Kamis, 16 Oktober 2014

Agama Buddha dan Hukuman


A.    Latar belakang
Dalam kehidupan sehari-hari sering kali kita melihat akan adanya informasi tentang kejahatan. Informasi-informasi tersebut dapat kita ketahui melalui televisi, koran dan bahkan ada pula sebagian mengalami korban kejahatan tersebut. kejahatan yang terjadi menimbulkan trauma bagi orang-orang mengalaminya. Selain itu, informasi berkenaan kejahatan yang dialami orang lain sering kali menimbulkan trauma bagi orang-orang yang mendengarnya. Dengan banyaknya kejahatan yang terjadi, setiap negara berusaha memunculkan aturan untuk mencegah kejahatan berkembang disuatu tempat.
Aturan yang dimunculkan dapat berupa konsep hukuman yang dapat membuat jera orang yang berbuat jahat. Konsep hukuman yang ada berusaha untuk menata kondisi masyarakat yang kacau. Konsep hukuman tersebut, menuntut seseorang yang melangar dikenakan hukuman penyitaan harta benda maupun bahkan yang terparh dapat berupa hukuman mati. Dengan hukuman tersebut, dipandang sebagai salah satu upaya untuk mengatur kondisi masyarakat yang kacau.
Konsep hukuman menimbulkan pro dan kontra dikalangan masyarakat maupun bagi sarjanawan. Bagi sebagian sarjanawan, konsep hukuman sangat bermanfaat, karena dapat mengatur kondisi masyarakat yang kacau. Akan tetapi, bagi sarjanawan dan masyarakat yang lain berpandangan bahwa hukuman kurang perlu di terapkan. Hal tersebut dipandang bahwa sebagian konsep hukuman kurang dapat memperhatikan hak asasi manusia. Sehingga perdebatan tentang hukuman sangat menarik untuk dibahas. Sedangkan bagaimana pandangan buddhisme berkenaan konsep hukuman?

B.     Pembahasan
Dalam kitab-kitab buddhisme awal kita dapat mengetahui bagaimana pandangan buddhisme awal terhadap kejahatan dan hukuman. Hal tersebut salah satunya terdapat didalam Milindapañha. Didalam Milindapañha merupakan sumber yang mempunyai banyak keterangan mengenai penjelasan kejahatan dan hukuman. Didalam Milindapañha juga menguraikan berkenaan sikap buddhis terhadap kejahatan dan hukuman. Selain itu, istilah kejahatan dan hukuman juga dapat ditemukan didalam Nikāya. Nikāya merupakan dasar sumber informasi mengenai sikap Buddhisme awal terhadap kejahatan. Selain itu konsep tentang kejahatan dan hukuman dapat kita temukan didalam beberapa kisah Jātaka. Didalam Nikāya dan didalam kisah-kisah jataka menjadi pedoman buddhisme awal dalam memandang konsep kejahatan dan hukuman. Pada dasarnya didalam Nikāya dan kisah jataka tersebut menggambarkan sikap buddha yang penuh cinta kasih memperlakukan makhluk-makhluk lain bahkan pada musuh-musuhnya. Sehingga menjadi pembahasan yang menarik berkenaan pandangan buddhisme dalam menanggapi adanya konsep kejahatan dan hukuman.
Pengertian hukuman
Dalam kehidupan sehari-hari kita sering mendengar konsep hukuman. Hukuman sering kali diterapkan pada diri seseorang yang melakukan suatu kejahatan yang seseorang lakukan. kejahatan tersebut dapat berupa pelanggaran tata susila yang ada dimasyarakat, maupun kejahatan lain yang dapat merugikan orang lain. Akibat pelanggaran tersebut, pemimpin suatu tempat memutuskan untuk menghukum orang tersebut. dalam kondisi tersebut, hukum memiliki beberapa pengertian. Menurut KBBI kejahatan diartikan sebagai “perbuatan yg jahat, sifat yg jahat, dosa, perilaku yg bertentangan dng nilai dan norma yg berlaku yg telah disahkan oleh hukum tertulis”. Sedangkan menurut Encyclopedia of Buddhism (1979: 264) Kejahatan merupakan suatu perbuatan anti-sosial, kegagalan atau penolakan untuk berbuat sesuai dengan norma yang berlaku di masyarakat, hukuman akan diberikan kepada orang yang melakukan pelanggaran terhadap perbuatan tersebut.


Macam-macam Hukum
Di Indonesia hukum dibedakan menjadi dua macam, yaitu hukum pidana dan hukum perdata.
1.      Hukum Pidana
Arti dari pidana adalah penderitaan yang disengaja dibebankan kepada orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu. Hukum pidana dalam arti luas adalah hak-hak dari negara untuk mengenakan atau mengancam pidana terhadap perbuatan tertentu (Fuad, dkk 2004:4). Contoh dari hukum pidana adalah hukum penjara, hukum mati hukum denda dan lain-lain.
2.      Hukum Perdata
Menurut Komariyah, 2004: 2 hukum perdata adalah rangkaian peraturan hukum yang mengatur hubungan hukum subyek hukum (orang dan badan hukum) yang satu dengan yang lain, yang menitikberatkan pada kepentingan pribadi dari subyek hukum tersebut. Dengan kata lain dapat diartikan sebagai hukum yang mengatur tentang masalah pribadi individu. Contoh dari kasus hukum perdata adalah utang piutang dari seseorang, perceraian, dan lain-lain.
Hukum Sebagai Aturan
Hukum merupakan landasan atau aturan dalam kehidupan manusia sehingga dapat hidup saling berdampingan satu sama lain dengan penuh kedamaian dan ketentraman. Hukum menurut W. Luypen, yang sering kali dikemukakan adalah sedikit-dikitnya sebagai kasih sayang, sedikit-dikitnya merupakan etika dalam mengayomi kehidupan ini, hukum sebagai kasih sayang berkaitan erat tentang hubungan-hubungan pribadi, dari seseorang dengan orang-orang lain yang pada dasarnya sangat terbatas jumlahnya namun pada kekhususannya perorangan. Bahkan secara makro hubungan orang-orang yang hidup bersama dan tak dapat dikenal bersama-sama dapat berhubungan dengan baik, dalam suatu ikatan hukum. Di sini sesungghunnya hukum juga merupakan etika yang bergerak dalam suasana rasa saling menghormati sesama manusia pada umumnya. Namun hukum bukan kasih sayang. Namun hukum adalah suatu lembaga sosial yang menentang segala bentuk penindasan dan yang mengembangkan suatu hubungan pegakuan akan kebebasan setiap orang. Tujuan itu tiada berbatas, walaupun dalam pelaksanaanya yang sesungguhnya dia memang selalu tetap terbatas (Scheltens 1984 : 69)
Hukum dalam kenyataanya merupakan pelaksanaan keadilan yang minimal, namun hukum juga ditujukan pada kadar maksimum keadilan, tetapi karena faktor-faktor lain yang harus dihadapi oleh hukum pada dasarnya, yaitu kemungkinan teknis, persetujuan dan juga struktur peristiwa yang terjadi dan yang dihadapi oleh setiap individu. Pada saat ini dunia dalam keadaan kacau, nilai etika diputarbalikan. Kekuasaan skeptisisme materialistis telah mengubah pisau bedahnya pada konsep tradisional yang dianggap sebagai kualitas manusia. Karena etika berhubungan dengan tindakan manusia yang berkaitan dengan dirinya dan sesamanya.
Pandangan buddhisme terhadap hukuman
Ajaran Buddha mengenai hukum berkaitan erat dengan hukum perbuatan yang tidak bisa terlepas dari ajaran mengenai hukum ketergantungan (paticca-samuppada). Hukum tersebut dalam bentuk aslinya menerangkan kondisi sebab-akibat yang menyebabkan penderitaan manusia, juga kondisi-kondisi yang menghasilkan lenyapnya penderitaan. Secara ringkas ajaran Buddha dalam dari segala hal yang mempunyai sebab, Sang Tathagata menerangkan sebabnya, dan juga lenyapnya sebab itu. Itulah ajaran seorang manusia pertapa yang Agung. Dalam sisi lain Buddhisme menekankan pada prinsip kehidupan yang sosial dalam etika.
Etika umat Buddha bukanlah patokan asal-asalan yang ditemukan orang untuk tujuan manfaat sendiri, namun etika umat Buddha juga tidak berlandaskan pada adat sosial yang berubah tetapi pada hukum alam yang tidak berubah. Nilai-nilai etika umat Buddha pada hakekatnya adalah bagian dari alam dan hukum tetap sebab dan akibat (karma). Fakta sederhana bahwa etika umat Buddha berakar hukum alam membuat prinsip-prinsip berguna dan tetap diterima oleh dunia modern.
Etika umat Buddha bertujuan praktis menuntun orang menuju ahkir kebahagiaan yang tertinggi. Dalam umat Buddha menuju pembebasan yang dilakukan dengan realisasi, setiap individu dianggap bertanggung jawab untuk keberuntungan dan kerugian sendiri dalam pemahaman dan usahanya. Keselamatan umat Buddha merupakan hasil pengembangan moralitas setiap individu sebagai usaha pembebasan. Secara konsekwen etika umat Buddha bukan merupakan perintah apa pun yang memaksa manusia untuk mengikutinya. Buddha telah menasehati manusia mengenai kondisi yang paling bermanfaat maupun yang tidak bermanfaat dalam jangka panjang (Dhammananda Sri 2002 : 182).
Perbedaan antara yang baik dan buruk di dalam Buddhisme sangat sederhana, semua tindakan yang memiliki akar dalam ketamakan, kebencian, dan keserakahan yang timbul dari keegoisan. Tindakan ini tercela atau buruk (akusala karma). Semua tindakan yang berakar dalam kemurahan hati, kasih sayang dan kebijaksanaan itu mulia (kusala karma) kriteria baik dan buruk berlaku pada aksi pikiran, ucapan dan perbuatan yang dilakukannya.
Dalam Nikāya- Nikāya memberikan gambaran tentang pandangan buddhisme berkenaan kejahatan dan hukuman. Nikāya- Nikāya menguraikan bahwa Buddhisme tidak menolak dan tidak menyetujui. Hal tersebut dikarenakan Buddhisme menganggap kejahatan sebagai masalah etis. Perbuatan secara etis tidak baik memiliki istilah lain dukkata, adhamma, pāpa, akusala (perbuatan yang tak pantas, tak sehat, tidak sesuai Dhamma).
Dalam pandangan Buddhisme perbuatan dibagi menjadi tiga jenis:
1.      Aktivitas melalui badan jasmani (kāya-kamma).
2.      Aktifitas melalui ucapan (vacī-kamma).
3.      Aktifitas melalui pikiran (mano-kamma).
Jenis  perbuatan yang ketiga merupakan aktivitas mental yang mendasari seseorang melakukan dua perbuatan tersebut. Dalam Buddhisme memandang  bahwa pikiran adalah pelopor dari segala sesuatu, pikiran adalah pembentuk. (Dhammapada, Yamaka Vagga bait 1 dan 2). Definisi Kamma dalam teks Buddhisme awal juga membuktikan pernyataan tersebut. Untuk melukiskan Kamma, Buddha mengatakan “volition (kemauan) adalah Kamma. Mempunyai kemauan keras, perbuatan melalui tubuh, ucapan dan pikiran”. Kemauan, niat atau kehendak (cetanā) menjadi faktor yang sangat penting dalam memutuskan nilai etis segala perbuatan. Ambalaţţhikārāhulovāda Sutta      Buddha memberi ukuran penting dalam menghakimi nilai etis tentang segala perbuatan. (ibarat cermin sebagai refleksi).
Secara etis, perbuatan baik (kusala) tidak akan merugikan diri sendiri, orang lain (parabyābādhāya) maupun merugikan kedua-duanya atau merugikan diri sendiri dan orang lain (ubhayabyābādhāya). Perbuatan yang tak patut untuk dihormati adalah perbuatan tak sehat (akusala). Dalam pandangan Buddhisme setiap perbuatan yang dilakukan oleh seseorang merupakan wujud dari tanggung jawab moral. Perbuatan baik atau pun buruk yang dilakukan, diri sendiri lah yang akan menerima konsekuensinya. Kesejahteraan, kesehatan, maupun kemajuan dalam suatu masyarakat (pemerintahan) merupakan hasil perbuatan yang pernah dilakukan oleh individu. Dalam Cakkavattisīhanāda Sutta   tidak hanya perbuatan yang melanggar hukum saja, tetapi perbuatan seperti; omong kosong, ceroboh, ketamakan dan seksualitas yang tidak wajar juga patut dipertimbangkan atau disebut sebagai kejahatan. Meskipun secara langsung perbuatan tersebut tidak merugikan orang lain, tetapi secara tidak langsung perbuatan tersebut akan merusak kesejahteraan masyarakat dan mempercepat runtuhnya suatu masyarakat. Dalam sutta tersebut dikatakan bahwa moral manusia sangat mempengaruhi usia manusia, kesejahteraan, dan kemajuan suatu masyarakat.
Perbuatan yang buruk akan menghasilkan buah akibat yang tidak baik pula. Ketika seseorang berbuat buruk mereka akan memetik buah yang buruk sesuai perbuatan yang seseorang lakukan. Akibat dari perbuatan tidak pantas, kita dapat memperolehnya dalam berbagai sutta. Sutta-sutta tersebut meliputi: Vasala, Parābhava, Mahāmańgala dan Āmagandha yang semuanya terdapat dalam Suttanipāta. Contohnya dalam Vasala Sutta menguraikan bahwa Bukan karena kelahiran orang menjadi sampah, bukan oleh kelahiran orang menjadi Brāhmaṇa.” Termasuk dalam Petavatthu juga menceritakan kisah tentang kejahatan yang dilakukan seseorang sehingga dia terlahir di alam yang tidak menyenangkan. Hal tersebut juga dapat diperoleh di dalam Ańguttara Nikāya yang menguraikan dua kategori perbuatan secara etis tidak baik (vajja): (i) berakibat pada kehidupan saat ini (dţţhadhamma-vedanīya-vajja). (ii) berakibat pada kehidupan yang akan datang (sāmparāyika-vajja).
Kondisi ekonomi suatu tempat dapat meyebabkan timbulnya suatu kejahatan di masyarakat. kondisi perekonomian suatu negara sangat berperan demi terciptanya kondisi masyarakat yang sejahtera. Dengan kondisi perekonomian yang setabil, tentunya suatu negara akan lebih mudah mengatur masyaraktnya dari pada pada kondisi perekonomian yang kurang mapan, Tentunya banyak kejahatan yang akan muncul. dalam Cakkavattisīhanāda Sutta menguraikan salah satu penyebab kejahatan berasal dari kemiskinan perekonomi yang dialami seseorang. Akibatnya terjadi perbuatan mencuri, kekerasan, pembunuhan, pemerkosaan dan keserakahan. Penyebab lain dari munculnya kejahatan dapat berupa kegagalan pihak penguasa/pemimpin untuk berbuat yang sesuai dengan norma (Dhamma). Sehingga keberadaan suatu pemimpin yang dapat memberikan teladan  masyarakat sangat berpengaruh terhadap kesejahteraan masyarakat. Aggañña Sutta juga menguraikan bahwa ekonomi menjadi penyebab ketamakan, nafsu keinginan (tanhā). Sutta ini menjelaskan bahwa Tanha adalah akar dari semua kejahatan. Akan tetapi,  Buddhisme berpandangan bahwa penyebab kriminalitas bukan hanya karena faktor ekonomi saja, tetapi juga karena pengaruh keadaan psikologis. Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa pandangan Buddhisme awal terhadap kejahatan adalah masalah yang kompleks yang bersumber dari masalah sosial-ekonomi dan penyebab psikologis
Dalam teks-teks Buddhis tidak disebutkan bahwa Buddha menetapkan suatu sistem keadilan (hukuman) menurut prinsip Buddhis. Pada abad ke-6 di India memiliki sistem yang mengatur tentang pengadilan dan tradisi yang dapat dijadikan teladan pada saat itu. Apapun pembaharuan atau perubahan yang menyangkut kepentingan umum berkaitan dengan sosial dan filsafat etik Buddhisme. Dalam teks-teks Buddhis membuktikan tentang tradisi mengenai pengadilan, raja menjadi orang yang sangat dihormai, sebagai kepala penentu keadilan. Raja mendeklarasikan kuasa-kuasanya (vohārikamahāmattas). Para petugas kerajaan mendengarkan gugatan hukum, suatu fungsi yang mula-mula dilaksanakan oleh raja sendiri. Raja sebagai contoh bagi rakyat.
Di dalam kisah Jātaka membuat rekomendasi nyata tentang penulisan hukum. Suatu persoalan atau kasus harus diputuskan dengan pengamatan aturan itu dengan meletakkan buku  hukum (undang-undang). Pencurian dan perzinahan adalah kejahatan yang nampak umum. Dhammapada  hendaknya seseorang tidak melakukan perzinahan, sebab hal itu tidak disukai oleh raja, dan orang yang melakukan kejahatan tersebut akan memperoleh hukuman. Hal tersebut juga terdapat dalam Dhammapada, bab X daṇḍa vagga (hukuman) syair 129:
semua orang takut akan hukuman, semua orang takut akan kematian. setelah membandingkan orang lain dengan diri sendiri, hendaknya seseorang tidak membunuh atau mengakibatkan pembunuhan.
Dalam Dhammapada juga menguraikan bahwa menghukum yang tidak patut dihukum akan mengalami salah satu dari sepuluh keadaan. Sepuluh keadaan tersebut meliputi: mengalami penderitaan hebat, kecelakaan, luka, sakit berat atau bahkan hilang ingatan, ditindak oleh penguasa, mendapat tuduhan yang berat, kehilangan sanak saudara, atau bahkan harta kekayaannya habis.
Dalam literatur Buddhis tidak mengandung acuan yang spesifik tentang para raja atau pegawai kerajaan yang menyiksa penjahat. Buddhisme memiliki posisi yang berbeda dengan ajaran-ajaran lain. Buddhisme memiliki sikap yang didasari dengan cinta kasih dalam menghadapi permasalahan tentang kejahatan dan hukuman. Buddhisme tidak bersikap kejam terhadap penjahat. Dalam Agganna sutta dan Cakkavattisihanada Sutta, Buddha menguraikan bahwa hukuman dipahami oleh masyarakat sebagai solusi terhadap masalah kejahatan, sebagai pengganti rugi atas apa yang dilakukannya.
Buddhis memberikan solusi  atau alternatif lain,untuk semua jenis hukuman yang berkenaan dengan kejahatan. Hal tersebut tertuang di dalam Cakkavatisihanada Sutta menjelaskan bahwa pencegahan hukuman bukan metode fool-proof (tidak tahan gagal) mencegah kejahatan. Dengan adanya ketakutan akan hukuma, adanya pengawas kejahatan juga tidak efektif untuk mencegah kejahatan. Kondisi tersebut tidak berguna bagi kesejahteraan pribadi maupun masyarakat. Akan tetapi wewenang penguasa untuk mencegah kejahatan dan merehabilitasi penjahat, dengan tetap menyediakan kebutuhan sosial dan individu mereka. Raja Cakkavatti diharapkan dapat memberikan hukuman yang efektif bagi pelaku kejahatan yang ada dalam kerajaannya. Nasihat yang diberikan oleh raja Dalhanemi kepada putranya untuk menggantikan dirinya dalam memimpin kerajaan.
Kūţadanta Sutta  sebelum penguasa berpikir tentang pengorbanan untuk para dewa, ia harus melakukan tugasnya dulu untuk banyak orang (masyarakat). Buddhisme mengajarkan bahwa semua perbuatan tak pantas kedalam kategori kejahatan. Nafsu keinginan, ketamakan (lobha, tanha, atau raga), kebencian (dosa, vyapada atau patigha) dan kebodohan (moha atau avijja) yang memancar dari kesadaran diri (asmimana, ahamkara, mamimkara, mananusaya). Perbuatan yang tak pantas (akusala-mula) dikelompokkan kedalam kategori adhamma, pāpa atau akusala.
Kecenderungan psikologis mendorong seseorang untuk melakukan perbuatan yang tak pantas dalam hidupnya. Kecenderungan ini bermacam-macam sesuai dengan tingkat kecenderungan yang dimiliki oleh semua orang. Untuk itu suatu waktu orang melakukan perbuatan yang tak pantas. Tindakan tersebut membawa tindakan individu yang mengarah pada kriminalitas. Untuk menghadapi permasalahan kejahatan, Buddhis memberikan cara dalam membasmi kejahatan yang dilakukan oleh individu: menghalangi penyebab yang mendorong seseorang untuk melakukan kriminalitas, antara lain yaitu:
Ø  Bertempat tinggal yang sesuai (patirupadesavasa).
Ø  Berteman dengan orang-orang bijaksana (kalyanamitta).
Peraturan moral (sila) merupakan latihan yang seksama dalam Buddhis (sikkha). latihan ini membantu seseorang untuk membasmi secara berangsur-angsur semua kecenderungan yang tak pantas, sampai akhirnya mencapai Nibbana (penerangan sempurna). Solusi Buddhisme dalam mengatasi kejahatan adalah untuk menyempurnakan suatu perubahan karakter yang lebih baik, perubahan dari jahat menjadi baik. Seperti halnya dalam kisah Angulimala. Selain itu, buddhisme tidak membenarkan adanya hukum mati.
Dalam ajaran Buddha tidak pernah dibicarakan tentang hukum tata negara, apalagi pelaksanaan hukumam mati. Demikian pula, dalam ajaran Sang Buddha tidak ada pernyataan yang membenarkan atau yang tidak membenarkan pelaksanaan hukumam mati itu. Yang banyak dibicarakan dengan tegas dan tandas ialah proses sebab dan akibat yang disebut hukum karma. Dalam Samyutta Nikaya I : 227, Buddha bersabda sebagai berikut :
“Sesuai dengan benih yang telah ditabur, Begitulah buah yang akan dipetiknya, Pembuat kebaikan akan mendapatkan kebaikan, Pembuat kejahatan akan dimemetik kejahatan pula, Taburlah biji-biji benih dan Engkau pulalah yang akan merasakan buah-buah daripadanya.”
Hukum karma merupakan hukum sebab dan akibat dari perbuatan. Jika orang berbuat baik, maka keadaan yang menyenangkanlah yang akan dialaminya. Sebaliknya, jika orang berbuat jahat, maka keadaan yang tidak menyenangkanlah yang akan diterima. Keadaan yang menyenangkan atau yang tidak menyenangkan yang merupakan akibat dari perbuatannya itu dapat timbul atau datang dari bermacam-macam segi, misalnya datang dari dirinya sendiri, dari alam lingkungannya, dari makhluk – makhluk halus, dari orang lain, dari pemerintah, dan lain – lain.
Selanjutnya, apakah hukumannya itu datang dari dirinya sendiri, dari alam, dari orang lain, atau dari negara, itu tergantung pada waktu atau keadaan, tempat, sasaran, berat ringan atau ruang lingkup dari kejahatan yang dilakukan. Demikian pula, bentuk dari hukuman itu tergantung pada unsur – unsur tersebut diatas, yang mungkin berupa hukuman denda, kurungan badan, kerja paksa, siksaan, atau hukuman mati. Terjadinya hal ini kiranya sangat sukar ditentukan sebelumnya, kapan, dimana, bagaimana, dan siapa yang akan melaksanakan hukuman itu, karena hal ini tergantung pada banyak seperti tersebut diatas. Jadi, pada hakekatnya akibat dari perbuatan jahat itu wajar dan patut diterima oleh para pelakunya, baik itu merupakan hukuman ringan, hukuman berat, maupun hukuman mati, sesuai dengan kejahatan yang dilakukannya.
Sebenarnya, apa yang disebut “ hukuman “ yang harus diterima oleh orang yang berbuat jahat itu, terutama yang datangnya dari negara atau pemerintah itu tidak lain dari pada suatu bentuk pendidikan yang bertujuan untuk menyadarkan orang yang jahat agar berhenti berbuat kejahatan. Oleh karena itu, hukuman tersebut, baik yang ringan maupun yang berat, merupakan kebutuhan pendidikan yang darurat dan mendesak bagi orang yang jahat untuk mempercepat evolusi kejiwaannya dan menyelamatkan lingkungan yang dirusak oleh kejahatannya.
Kesimpulan
Dari uraian diatas, setiap kehidupan manusia dapat timbul rasa takut, merasa bersalah, takut disalahkan oleh orang lain, takut terhadap hukum, dan juga takut menghadapi akibat-akibat yang tidak diinginkan dalam kehidupan yang akan datang (A.II, 121). Perasaan ini merupakan langkah pengontrol kehidupan sosial yang bersumber dari hati nurani. Prinsip moral yang menyangkut kehidupan manusia berkaitan dengan hai nurani adalah tahu malu (hiri) dan takut akan akibat perbuatan yang salah (ottappa) yang merupakan cahaya dalam menerangi dan melindungi dunia ini (A.I, 51).
Buddha tidak menyetujui ataupun menolak adanya konsep hukuman, Ajaran beliau tidak menekankan pada hukuman, pada dasarnya ajaran Buddha lebih menekankan pasa sikap cinta kasih dan kasih sayang sebagai salah satu pedoman dalam bersosial didalam masyarakat. Sehingga berkenaan dengan adanya hukuman yang terdaat di suatu tempat, buddha menyerahkan sepenuhnya pada pemeritahan suatu negara. Serta menyerahkan peraturan hukum kepada raja/ pemerintah yang berkuasa pada waktu itu. Selanjutnya Buddhisme mendukung bahwa adanya hukuman tersebut, baik yang ringan maupun yang berat, merupakan kebutuhan pendidikan yang darurat dan mendesak bagi orang yang jahat untuk mempercepat evolusi kejiwaannya dan menyelamatkan lingkungan yang dirusak oleh kejahatannya.
Refrensi
Nanayakara, K.N. 1979. Crime and Punishment dalam Jotiya Dhirasekara (ed) Encyclopedia of Buddhism. Colombo. Hal. 264-266.
Tim Penyusun, 2000. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Jakarta: Balai Pustaka.
Sri Dharmananda,2002, Keyakinan Umat Buddha, Karaniya, Jakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar