasangan tersebut. Perasaan cinta
yang telah tumbuh dijaga dengan baik untuk menciptakan keharnonisan
dalam rumah tangga. Dalam tahap selanjutnya perasaan cinta yang telah ada juga
memerlukan pupuk yang berupa saling mengerti dan memahami setiap kelebihan
maupun kekurangan pasangan hidupnya. Selain itu, suatu pernikahan sangat
memerlukan suatu tindakan yang berani untuk mengambil keputusan yang tepat. Karena,
dibalik kebahagiaan yang terdapat dari pernikahan terdapat suatu tanggung jawab
yang besar untuk menjaga serta membina keutuhan rumah tangga.
Pasangan hidup dalam
suatu pernikahan pada umumnya terdiri dari seorang laki-laki dan perempuan.
Pasangan tersebut mempunyai peranan dan tanggung jawab masing-masing dalam
keluarga. Pada dasarnya seorang laki-laki lebih mempunyai kecenderungan menjadi
tulang punggung bagi keluarganya. Seorang laki-laki sebagai kepala keluarga
serta menjadi tulang punggung keluarga berkewajiban untuk bekerja untuk memenuhi
kebutuhan keluarganya. Sedangkan seorang perempuan memiliki kecenderungan untuk
menjaga dan mengurusan rumah tangga. Akan tetapi, dalam perkembangannya peranan
dan tanggung jawab mereka didalam mengurusi rumah tangga sama. Sejalan
perkembangan zaman sejak peradaban Yunani kuno dapat
ditemukan pernikahan tidak hanya terjadi antara laki-laki dan perempuan
semata, homosexsual atau pernikahan sesama antara laki-laki dengan
laki-laki, maupun sebaliknya sesama antara perempuan dengan perempuan sudah
dapat ditemukan. Adanya permasalahan
homoseksual tersebut, banyak masyarakat yang mempertanyakan bagaimana agama
Buddha memandang masalah homoseksualitas yang belakangan ini menimbulkan pro
dan kontra di berbagai belahan dunia,
khususnya Dunia Barat. Sedangkan untuk di Indonesia sendiri perdebatan mengenai
masalah homoseksual belum besar. Tulisan ini dihadirkan guna memberikan
penjelasan kepada masyarakat tentang Homoseksualitas, sehingga diharapkan kita sebagai umat Buddha tidak langsung menghakimi kaum homoseksual.
Di zaman modern ini, kita tentu tidak asing lagi
mendengar kata homoseksualitas. Menurut
KBBI istilah homoseksualitas mengacu pada kecenderungan
untuk tertarik kepada orang yang sejenis, bisa sesama pria (gay)
maupun sesama wanita (lesbian).
Sedangkan kata homoseks sendiri mengacu pada hubungan seksual antara orang yang berjenis kelamin sama. Menurut agama buddha seks adalah ekspresi
utama dari tanha atau napsu keingginan yang membawa dukkha. Oleh karena itu
tujuan umat Buddha adalah berusaha untuk menekan
napsu keingginan yang menggebu-gebu yang dapat menimbulkan penderitaan bagi diri sendiri maupun orang lain.
Homoseksualitas bukanlah perbuatan penyimpangan seksual. Masyarakat di
Indonesia umumnya masih banyak yang beranggapan bahwa homoseksualitas adalah salah satu
kelainan atau penyimpangan seksual dan tidak alami. Pandangan tersebut salah
satunya dipengaruhi oleh keberagaman ajaran dan kepercayaan setempat yang
berkembang di Indonesia. Setiap ajaran dan kepercayaan tentunya mempunyai
pandangan-pandangan tersendiri dalam menyikapi permasalahan homoseksualitas.
Sebagian ajaran dan kepercayaan tertentu masih beranggapan perbuatan
homaseksualitas sebagai perilaku yang menjijikan, aneh, atau tidak wajar yang seharusnya tidak ada. Menyikapi adanya anggapan-anggapan
tersebut, Ajaran Buddha dalam melihat segala hal selalu berdasarkan banyak
pertimbangan serta tidak secara mutlak menghakimi suatu hal itu baik atau
buruk, benar atau salah. Ajaran Buddha tidak mengatakan bahwa homoseksualitas sebagai
suatu penyimpangan hanya karena ketertarikan seksual yang sejenis. Perilaku
homoseksualitas seseorang dipengaruhi oleh banyak faktor, terutama lingkungan. Selain
itu, Perilaku homoseksual
adalah hasil dari genetis (bawaan sejak lahir) atau perkembangan sejak
anak-anak dari seseorang. Ketertarikan seksual
seseorang sudah terbentuk sejak ia masih kecil, sehingga pengalaman masa kecil
seseorang bisa saja membuat orientasi seksualnya
menjadi homoseksual atau heteroseksual.
Kasus homoseksualitas
merupakan kasus yang alami yang terjadi dalam masyarakat. Kasus homoseksualitas
banyak ditemukan di berbagai negara, suku maupun ras.
Artinya memang alami terjadi pada masyarakat. Sejak zaman buddha dapat kita ketahui
adanya kasus kaum homoseksual yang feminis yang disebut
sebagai pandaka. Didalam Vinaya dikatakan bahwa seorang pandaka tidak
diperbolehkan ditahbiskan menjadi seorang Bhikkhu. Apabila secara tidak sengaja
telah ditahbiskan, orang tersebut akan dikeluarkan dari Sangha. Menurut
penjelasan kitab, hal itu disebabkan karena para pandaka tersebut penuh dengan
nafsu dan keinginan seksual. Kata pandaka sering diterjemahkan sebagai banci
atau seorang homoseksual yang berperilaku seperti wanita. Buddha sendiri sangat
memahami akan sifat manusia dan mengetahui bahwa para pandaka yang penuh nafsu
seksual tersebut akan sangat sulit menjalankan hidup selibat daripada seorang
heteroseksual, sehingga tidak
memasukkannya sebagai anggota Sangha. Di dalam Vinaya dinyatakan dengan tegas bahwa seorang
anggota Sangha dilarang berhubungan seksual, sehingga pandaka yang dimaksud
tersebut tidak diperbolehkan masuk dalam komunitas Sangha
Etika seksualitas dalam agama buddha dapat
kita ketahui di sila ketiga dalam Pancasila buddhis. Didalam pancasila buddhis
sila ketiga berisikan tentang usaha menghindari perilaku seksual yang tidak
wajar. Perzinahan
merupakan suatu bentuk perilaku yang tidak wajar karena sebelum menikah
seseorang sudah berjanji setia dengan pasangan hidupnya. Didalam sila ketiga terdapat 20
ciri-ciri seseorang yang tidak patut disetubuhi. Diantaranya 20 ciri-ciri
tersebut meliputi: orang yang masih dibawah perlindungaan orang tua atau
kerabatnya, wanita yang merupakan kerabat dekat yang dilarang dalam adat
masyarakat, wanita yang menjalani hidup selibat/bhikkhuni, wanita yang sudah
terikat janji pernikahan atau pertunangan dengan pria lain walaupun bersifat
sementara, dst. Begitu pula dengan kaum homoseksualitas dapat kita telaah dengan cara yang
sama seperti terhadap heteroseksual.
Dalam upaya menghindari hubungan seks yang
salah, dalam kehidupan umat awam antara pria dan wanita harus menjalin suatu
kesepakatan bersama. Kesepakatan bersama dalam menjalani kehidupan berumah
tangga merupakan sebuah ungkapan cinta, rasa hormat, kehangatan dan kesetiaan,
maka mereka tidak melanggar sila ke tiga Pancasila Buddhis. Begitu pula untuk dua orang
yang berjenis kelamin sama yang saling menyukai. Selama mereka saling setia dan
menghormat, tidak melakukan penyelewengan, itu berarti tidak melanggar sila ke
tiga Pancasila Buddhis. Perlu kita pahami bahwa nafsu seksual atau libido
seorang homoseksual tidak berbeda dengan seorang heteroseksual hanya orientasi seksualnya yang berbeda.
Dalam perkembangan zaman yang terus
berkembang penerimaan terhadap kaum homoseksualitas mulai terjadi, terutama di
negara-negara barat. Begitu pula untuk Masyarakat Buddhis Indonesia sendiri
mulai menunjukkan toleransi terhadap kaum homoseksual, walaupun masih ada yang
belum menerima dan memahaminya sepenuhnya konsep homoseksualitas. Dialam Ajaran
Buddha memandang homoseksualitas sebagai sesuatu yang wajar dan tidak bisa
disalahkan atau dibenarkan. Di dalam etika Buddhisme landasan berpikirnya adalah
berdasarkan kebijaksanaan dan welas asih, bukan tradisi, tabu maupun tahayul
yang berkembang dalam masyarakat. Selain itu, Buddha mengajarkan agar jangan terikat oleh nafsu seksual yang berapi-api.
Perilaku seksual seharusnya dilakukan dengan wajar entah oleh seorang
heteroseksual maupun homoseksual. Sehingga dengan adanya pandangan yang benar
dalam menyikapi adanya kasus homoseksualitas, masyarakat dapat menelaah dan menjadi
landasan kebijaksanaan dalam menanggapi adanya
kasus-kasus lain seperti halnya kasus
homoseksualitas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar