Dunia ini merupakan
perpaduan dari berbagai unsur. Segala sesuatu yang terbentuk dari berpaduan
unsur adalah tidak kekal. Ketidakkekalan tersebut didasarkan pada suatu
fenomena yang bersifat timbul, berlangsung dan tenggelam. Sehingga, segala
sesuatu yang terbentuk dari perpaduan unsur adalah tidak kekal. Begitu pula dengan
manusia, manusia merupakan perpaduan
unsur yang dikenal dengan pancakhandha. Oleh sebab itu manusia juga dicengkram
oleh ketidakkekalan.
Di kehidupan
sehari-hari, kita akan mengalami perubahan. Perubahan tersebut meliputi lair,
sakit, tua, dan mati. Ketika suatu makhluk mengalami kelahiran maka makluk
tersebut juga akan mengalami kematian. Kematian sering kali dianggap sebagai
suatu penderitaan atau dukkha. Penderitaan
muncul akibat manusia yang masih memiliki kemelekatan akan kehidupanini. Di dalam
diri manusia masih diliputi oleh katakutan untuk meninggalkan segala sesuatu
yang dimilikinya akibat dari kematian. Hal tersebut banyak dialami oleh manusia
karena mereka belum memahami bahwa kita hidup itu tidak kekal dan cepat atau
lambat akan mengalami kematian.
Dalam kehidupan ini, kita sering
mendengar adanya berbagai issu berkenaan kematian. Dalam beberapa ajaran agama
lain kematian merupakan akhir dari suatu kehidupan. Hingga pada saatnya akan
dikembalikan disisi tuhan. Sedangkan dari pandangan ajaran agama lain memiliki
konsep yang berbeda pula terhadap pemaknaan kematian. Dari permasalah tersebut
penulis akan menggali lebih lanjut berkenaan respon Buddhisme terhadap definisi
kematian.
Definisi kematian
Dalam kehidupan ini kita sering
kali mendengar berbagai definisi tentang kematian. Dalam metolodi buddhisme
kematian merupakan penggambaran dari
Mara. Setan-setan dalam Buddhisme sering kali dilukaiskan dalam seni salah satu
kematian, dengan disimbolkan yang mencengkram dunia ini. Simbol Mara dalam
Buddhis yg dipengaruhi
budaya Asia, kematian dianggap berwibawa dalam keagamaan.
Selain itu istilah kematian juga memiliki beberapa pengertian lain, yaitu:
1. Menurut
KBBI (2008: 927) mati memiliki
pengertian yaitu sudah hilang nyawanya, tidak mempunyai
nyawa;tidak pernah hidup, tidak ada gerak atau kegiatan.
2. Pengertian mati menurut pandangan tradisional:
“Death has traditionally been determined, at least in the west, by the
cessation of respiration and heartbeat. Once these vital functions have ceased
the failure of all other organic systems follows almost immediately” (Buddhism
and Bioethics, 2001: 140).
Kematian secara tradisional menekankan, pada
pandangan barat, oleh penghentian pernapasan dan detak jantung berhenti. Pada
saat fungsi vital berhenti, dalam menyokkong sistem organ-organ lainnya yang
yang berada disekitarnya.
Konsep kematian otak
Komite ad-hoc dari Sekolah
Kedokteran Havard (1986) istilah makhluk hidup dikatakan mati jika
ketidakadanya fungsi otak pada semua tingkatan, otak tengah, batang otak, dan
bahkan atas tingkat tulang belakang. Pasien dinyatakan mati ketika (tanpa
hipotermia atau obat penekan sistem saraf, dan stimulasi buatan) dan menunjukkan
3 hal:
1.
Tidak
merespon
Jika makhluk tersebut tidak memiliki respon sama
sekali terhadap sesuatu yang ada disekitarnya.
2.
Tidak ada gerakan atau bernapas
Jika makhluk tersebut tidak ada gerakan serta tidak adanya napas yang menunjukkan kehidupan.
3.
Tidak ada refleks: kematian otak
Jika tidak adanya refleks atau gerakan-gerakan yang
terjadi apabila manusia tersebut diberikan suatu sentuhan-sentuhan yang dapat
menimbulkan refleks.
Harward memberi pendefinisian yang menyeluruh
tentang berhentinya seluruh aktivitas tingkatan otak. Dalam hal ini, tingkat penghentian otak
dibedakan menjadi dua dalam mengenali derajat
kematian otak yaitu kematian otak total seperti yang dipahami oleh Havard, jaringan neuron
dalam otak mengalami kematian secara menyeluruh. Dalam kondisi yang kedua, otak
mengalami berhenti bekerja dan mengalami koma atau sering disebut persistent
vegetative state (PVS) yaitu pasien koma, tetapi tetap dapat bernafas dengan alat bantu mekanis.
Koma/Persisten Vegetatif State (PVS)
Persistent
vegetative state (PVS) adalah kerusakan total pada otak, batang otak
pasien tetap berfungsi namun otak korteknya tidak berfungsi. Kondisi pasien koma hampir sama dengan orang mati.
