Kamis, 16 Oktober 2014

PENTINGNYA MEMAHAMI LATAR BELAKANG SEBELUM MUNCULNYA BUDDHISME UNTUK LEBIH MEMAHAMI AJARAN-AJARAN BUDDHISME AWAL.


                                        Disusun Untuk Memenuhi Tugas Semester V         
Mata Kuliah Filsafat Buddha I
Dosen Pembimbing : Widiyono, M. A

Disusun oleh:
Andi Setiyono
( 11.1.199 )

SEKOLAH TINGGI AGAMA BUDDHA (STAB) SYAILENDRA
SEMARANG
2012
Dalam kondisi dan situsi saat ini, suatu ajaran agama dituntut mampu fleksibel terhadap kondisi sosio kultural yang merekat erat dalam masyarakat. Sosio kultural memiliki hubungan erat dengan kebudayaan  didalam masyarakat. kemampuan beradaptasi suatu ajaran dengan lingkungan yang memiliki latar belakang yang berbeda-beda  tanpa merusak kebudayaan asli yang ada, tentunya akan dapat mengambil peran penting dalam kemajuan spiritual masyarakat. Sebaliknya, apabila suatu ajaran tidak mampu menyesuaikan diri dengan kebudayaan yang ada didalam masyarakat, tentunya ajaran tersebut akan selalu bertentangan dengan kebudayaan yang  ada didalam masyarakat. Dampak buruk lebih lanjut, ajaran tersebut tidak mampu berperan aktif dalam kemajuan spiritual masyarakat yang bahkan menjadi pemicu kerusuhan disuatu tempat.
            Ajaran buddha memiliki ajaran yang mampu fleksibel dengan kondisi masyarakat setempat. Ajaran buddha yang berkembangan hingga sekarang, merupakan salah satu  bukti bahwa ajaran buddha mampu fleksibel dengan beraneka ragam kebudayaan yang ada dalam masyarakat. Dengan kondisi tersebut, menjadikan ajaran buddha memiliki pengaruh besar terhadap perkembangan sepiritual di dunia. Dari potensi besar yang ada dalam ajaran buddha tersebut, kita perlu lebih mendalami kondisi buddhis awal hingga dapat kita rasakan, bahwa sampai saat ini ajaran buddha mampu bertahan tak tergerus oleh perkembangan. Pada kesempatan ini, saya akan mengguraiakan tentang Pentingnya memahami latar belakang sebelum munculnya buddhisme untuk lebih memahami ajaran-ajaran buddhisme awal.
Sebelum masuknya bangsa Ariya ke hindia, bangsa india asli yang dikenal dengan bangsa Dravida sudah sudah memiliki peradaban yang maju. Dalam situs sejarah peradapan awal di india berada di lembah sungai hindus yang lebih dikenal dengan kebudayaa mahenjodaro dan harapa. Situs ini ditemukan di punjab, pakistan timur kira-kira 35 km sebelah barat. Dalam Peradaban Lembah Indus, terdiri dari permukiman perkotaan kuna termasuk kota metropolitan; Mahenjo Daro dan Harappa dengan berbagai macam karakteristik rumah, tempat pemandian yang dihubungkan dengan sistem drainase umum yang baik pada masa itu. Struktur kota berbentuk grid diikuti jalur drainase di sepanjang jalan umum dikelilingi oleh benteng. Tipe bangunan penting lainnya adalah lumbung, tempat berdagang, pemandian umum yang diyakini sebagai tempat pemujaan untuk kesuburan. Keseragaman tatanan kota dan ukurannya yang terbuat dari batu bata bakar menunjukkan koordinasi yang baik antara sosial dan politik pada saat itu.
Suku bangsa Dravida memiliki kondisi fisik yang berkulit hitam, berhidung  pesek dan berambut kriting. Dalam suku Dravida memunculkan tradisi sramanisme yaitu kebudayaan meninggalkan kehidupan berumah tangga, menjalankan kehidupan sebagai petapa. Selain itu, bangsa Dravida juga telah mengenal sistem pertanian dan sistem perdagangan dalam kehidupan bermasyarakatnya. Kebudayaan yang maju tersebut semakin lama mulai tergeser dengan datangnya kebudayaan baru.
Awal Kedatangan bangsa Ariya ke india memunculkan alkulturasi kebudayaan. Suku bangsa Ariya belum dapat diketahui secara pasti berasal dari bangsa mana, tetapi diperkirakan bangsa aryia berasal dari daratan eropa sekitar polandia sampai rusia bagian barat. Hal tersebut didasarkan pada proses kedatangan bangsa Ariya ke india yang melalui celah kaliban di pegunugan himalaya. Selain itu dugaan lain didasarkan pada pola bahasa serta kondisi tubuh yang memiliki banyak kesamaan dengan suku bangsa sekitar polandia sampai rusia bagian barat. Kondisi tubuh bangsa Ariya memiliki tubuh yang tinggi, berkulit kuning putih dan berhidung mancung. Kedatangan bangsa Ariya keindia awalnya untuk mengembala, karena pada dasarnya kehidupan suku bangsa Ariya bermatapencaharian sebagai peternak yang selalu mengembara. Ketertarikan bangsa Ariya terhadap hindia membuat mereka mulai berdomisili dan tinggal tetap di hindia. Dengan kondisi tersebut, bangsa Ariya melakukan proses evolusi secara bertahap mulai dari keagamaan maupun sosial. Proses evolusi kebudayaan yang terjadi antara kebudayaan drafida dengan kebudayaan Ariya berlangsung sangat lama hingga alkulturasi kebudayan tersebut memunculkan kebudayaan baru yang dikenal dengan tradi kasta.
Tradisi kasta dikembangkan bangsa Ariya dari adanya alkulturasi kebudayaan. tradisi kasta secara umum menggolongkan suku bangsa di india menjadi empat golongan. Penggolongan sistem kasta terdiri dari kasta kasta brahmanisme,  ksatriya, waisya serta sudra. Tradisi kasta dimunculkan dengan konsep upacara upacara pengorbanan yang dilakukan yang pertama kali oleh dewa (puruksa sukta). Dalam upacara korban yang pertama kali dilakukan oleh dewa, brahmana berasal dari mulut,  ksatria dari bahu, vaisya berasal dari paha, serta sudra berasal dari kaki. Dalam pengorbanan yang memunculkan sistem kasta, setiap bagian dari sistem kasta mempunyai tugas kewajiban  masing-masing sesuai dengan tingkatannya (swadharma). Sistem kasta yang berkembang, kasta brahmanisme mempunyai peran penting dalam segi religiusitas. Kasta ksatria mempunyai kewajiban untuk mengurusi bidang politik, kasta waisya memiliki kewajiban untuk mengurusi  nidang perekonomian, serta kasta sudra memilliki kewajiban untuk mengurusi bidang sosial yang dalam perkembangannya lebih berperan sebagai budak. Didalam sistem kasta, kasta yang lebih tinggi bila berkehendak mereka diperkenankan mengurusi urusan-urusan yang dikerjakan oleh tingkatan kasta yang dibawahnya, tetapi kasta yang lebih rendah tidak boleh mengurusi urusan kasta yang lebih tinggi. sistem kasta yang dikembangkan bangsa Ariya menimbulkan bangsa Ariya semakin mendominasi suatu wilayah di india. Kondisi  tersebut menimbulkan bangsa Dravida semakin tertekan. Sehingga sebagian besar suku Dravida yang terpojok bergeser ke wilayah hindia bagian selatan. Walaupun kebudayaan yang lama mulai bergeser dan menghilang, tetapi suku Dravida tetap mempertahankan kebudayaan sramanisme sebagai kepercayan yang dipegang teguh oleh bangsa Dravida.
Perkembangan sistem kepercayaan bangsa Ariya mulai berkembang dengan adanya alkulturasi kebudayaan dengan bangsa Dravida. Bangsa Ariya awalnya terteguh-teguh dengan adanyafenomena-fenomena alam yang terjadi. Fenomena alam yang terjadi dianggap memiliki bentuk, perasaan, napsu serta lainnya seperti halnya manusia. fenomena alam yang ada menimbulkan adannya pandangan bahwa fenomena alam yang terjadi merupakan bagian dari karakteristik dewa. Adanya pandangan akan kekuatan alam sebagai karakteristik dari dewa, menimbulkan bangsa Ariya mulai mengaggungkan salah satu kekuatan alam yang dianggap paling kuat dan berkuasa. Dalam tahap selanjutnya kekuatan tersebut menjadi sumber dari segala sumber kekuatan yang bersifat langgeng, dan tidak berubah.
Hubungan sosial dan kepercayaan yang ada dalam masyarakat bangsa Ariya semakin komplek dengan adannya sistem upacara korban. Upacara korban dipandang sebagai sarana yang tepat untuk menghubungkan antara dewa dan manusia. upacara pengorbanan yang dilakukan bangsa Ariya kian lama berkembang semakin komplek, tidak hanya hewan yang digunakan sebagai sarana dalam upacara pengorbanan, bahkan disebagian bangsa Ariya menggunakan manusia sebagai sarana pengorbanan. Upacara penggorbanan tersebut dipandang sebagai suatu sarana untuk memperoleh kesehatan serta keselamatan dari para dewa. Dalam sistem upacara pengorbanan yang semakin kopleks, peran brahmana menjadi semakin penting untuk mengutarakan syair-syair dalam upacara pengorbanan. Syair-syair yang awalnya digunakan sebagai pegantar untuk upacara pengorbanan, syair tersebut semakin berkembang dengan adanya anggapan syair-syair yang digunakan mempunyai kekuatan-kekuatan magik serta menjadi keharusan dalam upacara pengorbanan. Dengan berjalannya waktu, kitab veda yang asal-usul sebenarnya berasal dari manusia mulai dilupakan karena berurusan dengan keilahian. Dalam perkembangannya asal usul veda dihubungkan dengan brahman, yang kemudian brahman menyampaikan kepada manusia untuk disempaikan oleh manusia-manusia yang lain.
