Kamis, 16 Oktober 2014

Respon Buddhime Terhadap Definis Kematian


Dunia ini merupakan perpaduan dari berbagai unsur. Segala sesuatu yang terbentuk dari berpaduan unsur adalah tidak kekal. Ketidakkekalan tersebut didasarkan pada suatu fenomena yang bersifat timbul, berlangsung dan tenggelam. Sehingga, segala sesuatu yang terbentuk dari perpaduan unsur adalah tidak kekal. Begitu pula dengan manusia,  manusia merupakan perpaduan unsur yang dikenal dengan pancakhandha. Oleh sebab itu manusia juga dicengkram oleh ketidakkekalan.
Di kehidupan sehari-hari, kita akan mengalami perubahan. Perubahan tersebut meliputi lair, sakit, tua, dan mati. Ketika suatu makhluk mengalami kelahiran maka makluk tersebut juga akan mengalami kematian. Kematian sering kali dianggap sebagai suatu penderitaan atau dukkha. Penderitaan muncul akibat manusia yang masih memiliki kemelekatan akan kehidupanini. Di dalam diri manusia masih diliputi oleh katakutan untuk meninggalkan segala sesuatu yang dimilikinya akibat dari kematian. Hal tersebut banyak dialami oleh manusia karena mereka belum memahami bahwa kita hidup itu tidak kekal dan cepat atau lambat akan mengalami kematian.
Dalam kehidupan ini, kita sering mendengar adanya berbagai issu berkenaan kematian. Dalam beberapa ajaran agama lain kematian merupakan akhir dari suatu kehidupan. Hingga pada saatnya akan dikembalikan disisi tuhan. Sedangkan dari pandangan ajaran agama lain memiliki konsep yang berbeda pula terhadap pemaknaan kematian. Dari permasalah tersebut penulis akan menggali lebih lanjut berkenaan respon Buddhisme terhadap definisi kematian.
Definisi kematian
Dalam kehidupan ini kita sering kali mendengar berbagai definisi tentang kematian. Dalam metolodi buddhisme kematian  merupakan penggambaran dari Mara. Setan-setan dalam Buddhisme sering kali dilukaiskan dalam seni salah satu kematian, dengan disimbolkan yang mencengkram dunia ini. Simbol Mara dalam Buddhis yg dipengaruhi budaya Asia, kematian dianggap berwibawa dalam keagamaan. Selain itu istilah kematian juga memiliki beberapa pengertian lain, yaitu:
1.    Menurut KBBI (2008: 927) mati memiliki pengertian yaitu sudah hilang nyawanya, tidak mempunyai nyawa;tidak pernah hidup, tidak ada gerak atau kegiatan.
2.    Pengertian mati menurut pandangan tradisional:
“Death has traditionally been determined, at least in the west, by the cessation of respiration and heartbeat. Once these vital functions have ceased the failure of all other organic systems follows almost immediately” (Buddhism and Bioethics, 2001: 140).
Kematian secara tradisional menekankan, pada pandangan barat, oleh penghentian pernapasan dan detak jantung berhenti. Pada saat fungsi vital berhenti, dalam menyokkong sistem organ-organ lainnya yang yang berada disekitarnya.
Konsep kematian otak
Komite ad-hoc dari Sekolah Kedokteran Havard (1986) istilah makhluk hidup dikatakan mati jika ketidakadanya fungsi otak pada semua tingkatan, otak tengah, batang otak, dan bahkan atas tingkat tulang belakang. Pasien dinyatakan mati ketika (tanpa hipotermia atau obat penekan sistem saraf, dan stimulasi buatan) dan menunjukkan 3 hal:
1.    Tidak merespon 
Jika makhluk tersebut tidak memiliki respon sama sekali terhadap sesuatu yang ada disekitarnya.
2.    Tidak ada gerakan atau bernapas
Jika makhluk tersebut tidak ada gerakan serta tidak adanya napas yang menunjukkan kehidupan.
3.    Tidak ada refleks: kematian otak
Jika tidak adanya refleks atau gerakan-gerakan yang terjadi apabila manusia tersebut diberikan suatu sentuhan-sentuhan yang dapat menimbulkan refleks.
Harward memberi pendefinisian yang menyeluruh tentang berhentinya seluruh aktivitas tingkatan otak. Dalam hal ini, tingkat penghentian otak dibedakan menjadi dua dalam mengenali derajat kematian otak yaitu kematian otak total seperti yang dipahami oleh Havard, jaringan neuron dalam otak mengalami kematian secara menyeluruh. Dalam kondisi yang kedua, otak mengalami berhenti bekerja dan mengalami koma atau sering disebut persistent vegetative state (PVS) yaitu pasien koma, tetapi tetap  dapat bernafas dengan alat bantu mekanis.
Koma/Persisten Vegetatif State (PVS)
Persistent vegetative state (PVS) adalah kerusakan total pada otak, batang otak pasien tetap berfungsi namun otak korteknya tidak berfungsi. Kondisi pasien koma hampir sama dengan orang mati.
Contoh kasus:
·      Tony Bland (April 1989 ): paru-parunya hancur dan tertusuk; pasokan oksigen ke otak terputus; kerusakan total otak; nafas lancar; pemcernaan baik; Mata terbuka namun tidak dapat melihat; tidak bisa mendengar; ada gerakan refleks sebagai respon terhadap rangsangan rasa sakit;tidak mampu membuat gerakan secara sadar dan tidak dapat merasakan sakit; tidak bisa merasakan atau mencium; Dia tidak dapat berbicara atau berkomunikasi dengan cara apapun; tidak memiliki fungsi kognitif dan dapat merasa ada emosi, apakah kesenangan atau kesedihan.
·      Karen Quinlan: koma selama lebih dari sepuluh tahun; mampu merespon suara keras dan rangsangan sakit; dapat menguap; berkedip, meringis, berteriak dan membuat gerakan mengunyah; sama sekali tidak mengetahui siapa pun atau apa pun di sekelilingnya.
Perlakuan Terhadap Pasien Koma
·      Perawatan dan pemberian asupan nutrisi dengan peralatan medis untuk mempertahankan hidupnya.
·      Pertimbangan Hukum Amerika: mengizinkan penghentian pemberian asupan nutrisi dengan pertimbangan kesia-siaan karena hidup pasien tidak mungkin dipertahankan.
·      Penghentian pemberian asupan akan mempercepat kematian pasien koma.
·      Solusi Buddhis: pasien tetap dirawat semampunya seperti pasien pada umumnya dengan alasan kemanusiaan.
Konsep kematian menurut Buddhism
Dalam Buddisme memiliki pemahaman yang berbeda berkenaan definisi kematian. Menurut Encyclopaedia of Buddhisme kematian diartikan sebagai berakhirnya fase tunggal dan menuju kelahiran di kehidupan lain. Dalam hal ini kematian dipahami sebagai Pembubaran pancakhanda. Sedangkan menurut Abhidhamma mati disebut sebagai kesadaran ajal (cuticitta) telah muncul.
 Menurut Louise van Loon: Buddhisme menolak kematian otak secara komprehensif, alasananya adanya  kemauan (cetana). Dalam Kanon tidak ada keterangan yang mendukung pendapatnya bahwa kematian otak, sebagai kematian. Dalam Buddhisme, kematian diartikan sebagai kematian biologis, sedangkan kehidupan inii adalah kehidupan biologis. Nama-rupa sewaktu-waktu dapat hancur,  akan tetapi vinnana tetap berlanjut. Otak tidak berfungsi, vinnana tetap berproses untuk membentuk individu baru. Hilangnya kesadaran bukan acuan definisi kematian. Hilangnya kemampuan otak secara komprehensif diikuti ketidakfungsian organ-organ yang lain.
Hal yang membedakan “orang mati” dan orang hidup:
1.    Vitalitas (ayus) atau kemampuan untuk bertahan hidup, panas (usman) dan kesadara ( vinnana). Hal yang membedakan orang mati dengan orang mencapai jhana: vitalitas dan panas.
Kasus:
Paul Griffiths menyebutkan kisah biarawan Mahanaga dikutip oleh Buddhaghosa. Biarawan  ini begitu tenggelam dalam jhana bahwa ia tidak menyadari bahwa ruang meditasi terbakar. Ia tetap duduk di tengah-tengah hiruk-pikuk sampai api akhirnya dipadamkan oleh warga desa.
2.    Digha Nikaya:
Yang Terhormat, pada orang yang sudah mati, meninggal, fungsi tubuh berhenti dan diam, fungsi vokal berhenti dan diam, dan fungsi-fungsi mental telah berhenti dan diam: vitalitas punah, panas sudah berlalu, arti fakultas yang patah terbelah. Dalam biarawan di negara bagian penghentian fungsi tubuh berhenti dan diam, fungsi vokal berhenti dan diam, dan fungsi-fungsi mental telah berhenti dan istirahat: vitalitas tidak punah, panas tidak hilang, dan rasa fakultas yang disucikan. Ini, Anda Terhormat, adalah perbedaan antara orang yang sudah mati, meninggal, dan seorang biarawan yang telah mencapai keadaan penghentian.
Macam-macam kematian
1.    Khanika marana
Adalah kematian atau kepadaman unsur-unsur batiniah dan jasmani pada tiap-tiap saat akhir (bhavanga).
2.    Sammuti marana
Adalah kematian makhluk hidup berdasarkan persepakatan umum yang dipakai oleh masyarakat dunia.
3.    Samuddheda marana
Adalah kematian mutlak yang merupakan keterputusan pada dasarnya diakibatkan oleh empat macam sebab. Empat macam sebab tersebut yaitu:
·      Ayukkhaya marana (kematian yang disebabkan habisnya usia)
·      Kammakkhaya marana (kematian yang disebabkan habisnya kamma)
·      Ubhayakkhaya marana (kematian yang disebabka habisnya usia dan kamma)
·      Upacchedaka marana (kematian yang disebabkan gangguan lain)
Euthanasia
Bahasa Yunani yang terdiri dari dua kata yaitu eu artinya baik dan thanatos artinya kematian. Eutanasia memiliki pengertian sebagai pembunuhan yang disengaja terhadap pasien atau kelalaian sebagai bagian dari perawatan medis. Bentuk eutanasia yaitu aktif dan pasif. Eutanasia aktif adalah pembunuhan yang disengaja oleh satu orang bertindak, seperti misalnya, dengan suntikan mematikan. Eutanasia pasif adalah yang disengaja atau sengaja menyebabkan kematian oleh kelalaian misalnya, menghentikan pemberian asupan nutrisi pada pasien koma. Masing-masing dari kedua bentuk eutanasia dapat dibagi dalam tiga jenis:
·      Sukarela (atas permintaan pasien),
·      Non sukarela (atas pertimbangan orang lain cth: penghentian pemberian asupan nutrisi pada pasien koma),
·      Tidak disengaja.
Dalam buddhisme Buddha memandang euthanasia dari dua hal, yakni Dhamma dan Vinaya. Menurut Dhamma, perilaku eutanasia dapat diterima, selama perbuatan atau tindakan dilakukan disesuaikan pada kebutuhan atau kepentingan yang sangat mendesak dan penting serta tidak merugikan diri sendiri maupun orang lain. Dalam Vinaya perilaku Eutanasia sangat ditolak, karena melanggar sila yaitu pembunuhan makhluk hidup. Dalam pandangan Vinaya, Eutanasia secara langsung atau tak langsung merupakan parajika dalam kehidupan Bhikkhu. Hal tersebut dapat diketahui melaui beberapa kasus
Contoh kasus:
·      Bhikku-bhikkhu yang bermeditasi dengan objek asubha; saling membantu mengakhiri hidup dan dibantu Magalandika yang berpandangan bahwa tindakannya benar yaitu membebaskan dari penderitaan.
·      Bhikkhu yang memprovokasi umat perumah tangga agar bunuh diri karena bhikkhu menginginkan istri umat itu.
·      Bhikkhu yang kasihan terhadap tawanan, dan memprovokasi algojo agar mempercepat eksekusi.
·      Bhikkhu yang kasihan terhadap penderitaan orang yang kaki dan tangannya terpotong dan memprovokasi agar mengakhiri hidupnya.
Buddha mengajarkan cinta kasih kepada semua makhluk dalam praktik kehidupan sehari-hari. Dalam buddhisme, orang yang melakukan perbuatan membunuh karena kasih sayang dalam diri seseorang masih diliputi oleh dosa citta. Penderitaan suatu makhluk hidup tidak akan berhenti hanya dengan satu kematian saja. Manusia akan mengalami kelahiran berulang-ulang dari hasil perbuatann yang telah kita lakukan. Sehingga walaupun dalam kehidupan ini kita dapat mengakhiri suatu penderitaan dari hasil perbuatan masa lampau, akan tetapi hasil perbuatan yang kita lakukan akan saat itu pula akan berbuah pada kelahiran yang selanjutnya.
Euthanasia dalam Pandangan Modern
Ø Philip Kapleau mengkritisi Buddhisme:
Setuju akan keberlanjutan vinnana dalam menyambung kehidupan. Kehidupan tidak berhenti pada kematian biologis; eutanasia dengan alasan menghindari penderitaan adalah sia-sia. Penghentian perawatan dan pemberian nutrisi boleh dilakukan dengan alasan mendasar. Perawatan menjadi sia-sia karena pasien sudah tidak dapat diselamatkan dan pertimbangan dukungan medis dan tanpa ada niat mempercepat kematian.
Ø Philip Lecso mengkritisi Buddhisme:
Eutanasia ditolak: dasar pertimbangan kamma. Sakit merupakan buah kamma yang harus dilunasi.
Ø  Louise van Loon:
Buddhisme menyetujui eutanasia karena orang yang koma, sakit kronis, dan ingin mengakhiri hidupnya sudah memiliki kemauan (cetana) mati. Kriteria eutanasia: kemauan dan rasa sakit.
Derdasarkan uraian di atas, kematian merupakan proses alami yang harus di alami semua makhluk. Dalam ajaran Buddha, usia tua dan kematian merupakan bagian dari penderitaan. Penderitaan muncul akibat manusia yang masih memiliki kemelekatan akan kehidupan ini. Akibatnya manusia masih diliputi oleh katakutan untuk meninggalkan segala sesuatu yang dimilikinya yang disebabkan oleh kematian. Hal tersebut banyak dialami oleh manusia karena mereka belum memahami bahwa kita hidup itu tidak kekal dan cepat atau lambat akan mengalami proses kematian.
Refrensi:
Keown, Damien. 1995. Buddhism and Bioethics. St. Martin’s Press.

Redaksi, tim. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: pusat bahasa departemen pendidikan nasional

Tidak ada komentar:

Posting Komentar