Contoh kasus:
· Tony Bland (April 1989 ): paru-parunya hancur dan tertusuk; pasokan oksigen ke otak terputus; kerusakan
total otak; nafas lancar; pemcernaan baik; Mata terbuka namun tidak dapat melihat; tidak bisa mendengar; ada gerakan refleks sebagai respon terhadap rangsangan rasa sakit;tidak mampu membuat gerakan secara sadar dan tidak dapat merasakan sakit; tidak
bisa merasakan atau mencium; Dia tidak dapat berbicara atau berkomunikasi
dengan cara apapun; tidak memiliki fungsi kognitif dan dapat merasa ada emosi, apakah kesenangan atau kesedihan.
· Karen Quinlan: koma selama lebih dari sepuluh tahun; mampu merespon suara keras dan rangsangan sakit; dapat menguap; berkedip, meringis,
berteriak dan membuat gerakan mengunyah; sama sekali tidak mengetahui siapa pun
atau apa pun di sekelilingnya.
Perlakuan
Terhadap Pasien Koma
· Perawatan dan pemberian
asupan nutrisi dengan peralatan medis untuk mempertahankan hidupnya.
· Pertimbangan Hukum Amerika:
mengizinkan penghentian pemberian asupan nutrisi dengan pertimbangan
kesia-siaan karena hidup pasien tidak mungkin dipertahankan.
· Penghentian pemberian asupan
akan mempercepat kematian pasien koma.
· Solusi Buddhis: pasien tetap
dirawat semampunya seperti pasien pada umumnya dengan alasan kemanusiaan.
Konsep kematian
menurut Buddhism
Dalam Buddisme memiliki pemahaman
yang berbeda berkenaan definisi kematian. Menurut Encyclopaedia of Buddhisme kematian diartikan sebagai berakhirnya
fase tunggal dan menuju kelahiran di kehidupan lain. Dalam hal ini kematian
dipahami sebagai Pembubaran pancakhanda. Sedangkan menurut Abhidhamma
mati disebut sebagai kesadaran ajal (cuticitta) telah muncul.
Menurut Louise van Loon: Buddhisme menolak kematian otak secara
komprehensif, alasananya adanya kemauan
(cetana). Dalam Kanon tidak ada keterangan yang mendukung pendapatnya bahwa kematian otak, sebagai kematian. Dalam Buddhisme, kematian diartikan
sebagai kematian biologis, sedangkan kehidupan inii adalah kehidupan biologis. Nama-rupa sewaktu-waktu
dapat hancur, akan tetapi vinnana tetap berlanjut. Otak tidak berfungsi, vinnana tetap berproses untuk
membentuk individu baru. Hilangnya
kesadaran bukan acuan definisi kematian.
Hilangnya kemampuan otak secara komprehensif diikuti ketidakfungsian
organ-organ yang lain.
Hal yang membedakan “orang mati” dan orang
hidup:
1.
Vitalitas (ayus) atau kemampuan untuk bertahan hidup, panas (usman) dan kesadara
( vinnana). Hal yang membedakan orang
mati dengan orang mencapai jhana: vitalitas dan panas.
Kasus:
Paul
Griffiths menyebutkan kisah biarawan Mahanaga dikutip oleh Buddhaghosa.
Biarawan ini begitu tenggelam dalam
jhana bahwa ia tidak menyadari bahwa ruang meditasi terbakar. Ia tetap duduk di
tengah-tengah hiruk-pikuk sampai api akhirnya dipadamkan oleh warga desa.
2.
Digha Nikaya:
Yang Terhormat, pada orang yang sudah mati,
meninggal, fungsi tubuh berhenti dan diam, fungsi vokal berhenti dan diam, dan
fungsi-fungsi mental telah berhenti dan diam: vitalitas punah, panas sudah
berlalu, arti fakultas yang patah terbelah. Dalam biarawan di negara bagian
penghentian fungsi tubuh berhenti dan diam, fungsi vokal berhenti dan diam, dan
fungsi-fungsi mental telah berhenti dan istirahat: vitalitas tidak punah, panas
tidak hilang, dan rasa fakultas yang disucikan. Ini, Anda Terhormat, adalah
perbedaan antara orang yang sudah mati, meninggal, dan seorang biarawan yang
telah mencapai keadaan penghentian.
Macam-macam kematian
1.
Khanika marana
Adalah
kematian atau kepadaman unsur-unsur batiniah dan jasmani pada tiap-tiap saat
akhir (bhavanga).
2.
Sammuti marana
Adalah
kematian makhluk hidup berdasarkan persepakatan umum yang dipakai oleh
masyarakat dunia.
3.
Samuddheda marana
Adalah
kematian mutlak yang merupakan keterputusan pada dasarnya diakibatkan oleh
empat macam sebab. Empat macam sebab tersebut yaitu:
· Ayukkhaya
marana (kematian yang disebabkan habisnya usia)
· Kammakkhaya
marana (kematian yang disebabkan habisnya kamma)
· Ubhayakkhaya
marana (kematian yang disebabka habisnya usia dan kamma)
· Upacchedaka
marana (kematian yang disebabkan gangguan lain)
Euthanasia
Bahasa Yunani yang terdiri dari dua kata yaitu eu
artinya baik dan thanatos artinya kematian. Eutanasia memiliki pengertian sebagai pembunuhan yang
disengaja terhadap pasien atau kelalaian sebagai bagian dari perawatan medis. Bentuk eutanasia yaitu aktif dan pasif. Eutanasia
aktif adalah pembunuhan yang disengaja oleh satu orang bertindak, seperti
misalnya, dengan suntikan mematikan. Eutanasia pasif adalah yang disengaja atau
sengaja menyebabkan kematian oleh kelalaian misalnya, menghentikan pemberian asupan nutrisi pada pasien koma. Masing-masing
dari kedua bentuk eutanasia dapat dibagi dalam tiga jenis:
· Sukarela (atas permintaan pasien),
· Non sukarela (atas pertimbangan orang
lain cth: penghentian pemberian asupan nutrisi pada pasien koma),
· Tidak disengaja.
Dalam buddhisme Buddha memandang euthanasia dari dua hal,
yakni Dhamma dan Vinaya. Menurut Dhamma, perilaku eutanasia dapat diterima, selama perbuatan atau tindakan dilakukan
disesuaikan pada kebutuhan atau kepentingan yang sangat mendesak dan penting
serta tidak merugikan diri sendiri maupun orang lain. Dalam Vinaya perilaku Eutanasia sangat ditolak,
karena melanggar sila yaitu pembunuhan makhluk hidup. Dalam pandangan Vinaya, Eutanasia secara langsung atau tak langsung merupakan parajika dalam kehidupan Bhikkhu. Hal tersebut dapat diketahui melaui beberapa kasus
Contoh
kasus:
· Bhikku-bhikkhu yang
bermeditasi dengan objek asubha; saling membantu mengakhiri hidup dan dibantu
Magalandika yang berpandangan bahwa tindakannya benar yaitu membebaskan dari
penderitaan.
· Bhikkhu yang memprovokasi
umat perumah tangga agar bunuh diri karena bhikkhu menginginkan istri umat itu.
· Bhikkhu yang kasihan
terhadap tawanan, dan memprovokasi algojo agar mempercepat eksekusi.
· Bhikkhu yang kasihan
terhadap penderitaan orang yang kaki dan tangannya terpotong dan memprovokasi
agar mengakhiri hidupnya.
Buddha mengajarkan cinta kasih kepada semua makhluk dalam
praktik kehidupan sehari-hari. Dalam buddhisme, orang yang melakukan perbuatan
membunuh karena kasih sayang dalam diri seseorang masih diliputi oleh dosa
citta. Penderitaan suatu makhluk hidup tidak akan berhenti hanya dengan
satu kematian saja. Manusia akan mengalami kelahiran berulang-ulang dari hasil
perbuatann yang telah kita lakukan. Sehingga walaupun dalam kehidupan ini kita
dapat mengakhiri suatu penderitaan dari hasil perbuatan masa lampau, akan
tetapi hasil perbuatan yang kita lakukan akan saat itu pula akan berbuah pada
kelahiran yang selanjutnya.
Euthanasia dalam
Pandangan
Modern
Ø Philip Kapleau mengkritisi
Buddhisme:
Setuju akan keberlanjutan
vinnana dalam menyambung kehidupan. Kehidupan tidak berhenti pada kematian
biologis; eutanasia dengan alasan menghindari penderitaan adalah sia-sia. Penghentian perawatan dan pemberian nutrisi boleh
dilakukan dengan alasan mendasar. Perawatan menjadi sia-sia karena pasien sudah
tidak dapat diselamatkan dan pertimbangan dukungan medis dan tanpa ada niat
mempercepat kematian.
Ø Philip Lecso mengkritisi
Buddhisme:
Eutanasia ditolak: dasar
pertimbangan kamma. Sakit
merupakan buah kamma yang harus dilunasi.
Ø Louise van Loon:
Buddhisme menyetujui eutanasia karena orang
yang koma, sakit kronis, dan ingin mengakhiri hidupnya sudah memiliki kemauan
(cetana) mati. Kriteria eutanasia: kemauan dan rasa sakit.
Derdasarkan
uraian di atas, kematian merupakan proses alami yang harus di alami semua
makhluk. Dalam ajaran Buddha, usia tua dan kematian merupakan bagian dari
penderitaan. Penderitaan muncul akibat manusia yang masih
memiliki kemelekatan akan kehidupan ini. Akibatnya manusia masih diliputi oleh
katakutan untuk meninggalkan segala sesuatu yang dimilikinya yang disebabkan
oleh kematian. Hal tersebut banyak dialami oleh manusia karena mereka belum
memahami bahwa kita hidup itu tidak kekal dan cepat atau lambat akan mengalami
proses kematian.
Refrensi:
Keown, Damien. 1995. Buddhism
and Bioethics. St. Martin’s
Press.
Redaksi, tim. 2008. Kamus Besar Bahasa
Indonesia. Jakarta: pusat bahasa departemen pendidikan nasional
Tidak ada komentar:
Posting Komentar