Kondisi peradaban suku Dravida yang tertekan kebudayaan bangsa Ariya tidak menghilangkan keseluruhan kebudayaan yang ada. Kekuasaan bangsa Ariya yang mendominasi hampir keseluruhan wilayah hindia menyebabkan kebudayaan pertapaan atau sramanisme kurang dapat berkembang di wilayah tersebut. Akan tetapi pada akhir periode akhir periode veda pertama, tradisi sramanisme mulai berkembang kembali. Perkembangan sistem sramanisme semakin berkembang dan memanjiri budaya brahmanisme. Pada periode upanisad, kebudayaan sramanisme lebih ditekankan pada pengetahuan (jnana) tentang menyatunya roh individu dan roh universal dari pada karma (yadna).
Dalam periode upanisad terjadi dua pandangan akan roh yang berkembang. Perkembangan pandangan bangsa Ariya yang didasari dengan tradisi brahmanisme berpandangan bahwa roh sama dengan badan jasmani. Ketika tubuh jasmani ini meninnggal maka roh tidak akan terlahir kembali. Sebaliknya kebudayaan bangsa Dravida yang berpedoman dengan tradisi sramanisme memiliki kepercayaan bahwa tubuh ini atau badan jasmani tidak sama dengan roh, maka dari latar belakang tersebut suku bangsa Dravida mengembangkan sistem penyiksaan diri. Karena beranggapan bahwa roh ini suci sedangkan tubuh ini kotor. Dengan melakukan penyiksaan diri dipercaya bertujuan untuk menyucikan roh sehingga tidak akan terlahir kembali.
Dalam periode yang lama, ajaran buddha berkembang dengan menyanggah dari dua kepercayaan yang salah yang gunakan kedua suku bangsa tersebut. Buddha mengarahkan untuk menempuh jalan tengah dalam menangani permasalahan tersebut. Masuknya ajaran Buddha memberikan pandangan baru dalam tradisi di india. Dengan pandangan bahwa pemuasan napsu dianggap sebagai perbuatan yang sengat rendah, pemuasan napsu dipraktikan oleh umat awam, pemuasan napsu yang berlebihan merupakan  yang tidak mulia, serta pemuasan napsu tidak membawa manfaat. Sedangkan dengan melakukan penyiksaan diri menimbulkan penderitaan, melakukan penyiksaan diri menimbulkan merupakan perbuatan yang tidak muli, serta melakukan penyiksaan diri merupakan perbuatan yang tidak bermanfaat. Dengan adanya permasalahan tersebut ajaran buddha memberi pandangan tentang empat kebenaran yang meliputi: Kebenaran Ariya tentang Dukkha (Dukkha Ariya Sacca), Kebenaran Ariya tentang Asal Mula Dukkha (Dukkha Samudaya Ariya Sacca), Kebenaran Ariya tentang Terhentinya Dukkha (Dukkha Nirodha Ariya Sacca), Kebenaran Ariya tentang Jalan yang Menuju Terhentinya Dukkha (Dukkha Nirodha Ariya Sacca).
Dengan mempelajari latar belakang serta kondisi awal sebelum ajaran buddha, seseorang akan dapat mengetahui kondisi kemasyarakatan dan kebudayaan yang ada di india sebelum munculnya buddha. Dengan demikian seseorang akan dapat mengetahui proses perkembangan kepercayaan yang menyebabkan buddha mengambil peran penting dalam proses perkembangan kebudayaan yang ada dalam masyarakat Hindia diwaktu itu. Cara pengajaran yang diajarkan oleh buddha pun lebih didasari oleh latar belakang kondisi yang ada dalam masyarakat setempat yang didasari oleh kemampuan berfikir seseorang dalam suatu tempat. Dengan mempelajari sejarah awal sebelum masuknya ajaran awal perkembangan sistem kepercayaan awal, kita dapat lebih memahami proses alkulturasi kebudayaan yang akhirnya berdampak pada munculnya sistem kasta yang diciptakan oleh kaum brahmana yang awalnya berasal dari upacara penggorbanan, yang kemudian berkembang menjadi suatu sistem yang menekan keberadaan suku Dravida
Refrinsi:
Jayatilleke, K.N. 1980. Early Buddhist Theory of Knowledge. Delhi: Motilal Barnasidas Publisher Ltd.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar