A. Latar belakang
Dalam kehidupan sehari-hari sering kali kita melihat akan
adanya informasi tentang kejahatan. Informasi-informasi tersebut dapat kita
ketahui melalui televisi, koran dan bahkan ada pula sebagian mengalami korban
kejahatan tersebut. kejahatan yang terjadi menimbulkan trauma bagi orang-orang
mengalaminya. Selain itu, informasi berkenaan kejahatan yang dialami orang lain
sering kali menimbulkan trauma bagi orang-orang yang mendengarnya. Dengan banyaknya
kejahatan yang terjadi, setiap negara berusaha memunculkan aturan untuk
mencegah kejahatan berkembang disuatu tempat.
Aturan yang dimunculkan dapat berupa konsep hukuman yang
dapat membuat jera orang yang berbuat jahat. Konsep hukuman yang ada berusaha
untuk menata kondisi masyarakat yang kacau. Konsep hukuman tersebut, menuntut
seseorang yang melangar dikenakan hukuman penyitaan harta benda maupun bahkan
yang terparh dapat berupa hukuman mati. Dengan hukuman tersebut, dipandang
sebagai salah satu upaya untuk mengatur kondisi masyarakat yang kacau.
Konsep hukuman menimbulkan pro dan kontra dikalangan
masyarakat maupun bagi sarjanawan. Bagi sebagian sarjanawan, konsep hukuman
sangat bermanfaat, karena dapat mengatur kondisi masyarakat yang kacau. Akan
tetapi, bagi sarjanawan dan masyarakat yang lain berpandangan bahwa hukuman
kurang perlu di terapkan. Hal tersebut dipandang bahwa sebagian konsep hukuman
kurang dapat memperhatikan hak asasi manusia. Sehingga perdebatan tentang
hukuman sangat menarik untuk dibahas. Sedangkan bagaimana pandangan buddhisme
berkenaan konsep hukuman?
B.
Pembahasan
Dalam kitab-kitab buddhisme awal
kita dapat mengetahui bagaimana pandangan buddhisme awal terhadap kejahatan dan
hukuman. Hal tersebut salah satunya terdapat didalam Milindapañha. Didalam Milindapañha
merupakan sumber yang mempunyai
banyak keterangan mengenai penjelasan kejahatan dan hukuman.
Didalam Milindapañha
juga menguraikan berkenaan sikap buddhis terhadap kejahatan dan hukuman.
Selain itu, istilah kejahatan dan hukuman juga dapat ditemukan didalam Nikāya. Nikāya merupakan dasar sumber informasi mengenai sikap Buddhisme awal
terhadap kejahatan. Selain itu konsep tentang
kejahatan dan
hukuman dapat kita temukan didalam beberapa kisah
Jātaka. Didalam
Nikāya dan didalam kisah-kisah jataka
menjadi pedoman buddhisme awal dalam memandang konsep kejahatan dan hukuman.
Pada dasarnya didalam Nikāya dan kisah jataka tersebut
menggambarkan sikap buddha yang penuh cinta kasih memperlakukan makhluk-makhluk
lain bahkan pada musuh-musuhnya. Sehingga menjadi pembahasan yang menarik
berkenaan pandangan buddhisme dalam menanggapi adanya konsep kejahatan dan
hukuman.
Pengertian hukuman
Dalam kehidupan sehari-hari kita sering mendengar konsep
hukuman. Hukuman sering kali diterapkan pada diri seseorang yang melakukan
suatu kejahatan yang seseorang lakukan. kejahatan tersebut dapat berupa
pelanggaran tata susila yang ada dimasyarakat, maupun kejahatan lain yang dapat
merugikan orang lain. Akibat pelanggaran tersebut, pemimpin suatu tempat
memutuskan untuk menghukum orang tersebut. dalam kondisi tersebut, hukum
memiliki beberapa pengertian. Menurut KBBI kejahatan diartikan sebagai “perbuatan
yg jahat, sifat yg jahat, dosa, perilaku yg bertentangan dng nilai dan
norma yg berlaku yg telah disahkan oleh hukum tertulis”. Sedangkan menurut Encyclopedia of Buddhism
(1979: 264) Kejahatan
merupakan suatu
perbuatan anti-sosial, kegagalan atau penolakan untuk berbuat sesuai dengan
norma yang berlaku di masyarakat, hukuman akan diberikan kepada orang yang
melakukan pelanggaran terhadap perbuatan tersebut.
Macam-macam
Hukum
Di Indonesia hukum dibedakan
menjadi dua macam, yaitu hukum pidana dan hukum perdata.
1. Hukum
Pidana
Arti
dari pidana adalah penderitaan yang disengaja dibebankan kepada orang yang
melakukan perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu. Hukum pidana dalam
arti luas adalah hak-hak dari negara untuk mengenakan atau mengancam pidana
terhadap perbuatan tertentu (Fuad, dkk 2004:4). Contoh dari hukum pidana adalah
hukum penjara, hukum mati hukum denda dan lain-lain.
2. Hukum
Perdata
Menurut Komariyah, 2004: 2 hukum
perdata adalah rangkaian peraturan hukum yang mengatur hubungan hukum subyek
hukum (orang dan badan hukum) yang satu dengan yang lain, yang menitikberatkan
pada kepentingan pribadi dari subyek hukum tersebut. Dengan kata lain dapat
diartikan sebagai hukum yang mengatur tentang masalah pribadi individu. Contoh
dari kasus hukum perdata adalah utang piutang dari seseorang, perceraian, dan
lain-lain.
Hukum Sebagai Aturan
Hukum merupakan landasan atau aturan
dalam kehidupan manusia sehingga dapat hidup saling berdampingan satu sama lain
dengan penuh kedamaian dan ketentraman. Hukum menurut W. Luypen, yang sering
kali dikemukakan adalah sedikit-dikitnya sebagai kasih sayang, sedikit-dikitnya
merupakan etika dalam mengayomi kehidupan ini, hukum sebagai kasih sayang
berkaitan erat tentang hubungan-hubungan pribadi, dari seseorang dengan
orang-orang lain yang pada dasarnya sangat terbatas jumlahnya namun pada
kekhususannya perorangan. Bahkan secara makro hubungan orang-orang yang hidup
bersama dan tak dapat dikenal bersama-sama dapat berhubungan dengan baik, dalam
suatu ikatan hukum. Di sini sesungghunnya hukum juga merupakan etika yang
bergerak dalam suasana rasa saling menghormati sesama manusia pada umumnya.
Namun hukum bukan kasih sayang. Namun hukum adalah suatu lembaga sosial yang
menentang segala bentuk penindasan dan yang mengembangkan suatu hubungan
pegakuan akan kebebasan setiap orang. Tujuan itu tiada berbatas, walaupun dalam
pelaksanaanya yang sesungguhnya dia memang selalu tetap terbatas (Scheltens
1984 : 69)
Hukum dalam kenyataanya merupakan pelaksanaan keadilan
yang minimal, namun hukum juga ditujukan pada kadar maksimum keadilan, tetapi karena
faktor-faktor lain yang harus dihadapi oleh hukum pada dasarnya, yaitu
kemungkinan teknis, persetujuan dan juga struktur peristiwa yang terjadi dan
yang dihadapi oleh setiap individu. Pada saat ini dunia dalam keadaan kacau,
nilai etika diputarbalikan. Kekuasaan skeptisisme materialistis telah mengubah
pisau bedahnya pada konsep tradisional yang dianggap sebagai kualitas manusia.
Karena etika berhubungan dengan tindakan manusia yang berkaitan dengan dirinya
dan sesamanya.
Pandangan buddhisme
terhadap hukuman
Ajaran Buddha mengenai hukum
berkaitan erat dengan hukum perbuatan yang tidak bisa terlepas dari ajaran
mengenai hukum ketergantungan (paticca-samuppada). Hukum tersebut dalam bentuk
aslinya menerangkan kondisi sebab-akibat yang menyebabkan penderitaan manusia,
juga kondisi-kondisi yang menghasilkan lenyapnya penderitaan. Secara ringkas
ajaran Buddha dalam dari segala hal yang mempunyai sebab, Sang Tathagata
menerangkan sebabnya, dan juga lenyapnya sebab itu. Itulah ajaran seorang
manusia pertapa yang Agung. Dalam sisi lain Buddhisme menekankan pada prinsip
kehidupan yang sosial dalam etika.
Etika umat Buddha bukanlah patokan
asal-asalan yang ditemukan orang untuk tujuan manfaat sendiri, namun etika umat
Buddha juga tidak berlandaskan pada adat sosial yang berubah tetapi pada hukum
alam yang tidak berubah. Nilai-nilai etika umat Buddha pada hakekatnya adalah
bagian dari alam dan hukum tetap sebab dan akibat (karma). Fakta sederhana
bahwa etika umat Buddha berakar hukum alam membuat prinsip-prinsip berguna dan
tetap diterima oleh dunia modern.
Etika umat Buddha bertujuan praktis
menuntun orang menuju ahkir kebahagiaan yang tertinggi. Dalam umat Buddha
menuju pembebasan yang dilakukan dengan realisasi, setiap individu dianggap
bertanggung jawab untuk keberuntungan dan kerugian sendiri dalam pemahaman dan
usahanya. Keselamatan umat Buddha merupakan hasil pengembangan moralitas setiap
individu sebagai usaha pembebasan. Secara konsekwen etika umat Buddha bukan
merupakan perintah apa pun yang memaksa manusia untuk mengikutinya. Buddha
telah menasehati manusia mengenai kondisi yang paling bermanfaat maupun yang
tidak bermanfaat dalam jangka panjang (Dhammananda Sri 2002 : 182).
Perbedaan antara yang baik dan buruk
di dalam Buddhisme sangat sederhana, semua tindakan yang memiliki akar dalam
ketamakan, kebencian, dan keserakahan yang timbul dari keegoisan. Tindakan ini
tercela atau buruk (akusala karma). Semua tindakan yang berakar dalam kemurahan
hati, kasih sayang dan kebijaksanaan itu mulia (kusala karma) kriteria baik dan
buruk berlaku pada aksi pikiran, ucapan dan perbuatan yang dilakukannya.
Dalam Nikāya- Nikāya memberikan gambaran tentang
pandangan buddhisme berkenaan kejahatan dan hukuman. Nikāya- Nikāya menguraikan bahwa Buddhisme tidak menolak dan tidak menyetujui.
Hal tersebut dikarenakan Buddhisme menganggap kejahatan sebagai masalah etis. Perbuatan
secara etis tidak baik memiliki
istilah lain dukkata,
adhamma, pāpa, akusala (perbuatan yang tak pantas, tak sehat, tidak sesuai
Dhamma).
Dalam pandangan Buddhisme perbuatan dibagi menjadi tiga jenis:
1. Aktivitas melalui badan jasmani
(kāya-kamma).
2. Aktifitas melalui ucapan
(vacī-kamma).
3. Aktifitas melalui pikiran
(mano-kamma).
Jenis perbuatan yang ketiga merupakan aktivitas
mental yang mendasari seseorang melakukan dua perbuatan tersebut.
Dalam Buddhisme memandang bahwa pikiran adalah pelopor dari segala
sesuatu, pikiran adalah pembentuk. (Dhammapada, Yamaka Vagga bait 1 dan 2).
Definisi Kamma
dalam teks Buddhisme awal juga membuktikan pernyataan tersebut. Untuk
melukiskan Kamma, Buddha mengatakan “volition
(kemauan) adalah Kamma. Mempunyai kemauan keras, perbuatan melalui
tubuh, ucapan dan pikiran”. Kemauan, niat atau kehendak (cetanā)
menjadi faktor yang sangat penting dalam memutuskan nilai etis segala
perbuatan. Ambalaţţhikārāhulovāda Sutta
Buddha memberi ukuran penting dalam menghakimi nilai etis tentang segala
perbuatan. (ibarat cermin sebagai refleksi).
Secara etis,
perbuatan baik (kusala) tidak akan merugikan diri sendiri, orang lain
(parabyābādhāya) maupun merugikan kedua-duanya atau merugikan diri sendiri dan
orang lain (ubhayabyābādhāya). Perbuatan yang tak patut untuk dihormati adalah
perbuatan tak sehat (akusala). Dalam pandangan Buddhisme
setiap perbuatan
yang dilakukan oleh seseorang merupakan wujud dari tanggung jawab moral. Perbuatan
baik atau pun buruk yang dilakukan, diri sendiri lah yang akan menerima konsekuensinya. Kesejahteraan,
kesehatan, maupun kemajuan dalam suatu masyarakat (pemerintahan)
merupakan hasil perbuatan yang pernah dilakukan oleh individu. Dalam Cakkavattisīhanāda Sutta tidak hanya perbuatan yang melanggar hukum
saja, tetapi perbuatan seperti; omong kosong, ceroboh, ketamakan dan
seksualitas yang tidak wajar juga patut dipertimbangkan atau
disebut sebagai
kejahatan. Meskipun secara langsung perbuatan tersebut tidak merugikan orang
lain, tetapi secara tidak langsung perbuatan tersebut akan merusak
kesejahteraan masyarakat dan mempercepat runtuhnya suatu masyarakat. Dalam
sutta tersebut dikatakan bahwa moral manusia sangat mempengaruhi usia manusia,
kesejahteraan, dan kemajuan suatu masyarakat.
Perbuatan yang buruk akan menghasilkan buah akibat yang
tidak baik pula. Ketika seseorang berbuat buruk mereka akan memetik buah yang
buruk sesuai perbuatan yang seseorang lakukan. Akibat dari perbuatan tidak pantas,
kita dapat memperolehnya dalam berbagai sutta. Sutta-sutta tersebut
meliputi: Vasala,
Parābhava, Mahāmańgala dan Āmagandha yang semuanya terdapat dalam Suttanipāta.
Contohnya dalam Vasala
Sutta menguraikan bahwa “Bukan karena kelahiran
orang menjadi sampah, bukan oleh kelahiran orang menjadi Brāhmaṇa.” Termasuk
dalam Petavatthu juga menceritakan kisah tentang kejahatan yang dilakukan
seseorang sehingga dia terlahir di alam yang tidak menyenangkan.
Hal tersebut juga dapat diperoleh di dalam Ańguttara Nikāya yang
menguraikan dua
kategori perbuatan secara etis tidak baik (vajja): (i) berakibat pada kehidupan
saat ini (dţţhadhamma-vedanīya-vajja). (ii) berakibat pada kehidupan
yang akan datang (sāmparāyika-vajja).
Kondisi ekonomi suatu tempat dapat meyebabkan timbulnya
suatu kejahatan di masyarakat. kondisi perekonomian suatu negara sangat
berperan demi terciptanya kondisi masyarakat yang sejahtera. Dengan kondisi
perekonomian yang setabil, tentunya suatu negara akan lebih mudah mengatur
masyaraktnya dari pada pada kondisi perekonomian yang kurang mapan, Tentunya
banyak kejahatan yang akan muncul. dalam Cakkavattisīhanāda Sutta menguraikan salah satu penyebab kejahatan
berasal dari kemiskinan perekonomi
yang dialami seseorang. Akibatnya terjadi perbuatan mencuri, kekerasan,
pembunuhan,
pemerkosaan
dan keserakahan. Penyebab
lain dari munculnya kejahatan dapat berupa kegagalan pihak penguasa/pemimpin
untuk berbuat yang sesuai dengan norma (Dhamma). Sehingga
keberadaan suatu pemimpin
yang dapat memberikan teladan masyarakat
sangat berpengaruh
terhadap
kesejahteraan masyarakat. Aggañña Sutta
juga menguraikan bahwa ekonomi
menjadi penyebab ketamakan, nafsu keinginan (tanhā).
Sutta ini menjelaskan bahwa Tanha adalah akar dari semua kejahatan.
Akan tetapi, Buddhisme berpandangan bahwa penyebab kriminalitas bukan
hanya karena faktor ekonomi saja, tetapi juga karena pengaruh keadaan
psikologis. Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa pandangan Buddhisme
awal terhadap kejahatan adalah masalah yang kompleks yang bersumber dari
masalah sosial-ekonomi dan penyebab psikologis
Dalam teks-teks
Buddhis tidak disebutkan bahwa Buddha menetapkan suatu sistem keadilan
(hukuman) menurut
prinsip Buddhis. Pada abad ke-6 di India memiliki
sistem yang mengatur tentang pengadilan dan tradisi yang dapat dijadikan
teladan pada saat itu. Apapun pembaharuan atau perubahan yang menyangkut
kepentingan umum berkaitan dengan sosial dan filsafat etik Buddhisme. Dalam
teks-teks Buddhis membuktikan tentang tradisi mengenai pengadilan, raja menjadi
orang yang sangat dihormai, sebagai kepala penentu keadilan. Raja
mendeklarasikan kuasa-kuasanya (vohārikamahāmattas). Para
petugas kerajaan mendengarkan gugatan hukum, suatu fungsi yang mula-mula
dilaksanakan oleh raja sendiri. Raja sebagai contoh bagi rakyat.
Di dalam kisah Jātaka membuat rekomendasi nyata tentang penulisan hukum. Suatu
persoalan atau kasus harus diputuskan dengan pengamatan aturan itu dengan
meletakkan buku hukum (undang-undang). Pencurian
dan perzinahan adalah kejahatan yang nampak umum. Dhammapada hendaknya seseorang tidak melakukan
perzinahan, sebab hal itu tidak disukai oleh raja, dan orang yang melakukan
kejahatan tersebut akan memperoleh hukuman. Hal tersebut
juga terdapat dalam Dhammapada, bab X daṇḍa vagga (hukuman)
syair 129:
“semua orang takut akan
hukuman, semua orang takut akan kematian. setelah membandingkan orang lain
dengan diri sendiri, hendaknya seseorang tidak membunuh atau mengakibatkan
pembunuhan”.
Dalam Dhammapada juga menguraikan bahwa menghukum yang tidak patut dihukum
akan mengalami salah satu dari sepuluh keadaan. Sepuluh
keadaan tersebut meliputi: mengalami penderitaan hebat, kecelakaan, luka, sakit berat atau bahkan
hilang ingatan, ditindak oleh penguasa, mendapat tuduhan yang berat, kehilangan
sanak saudara, atau bahkan harta kekayaannya habis.
Dalam literatur
Buddhis tidak mengandung acuan yang spesifik tentang para raja atau pegawai
kerajaan yang menyiksa penjahat. Buddhisme memiliki
posisi yang berbeda dengan ajaran-ajaran lain. Buddhisme memiliki sikap yang didasari
dengan cinta kasih dalam menghadapi permasalahan tentang kejahatan dan hukuman.
Buddhisme tidak
bersikap kejam terhadap penjahat. Dalam Agganna sutta dan Cakkavattisihanada
Sutta, Buddha menguraikan bahwa hukuman dipahami oleh masyarakat sebagai solusi
terhadap masalah kejahatan, sebagai pengganti rugi atas apa yang dilakukannya.
Buddhis memberikan
solusi atau alternatif lain,untuk semua jenis hukuman yang berkenaan dengan
kejahatan. Hal tersebut tertuang di dalam Cakkavatisihanada Sutta
menjelaskan bahwa pencegahan
hukuman bukan metode fool-proof (tidak tahan gagal) mencegah kejahatan. Dengan
adanya ketakutan
akan hukuma,
adanya pengawas
kejahatan juga tidak efektif untuk mencegah kejahatan.
Kondisi tersebut tidak
berguna bagi kesejahteraan pribadi maupun masyarakat.
Akan tetapi wewenang
penguasa untuk mencegah kejahatan dan merehabilitasi penjahat, dengan tetap
menyediakan kebutuhan sosial dan individu mereka.
Raja Cakkavatti
diharapkan dapat memberikan hukuman yang efektif bagi pelaku kejahatan yang ada
dalam kerajaannya. Nasihat yang diberikan oleh raja Dalhanemi kepada putranya
untuk menggantikan dirinya dalam memimpin kerajaan.
Kūţadanta
Sutta sebelum penguasa berpikir tentang
pengorbanan untuk para dewa, ia harus melakukan tugasnya dulu untuk banyak
orang (masyarakat). Buddhisme mengajarkan bahwa semua
perbuatan tak pantas kedalam kategori kejahatan. Nafsu keinginan, ketamakan (lobha,
tanha, atau raga), kebencian (dosa, vyapada atau patigha) dan kebodohan (moha
atau avijja) yang memancar dari kesadaran diri (asmimana, ahamkara, mamimkara,
mananusaya). Perbuatan yang tak pantas
(akusala-mula) dikelompokkan kedalam kategori adhamma, pāpa atau akusala.
Kecenderungan
psikologis mendorong seseorang untuk melakukan perbuatan yang tak pantas dalam
hidupnya. Kecenderungan ini bermacam-macam sesuai dengan tingkat
kecenderungan yang dimiliki oleh semua orang. Untuk itu suatu waktu orang
melakukan perbuatan yang tak pantas. Tindakan tersebut membawa tindakan individu yang
mengarah pada kriminalitas. Untuk menghadapi permasalahan kejahatan,
Buddhis memberikan cara dalam membasmi kejahatan yang dilakukan oleh individu:
menghalangi penyebab yang mendorong seseorang untuk melakukan kriminalitas,
antara lain yaitu:
Ø Bertempat tinggal yang sesuai
(patirupadesavasa).
Ø Berteman dengan orang-orang
bijaksana (kalyanamitta).
Peraturan moral
(sila) merupakan latihan yang seksama dalam Buddhis (sikkha).
latihan ini
membantu seseorang untuk membasmi secara berangsur-angsur semua kecenderungan
yang tak pantas, sampai akhirnya mencapai Nibbana (penerangan sempurna). Solusi
Buddhisme dalam mengatasi kejahatan adalah untuk menyempurnakan suatu perubahan
karakter yang lebih baik, perubahan dari jahat menjadi baik.
Seperti halnya dalam kisah Angulimala. Selain itu, buddhisme tidak
membenarkan adanya hukum mati.
Dalam ajaran Buddha tidak pernah dibicarakan tentang hukum
tata negara, apalagi pelaksanaan hukumam mati. Demikian pula, dalam ajaran Sang
Buddha tidak ada pernyataan yang membenarkan atau yang tidak membenarkan
pelaksanaan hukumam mati itu. Yang banyak dibicarakan dengan tegas dan tandas
ialah proses sebab dan akibat yang disebut hukum karma. Dalam Samyutta Nikaya I : 227,
Buddha bersabda sebagai berikut :
“Sesuai dengan benih yang telah ditabur, Begitulah buah yang
akan dipetiknya, Pembuat kebaikan akan mendapatkan kebaikan, Pembuat kejahatan
akan dimemetik kejahatan pula, Taburlah biji-biji benih dan Engkau pulalah yang
akan merasakan buah-buah daripadanya.”
Hukum karma merupakan hukum sebab dan akibat dari perbuatan. Jika orang
berbuat baik, maka keadaan yang menyenangkanlah yang akan dialaminya.
Sebaliknya, jika orang berbuat jahat, maka keadaan yang tidak menyenangkanlah
yang akan diterima. Keadaan yang menyenangkan atau yang tidak menyenangkan yang
merupakan akibat dari perbuatannya itu dapat timbul atau datang dari
bermacam-macam segi, misalnya datang dari dirinya sendiri, dari alam
lingkungannya, dari makhluk – makhluk halus, dari orang lain, dari pemerintah,
dan lain – lain.
Selanjutnya, apakah hukumannya itu datang dari dirinya sendiri, dari
alam, dari orang lain, atau dari negara, itu tergantung pada waktu atau
keadaan, tempat, sasaran, berat ringan atau ruang lingkup dari kejahatan yang
dilakukan. Demikian pula, bentuk dari hukuman itu tergantung pada unsur – unsur
tersebut diatas, yang mungkin berupa hukuman denda, kurungan badan, kerja
paksa, siksaan, atau hukuman mati. Terjadinya hal ini kiranya sangat sukar
ditentukan sebelumnya, kapan, dimana, bagaimana, dan siapa yang akan
melaksanakan hukuman itu, karena hal ini tergantung pada banyak seperti
tersebut diatas. Jadi, pada hakekatnya akibat dari perbuatan jahat itu wajar
dan patut diterima oleh para pelakunya, baik itu merupakan hukuman ringan,
hukuman berat, maupun hukuman mati, sesuai dengan kejahatan yang dilakukannya.
Sebenarnya, apa yang disebut “ hukuman “ yang harus diterima oleh orang
yang berbuat jahat itu, terutama yang datangnya dari negara atau pemerintah itu
tidak lain dari pada suatu
bentuk pendidikan yang bertujuan untuk menyadarkan orang yang jahat agar
berhenti berbuat kejahatan. Oleh
karena itu, hukuman tersebut, baik yang ringan maupun yang berat, merupakan
kebutuhan pendidikan yang darurat dan mendesak bagi orang yang jahat untuk
mempercepat evolusi kejiwaannya dan menyelamatkan lingkungan yang dirusak oleh
kejahatannya.
Kesimpulan
Dari uraian diatas, setiap kehidupan manusia dapat
timbul rasa takut, merasa bersalah, takut disalahkan oleh orang lain, takut
terhadap hukum, dan juga takut menghadapi akibat-akibat yang tidak diinginkan
dalam kehidupan yang akan datang (A.II, 121). Perasaan ini merupakan langkah
pengontrol kehidupan sosial yang bersumber dari hati nurani. Prinsip moral yang
menyangkut kehidupan manusia berkaitan dengan hai nurani adalah tahu malu
(hiri) dan takut akan akibat perbuatan yang salah (ottappa) yang merupakan
cahaya dalam menerangi dan melindungi dunia ini (A.I, 51).
Buddha tidak
menyetujui ataupun menolak adanya konsep hukuman, Ajaran beliau tidak
menekankan pada hukuman, pada dasarnya ajaran
Buddha lebih menekankan pasa sikap cinta kasih dan kasih sayang sebagai salah
satu pedoman dalam bersosial didalam masyarakat. Sehingga berkenaan dengan
adanya hukuman yang terdaat di suatu tempat, buddha menyerahkan sepenuhnya pada
pemeritahan suatu negara. Serta menyerahkan peraturan hukum kepada raja/ pemerintah yang berkuasa pada
waktu itu. Selanjutnya Buddhisme mendukung bahwa
adanya hukuman tersebut, baik yang ringan maupun yang berat, merupakan
kebutuhan pendidikan yang darurat dan mendesak bagi orang yang jahat untuk
mempercepat evolusi kejiwaannya dan menyelamatkan lingkungan yang dirusak oleh
kejahatannya.
Refrensi
Nanayakara,
K.N. 1979. Crime and Punishment dalam Jotiya Dhirasekara (ed)
Encyclopedia of Buddhism. Colombo. Hal. 264-266.
Tim
Penyusun, 2000. Kamus Besar Bahasa
Indonesia (KBBI). Jakarta: Balai Pustaka.
Sri Dharmananda,2002, Keyakinan Umat Buddha, Karaniya,
Jakarta.
http://tanhadi.blogspot.com/2013/07/konsep-masyarakat-buddhis-hukum-dan-hak.html
(di akses pada hari selasa, 06 Mei 2014)
http://www.samaggi-phala.or.id/naskah-dhamma/hukuman-mati-ditinjau-dari-agama-buddha/
(di akses pada hari selasa, 06 Mei 2014)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar