Kamis, 16 Oktober 2014

Sūnyatā Sebagai Jalan Tengah


Oleh: Andi Setiyono
Di dalam dunia ini terbentuk dari kondisi-kondisi yang sangat kompleks. Segala yang ada di dalam dunia sulit dihindarkan dari perpaduan antara satu kondisi dengan kondisi lain yang saling berkaitan. Seperti halnya dunia ini, di dunia ini terbentuk dari berbagai kondisi, sehingga di dalam dunia ini terbentuk suatu sistem yang sangat komplek. Hal tersebut juga tidak jauh berbeda dengan susunan tubuh manusia, di dalam tubuh manusia tersusun dari berbagai macam kondisi yang saling berkaitan sehingga membentuk nama dan rupa. Perpaduan dari nama dan rupa yang saling berkaitan itulah yang secara pandangan umum disebut sebagai wujud manusia. akan tetapi jika dipelajari lebih mendalam, di dalam tubuh manusia tidak ada unsur yang dapat dikatakan sebagai manusia. Tubuh manusia hanyalah perpaduan dari berbagai kondisi yang saling berhubungan antara satu kondisi dengan kondisi-kondisi yang lain yang sangat kompleks. Sehingga tidak ada unsur inti yang dapat dikatakan sebagai manusia yang seutuhnya, atau lebih tepatnya dikatakan sebagai kosong dari inti yang sejati.
Dalam Buddhisme, ajaran kekosongan dikenal dengan istilah Suññata. Istilah Suññata atau Sūnyatā umumnya digunakan berkaitan dengan ajaran tanpa diri (anata / anatman) untuk menunjukan bahwa lima kelompok kehidupan (Pancakandha) adalah ‘kosong’ dari adanya diri atau jiwa yang bersifat kekal, yang dengan salah dikaitkan  dengan unsur pancakandha tersebut. Namun ajaran kekosongan dijelaskan secara panjang lebar oleh Nāgārjuna, yang digunakannya dengan tepat untuk melenyapkan konsep substansial dari ajaran Abhidhamma aliran Theravada. Karena aliran mahayana berpandangan bahwa tidak ada apapun yang bukan sifat kebuddhaan (Buddhatā),  semua yang muncul sesungguhnya sama seali tanpa karakteristik. Sehingga ajaran Sūnyatā menjadi ajaran sentral di dalam aliran Mahayana. Selain itu,  ajaran Sūnyatā menjadi jalan tengah dari adanya dua pandangan ekstrem yang berkembang di masa Buddha. Di dalam pembahasan ini, saya akan menguraikan lebih lanjut berkenaan Sūnyatā sebagai Jalan Tengah. Dengan adanya pembahasan ini, saya berharap dapat menyediakan wahan pengetahuan bagi pembaca dalam memahami ajaran  Buddhisme. Sehingga pembaca tidak terjebak didalam pandangan ekstrem yang berkembang di masa itu. Seperti halnya usaha Buddha Gautama dan Nāgārjuna dalam menghindari adanya dua pandangan ekstrem, agar tidak terjebak di dalam pandangan ekstrem yang berkembang saat itu.
Buddhisme mengalami pergeseran pemaknaan pasca seketarian. Salah satu pergeseran pemaknaan dalam Buddhisme tersebut berkenaan pemaknaan akan dua buah pemaknaan, paramatha sacca dan samutti sacca. Perkembangan dua buah kebenaran tersebut awalnya tidak begitu jelas. Menurut Pali Canon pemaknaan dua buah kebenaran tersebut tidak ditemukan adanya perbedaan yang begitu jelas. Di dalam Anggutara nikaya ada dua kelompok orang yang menggambarkan Buddha dengan dua buah pernyataan. Pernyataan tersebut mengungkapkan adanya kelompok yang memandang  Sutta makna tidak langsung sebagai Sutta makna langsung dan sebaliknya kelompok yang mewakili Sutta makna langsung sebagai Sutta tidak langsung. Di kedua pandangan kebenaran tersebut tidak ada kebenaran yang dijadikan sebagai kebenaran yang dianggap sebagai suatu kebenaran mutlak dan satu-satunya kebenaran. Didalam pali teks disebut bahwa Nitattha Sutta, yang maknanya adalah polos dan langsung dan yang lainnya disebut sebagai Neyyattha Sutta  dalam pengartian bahwa maknanya tidak langsung atau terselubung oleh makna tertentu. Dalam perkembanganya pemaknaan akan dua buah kebenaran tersebut semakin menunjukan perbedaaan pemaknaan yang semakin jelas. Perbedaan berkenaan pemaknaan Paramatha Sacca dan Samutti Sacca terlihat jelas ketika agama Buddha terbagi  ke dalam beberapa aliran. Pergeseran Dua pengetahuan tentang kebenaran Paramata Sacca dan Samutti Sacca semakin jelas ketika diungkapkan oleh sarjanawan modern. Sehingga perbedaan yang awalnya tidak begitu jelas berkenan kedua kebenaran, dalam perkembangannya mulai nampak jelas perbedaan-perbedaan dalam memandang konsep kebenaran tersebut.
Perkembangan ajaran Sūnyatā tidak dapat terlepas dari adanya perkembangan dalam memandang dua buah kebenaran. Di dalam menanggapi perkembangan adanya dua buah kebenaran tersebut, aliran filsafat mahayana meng-klaim bahwa kebenaran relatif didasarkan pada Sūnyatā, suatu istilah  yang digunakan untuk menunjukan Paramatha Sacca atau kebenaran tertinggi (ultimate truth), yang dikatakan sebagai yang diluar devinisi.
Sūnyatā dimengerti dari dua segi pandangan. Sūnyatā dapat dimengerti berhubungan dengan vyavahara atau realitas empiris, Sūnyatā berarti naihsvabhavya yaitu ketiadaan adanya diri sendiri, sifat dasar yang tidak bersyarat. Sūnyatā mengandung arti pratitya-samutpada sebagai suatu relativitas sebenarnya. Sebagai relativitas, Sūnyatā juga mengandung arti relatif, sifat dasar yang tidak absolut dari pandangan yang spesifik. Pandangan yang ke-dua, Sūnyatā dapat dimengerti dalam hubungan dengan paramartha atau realitas akhir, Sūnyatā mengandung arti sifat dasar mengenai absolut yang non-konseptual.
Ajaran Sūnyatā secara tidak langsung dipadang sebagai tidak ada perbedaan antara kedua kebenaran. Kedua kebenaran tersebut dipandang sebagai yang tdak dapat dibeda-bedakan. Di dalam Maharatnakuta Sutta, Sutta ke-35 yang berjudul Pembabaran Mengenai Kondisi Ke-Buddha-an Yang Tak Tertandingi menguraikan:
“Yang Dijunjung Dunia, apakah yang dimaksud dengan penerangan sempurna?” Buddha menjawab, “yakni kondisi kekosongan itu sendiri, karena semua gagasan adalah sama. Ia adalah kondisi ‘ketanpa-cirian’, karana semua ciri adalah sama. Ia adalah kondisi ‘tiadanya keinginan lagi’, karena ketiga alam adalah sama. Ia adalah ‘tanpa rindakan’, karena semua tindakan adalah sama. Ia adalah keadaan ‘tak terkondisi’, karena segala yang berkondisi adalah sama..., meskipun demikian kekosongan itu sendiri tidak mengenal pembeda-bedaan.”
Dalam memahami ke dua kebenarna tersebut, Nagarjuna mengambil jalan pada ke dua kebenaran dalam memahami ajaran Buddha. Nagarjuna menyatakan bahwa, di dalam memahami Samutti Sacca (kebenaran empiris/umum) dan Paramatha Sacca (kebenaran absolute/akhir) menjadi sarana yang penting dalam memahami ajaran Buddha. Tanpa memahami adanya kebenaran tersebut, sulit bagi setiap orang dalam memahami ajaran Buddha.
Madhyamaka Karika XXIV, 9: (Nagarjuna)
“ Ye nayor na vijananti vibhagam satyayor dvayoh/
Te tattvam na vijananti gambhiram Buddhasasana//”

Artinya:
“Bagi yang tidak mengetahui perbedaan diantara kedua kebenaran ini tidak dapat mengerti arti yang dalam mengenai ajaran Hyang Buddha”.
Pemahama tentang kedua ajaran kebenaran menjadi suatu kesatuan yang utuh. Dalam memahami ajaran Buddha tidak dapat dipisahkan antara Paramatha Sacca dan Samutti Sacca. Kedua kebenaran tersebut menjadi suatu kesatuan yang saling mendukung. Nagarjuna menjelaskan kepentingan vyavahara atau realitas empiris didalam mencapai Paramatha atau realitas absolute.
Madhyamaka Karika XXIV, 10 :

“Vyavaharam anasritya paramartha desyate/
Paramartham anagmya nirvanam nadhigamyate//”

Artinya:
“Kebenaran tertinggi tidak dapat diberikan tanpa mempunyai jalan lain menuju kebenaran konvensional: dan Nirvana tidak dapat diperoleh tanpa realisasi mengenai kebenarn tertinggi.”
Oleh karena itu, Samutti adalah upaya (cara), paramatha adalah upeya (tujuan).
Sūnyatā memandang paramatha Sacca dan Samutti Sacca sebagai keadaan kekosongan. Dalam memandang dua kebenaran tersebut, tidak ada yang dapat dikatakan sebagai suatu kebenaran yang paling tinggi maupun kebenaran yang dipandang lebih rendah. Kedua kebenaran tersebut menurut ajaran Sūnyatā dikatakan sama, yang diliputi oleh keadaan kekosongan, termasuk kekosongan itu sendiri yang kosong dari konsep. Dalam menanggapi pergeseran pemaknaan akan kedua kebenaran yang telah terjadi, di dalam Dvadasanikaya Sastra (disusun oleh Nagarjuna) menyatakan bahwa: “Kebijaksanaan terbesar adalah yang disebut Sūnyatā.” Didalam memandang dan memahami segala sesuatu, Sūnyatā menjadi suatu kebenaran yang tertinggi.  Di aliran mahayana menempatkan ajaran Sūnyatā ditempatkan pada kebenaran yang tertinggi atas dasar bahwa keadaan kekosongan tersebut meliputi segala sesuatu yang ada di alam semesta. Segala sesutu yang terdapat di alam semesta ini meupakan perpaduan dari berbagai kondisi yang saling berkaitan dan tidak dapat dipisahkan. Jika diuraikan secara mendalam untuk menemukan sebuah inti, alam semesta ini diliputi oleh kekosongan. Keadaan Sūnyatā tersebut menunjukan bahwa yang dimaksud kekosongan adalah keadaan kosong dari substansi-substansi dari materi, termasuk kosong dari teori kekosongan itu sendiri.
Kita telah mengetahui bahwa aliran mahayan menggunakan dialektika sebagai suatu kritik mengenai semua drsti (teori) tanpa suatu sesuatu teori miliknya. Dengan menggunakan pandangan yang dialektika, aliran mahayana memperoleh kesimpulan bahwa semua dharma diliputi oleh keadaan sunya atau nissvabhava yaitu kosong dari segala independen, realitas atau kenyataan substansi. Sūnyatā bukanlah suatu teori. Sedangkan orang sering keliru menganggap Sūnyatā itu teori. Nagarjuna menjelaskantujuan Sunyata sebagai berikut:
“Atra brumah sunyatayam na tvam vetsi prayojnanam/
Sunyatam sunyatartham ca tata evam vihanyase//”

Artinya
“Anda tidak mengetahui/mengerti tujuan dari Sūnyatā. Sūnyatā bukanlah digunakan sebagai suatu teori tetapi hanya untuk kepentingan Sūnyatā”

Sūnyatā dipikirkan bukan untuk kepentingannya sendiri, tetapi untuk membimbing pikiran itu terhadap realitas atau kenyataan dengan mengendalikan tendensi yang berhubunngan dengan konsepsi. Sehingga kondisi tersebut menempatkan Sūnyatā di dalam alirna mahayana sebagai kebenaran yang tertinggi. Selain itu penafsiran akan adanya kebenaran tersebut menjadi salah satu dasar dalam perkembangan ajaran Sūnyatā.
Ajaran Sūnyatā menjadi ajaran sentral dalam aliran Mahayana. Segala ajaran-ajaran yang di sampaikan oleh aliran Mahayana tidak terlepas dari pengaruh dalam memahami ajaran Sūnyatā. Pernyataan yang menyatakan bahwa ajaran Sūnyatā sebagai ajaran sentral di dalam aliran Mahayana di kemukakan oleh Nagarjuna. Nagarjuna merupakan salah satu orang yang mendukung ajaran Sūnyatā sebagai ajaran sentral. Hal tersebut dapat ditemukan didalam karyanya Mūla-Mādhyamaka-Nārikā. Mūla-Mādhyamaka-Nārikā karya Nagarjuna  mengungkapkan bahwa Sūnyatā menjadi dasar dalam memahami ajaran Buddha. Karena segala sesuatu didasarkan pada memahaman dari segala sesuaatu yang kosong dari inti yang sejati. Selain itu, ajaran Sūnyatā juga mendasari dari segala ajaran-ajaran di dalam aliran Mahayana.
Metode penganalisisan materi di dalam ajaran Sūnyatā tidak jauh berbeda dengan metode penganalisisan materi kaum Abhidhamma aliran Theravada. Metode penganalisisan materi yang digunakan berupa penguraian materi hingga hakikat yang terkecil dari suatu materi. Seperti halnya tubuh manusia, menurut kaum Abhidhamma tubuh manusia merupakan perpaduan dari substansi-substansi yang ada di alam semesta berupa elemen tanah, elemen air, elemen udara serta elemen api. Walaupun metode yang digunakan kaum Abhidhamma dari aliran Theravada, akan tetapi hasil penganalisisan materi yang ada di ajaran Sūnyatā jauh berbeda. Di dalam penganalisisan materi yang dilakukan oleh ajaran Sūnyatā menguraikan lebih dalam akan hakikat materi yang sesungguhnya. Hasil penganalisisannya menunjukankan bahwa materi yang ada di alam semesta ini diliputi kekosongan dari substansi-substansi materi, bahkan kosong dari kekosongan itu sendiri. Selain itu. hal tersebut juga didukung dengan hasil dari delapan metode penyangkalan langsung. Nagarjuna didalam Madhyamaka Karika mengatakan sebagai berikut:
“Anirodham anutpadam anucchedam asasvatam/
Anekartham ananartham anagaman anirgamam//”
Artinya:
Anirodham      berarti tidak rusak atau lenyap,
Anutpadam     berarti tidak dijadikan atau dilahirkan,
Anucchedam   berarti tidak terputus,
Asasvatam       berarti tidak tidak kekal, tiada kekekalan,
Anekartham    berarti tidak sendirian, tiada ketunggalan,
Ananartham    berarti tidak atau tiada pluralitas,
Anagaman       berarti tidak datang,
Anirgamam     berarti tidak pergi.
Hasil penganalisisan yang dilakukan dalam ajaran Sūnyatā sekaligus membantah akan adanya substansi-substansi yang ada di kaum Abhidhamma aliran theravada. Melalui delapan metode penyangkalan  tersebut, semua konsep di alam semesta ini yang secara normal ditempatkan didalam bentuk yang negatif. Sehingga di dalam memandang segala sesuatu yang ada di dunia sebagai kekosongan, kosong dari substansi-substansi materi. Realitas atau kenyataan yang kekosongan dipandang di luar pengetian intelek.
Dalam pembahasan Sūnyatā, Nagarjuna menolak menguraikan secara tepat tentang apa yang beliau maksudkan dengan istilah Sūnyatā. Penolakan tersebut dilakukan untuk menghindari adanya pandangan ekstrem dari kaum nihilisme yang memiliki pandangan bahwa dunia ini tidak terdapat suatu apapun. Selain itu, juga berusaha untuk menghindari dari kaum eternalis yang memiliki pandangan bahwa dunia ini bersifat abadi yang terdapat inti-inti yang kekal. Jadi dikatakan:
“Anaksarasya dharmasya srutih ka desana ca ka,
sruyate desyate carthat samaropad anaksarah.”

Artinya:
Bagaimana dapat mendengarkan dan mengkhotbahkan dharma, yang tidak dapat diucapkan (harafiah: tidak dapat diucapkan kata demi kata dengan jelas),  hal itu dengan tingkatan ke tingkatan yang lebih tinggi dari ide tentang realitas yang tidak dapat dijelaskan bahwa yang belakangan dapat dikotbahkan  atau didengar.
Sehingga Nagarjuna dalam karyanya berusaha menolak menguraikan secara tepat tentang apa yang beliau maksudkan dengan istilah Sūnyatā. Dalam penguraian yang lebih lanjut nagarjuna juga berusaha menghindari pertanyaan spekulatif yang dapat menjerumuskan seseorang kedalam pandangan yang salah. Selain itu, karena perdebatan dengan pertanyaan-pertanyaan bentuk spekulatif tidak akan membawa pembebasan dari lobha, dosa, moha dan justru apabila salah dalam memahami dapat menghambat untuk mencapai pembebasan. Pertanyaan spekulatif tersebut salah satunya seperti berikut:
“Apabila terdapat beberapa hal yang bersifat tidak kosong, (non-empty), tentu juga terdapat beberapa hal yang diistilahkan  sebagai kekosongan (empty); lalu apabila tidak terdapat sesuatu yang sifatnya tidak kosong, lalu dimanamungkinnya terdapat suatu yang sifatnya kosong?”
Dengan adanya pertanyaan seperti halnya pertanyaan tersebut, baik Buddha maupun Nagarjuna tidak menjawab pertanyaan tersebut.karena pertanyaan tersebut tidak akan membawa perkembangan batin menuju pembebasan bagi yang bertanya. Akan tetapi, mereka hanya menganjurkan agar seseorang mempelajari meditasi menurut Buddhisme yang dapat memungkinkan sang meditator dapat memahami pengalaman total secara langsung, sehingga mereka dapat memahami sendiri tentang keadaan kekosongan tersebut. Melalui penembusan langsung tersebut, menempatkan kekosongan menjadi karakteristik utama dalam mempelajari ajaran Buddha.
            Sūnyatā menjadi karakteristik utama dalam ajaran Buddha aliran Mahayana. Ajaran kekosongan merupakan suatu ajaran yang mendalam dan dengan rumusan yang tepat menjadikan perdebatan yang rumit. Karena sedikit saja kesalahpahaman dikatakan dapat menghalangi kemajuan menuju kebahagiaan. Kekosongan tidak pernah disamakan dengan ketiadaan, seperti halnya suatu ruang yang tidak terdapat suatu apapun didalamnya, tetapi selalu berhubungan dengan entitas (suatu yang berwujud) tertentu dimana kekosongan tersebut dinyatakan. Seperti halnya dalam memandang tubuh manusia, yang apabila diperhatikan sekilas terdapat suatu wujud yang dapat ketahui melalui pancaindria yaitu berupa wujud tubuh manusia. Akan tetapi, apabila tubuh manusia tersebut diurai lebih dalam hingga hakikat terkecil dari tubuh manusia, tubuh manusi sesungguhnya kosong dari substansi-substansi materi, termasuk kosong dari kekosongan itu sendiri. kekosongan tersebut menjadi karakteristik utama didalam aliran mahayana yang mendasari setiap ajaranya, yang amat penting dipahami untuk membedakan Sūnyatā dengan nihilisme.
            Sūnyatā yang berarti kekosongan, berkaitan dengan penembusan hakikat dari segala sesuatu. Segala sesuatu dikatakan kosong (Sūnyatā) merupakan dimana segala fantasi atau konsep, atau pandangan keliru tentang orang dan benda lenyap seperti halnya mimpi yang buyar. Manusia serta fenomena (Dharma) lainnya adalah Sūnyatā, kosong dari inti, kosong berarti substansi. Didalam Prajnaparamitahrdaya Sutra dikatakan:
“Iha sariputra sarva dharmah sunyata laksana anutpanna aniruddha amala na vimala nona na paripurnah”
Artinya:
Dalam hal ini; oh, Sariputra, semua dharma (fenomena) bercirikan kekosongan, mereka tidak muncul atau pun lenyap; tidak ternoda atau pun murni; tidak kurang atau pun lengkap.

Karena itu, fenomena-fenomena sesungguhnya adalah nama, di mana terdapat kekosongan, di sana tak ada wujud, perasaan, persepsi, dorongan pikiran, atau pun kesadaran; tak ada mata, telinga, hidung, lidah, atau pun pikiran (manas); tak ada bentuk, suara, bebauan, rasa, obyek yang dapat disentuh, atau pun obyek pikiran; tak ada unsur indera penglihatan, dan sebagainya, hingga, tak ada unsur kesadaran pikiran; tak ada kebodohan, tak ada kelenyapan kebodohan, dan sebagainya, hingga, tak ada kelapukan dan kematian, atau pun lenyapnya kelapukan dan kematian; tak ada penderitaan, sebab (penderitaan), akhir (penderitaan), atau pun jalan (yang membawa kepada akhir penderitaan); tak ada pemahaman, tak ada pencapaian (napraptih) dan tak ada bukan-pencapaian (apraptivat). Istilah “ada” dalam pembahasan Sūnyatā sesungguhnya suatu keadaan yang “bukan ada”. Ketika seseorang memandang ada diri, hal tersebut merupakan suatu ungkapan untuk menyatakan adanya perpaduan kondisi-kondisi yang saling berkaitan hingga dapat membentuk wujud. Hal tersebut merupakan suatu eksistensi tidak disertai ensensi, sehingga adanya istilah “saya” sesungguhnya adalah “tidak ada”.
            Sūnyatā adalah sinonim dengan ajaran Buddha tentang anata atau tentang aku. Sūnyatā menyangkal adanya suatu substansi yang tepisah dan ada dengan sendirinya tanpa tergantung atas kondisi-kondisi lainnya. Sūnyatā atau Suññata berkaitan dengan ajaran tanpa diri (anata/anaman). Didalam  ajaran Sūnyatā menunjukan bahwa didalam diri manusia hanyalah perpaduan dari beragai konsisi-kondisi. Ajaran Sūnyatā memandang tubuh manusia adalah kosong dari inti yang sejati. Keadaan tersebut diuraikan dalam Prajnaparamitahrdaya Sutra :

“Tams ca svabhava sunyan pasyati sma. Iha sariputra rupam sunyata sunyataiva rupam rupanna prithak sunyata sunyataya na prithak rupam yad rupam sa sunyataya sunyata tad rupam. Evam eva vedana samjna samskara vijnanani”.
Artinya:
Dalam hal ini, oh, Sariputra, wujud adalah kekosongan (sunyata), dan kekosongan itu sendiri adalah wujud (rupa); kekosongan tidak berbeda dari wujud, dan wujud juga tidak berbeda dari kekosongan; apa pun yang merupakan wujud, itu adalah kekosongan, apa pun yang merupakan kekosongan, itu adalah wujud. Begitu pun halnya dengan perasaan (vedana), persepsi (samjna), dorongan pikiran (samskara), dan kesadaran (vijnana).
            Dalam Buddhisme berpandangan teguh pada pandangan yang sedikit berbeda dengan ilmu pengetahuan. Didalam ilmu pengetahuan membicarakan pengetahuan tentang dunia ini didasarkan pada sesuatu yang bersifat materi. Akan  tetapi, Buddhisme berpandangan bahwa dunia ini didasarkan pada sesuatu yang bersifat immateri, tidak bersifat mateial.
            Sūnyatā memiliki pandangan yang berbeda dari kaum eternalis dan kaum nihilisme. Pandangan Buddhisme tentang kekosongan sering disalah artikan sebagai nihilisme. Perlu diketahui bahwa didalam nihilisme memandang kebenaran atau realitas tidak dapat diketahui. Dengan adanya anggapan tersebut, dalam memandang dunia mereka beranggapan bahwa didunia ini merupakan suatu keadaan yang tidak tediri dari segala sesuatu. Sehingga dari konsep tersebut mereka berpandangan yang menurut mereka tidak ada hal yang berarti yang dapat dibicarakan tentang dunia. Dalam pandangan Buddhisme tentang kekosongan dari subtansi-substansi materi berlawanan dengan dengan ajaran nihilisme. Ajaran Sūnyatā menyatakan bahwa realitas tertinggi dapat diketahui, tedapat ontologis yang jelas untuk fenomena, dan seseorang dapat membicarakan dan memperoleh pengetahuan yang bermanfaat darinya tentang dunia. Kekosongan (Sūnyatā) tidak boleh disamakan dengan ketiadaan. Kekosongan bukan tidak ada (non-existence) atau pun tidak ada realitas (non-reality). Kekosongan tersebut sesunggugnya merupakan keadaan yang penuh dari kondisi-kondisi yang saling berkaitan. Walaupun demikian, apabila kondisi-kondisi diurai merupakan keadaan yang kosong. Selain itu, dalam memandang dunia yang kosong dari subsansi-substansi materi, juga berlawanan dengan ajaran eternalis. Di dalam pandangan eternalis memandang bahwa keadaan dunia ini sebagai suatu keadaan yang abadi dan kekal; tidak berubah; hal yang pokok akan selalu ada, yang terdapat dibelakang semua fenomena atau gejala-gejala. Di dalam ajaran Sūnyatā di Buddhisme memandang segala sesuatu tidak dapat dikatakan sebagai keadaan yang selalu beruah maupun keadaan yang selalu tetap.
Sūnyatā suatu keadaan yang rill, dimana keadaan Sūnyatā tidak tedapatnya sesuatu, namun juga bukan keadaan yang hampa dari sesuatu. Sunyata merupakan keadaan yang jelas dan dapat dihayati secara langsung. Akan tetapi, tidak mungkin dapat seseorang tangkap pengertian Sūnyatā sepenuhnya hanya dengan pikiran. Sūnyatā merupakan sesuatu yang semua sifatnya dapat disebutkan, namun hanya melalui pengalaman langsung yang aktual sajalah kemungkinannya Sūnyatā dapat ditunjukan ciri-cirinya. Hanya dalam arti yang demikian filsafat mahayana mengungkapkan arti sunyata. Dan yang harus dirasakan, dihayati sendiri oleh orang yang ingin mengetahui makna Sūnyatā melalui penembusan langsung. Buddha dengan jelas mendasarkan ajarannya atas dasar pengalaman. Pengalaman tersebut haruslah diperoleh melalui pelaksanaan bhavana hingga mencapai pengetahuan dan pembebasan.
            Aliran Yogacara dan Vijnanavada dari Buddhisme Sūnyatā dengan pengalaman. Di dalam aliran Yogacara dan Vijnanavada, kekosongan diajarkan sebagai ketidakmampuan untuk memikirkan suatu objek selain dari kesadaran yang menyadari objek tersebut. Didalam Yogacara dan Vijnanavada, Sūnyatā diajarkan lebih menekankan pada ketidak mampuan menguraikan suatu subjek dan objek dalam proses mengetahui (suatu objek) yang merupakan konsep kekosongan dari Yogacara dan Vijnanavada. Namun, Sūnyatā itu sendiri bukan berarti suatu konsep tentang “pengalaman”, seperti yang disarankan oleh aliran Yogacara dan Vijnanavada. Sūnyatā itu berarti kekosongan yang menunjukan bahwa yang dimaksud adalah keadaan kosong dari sesuatu konsep. Sūnyatā merujuk pada pengalaman yang aktual itu sendiri, suatu pengalaman yang diperoleh dalam pengembangan bhavana bukanlah semata-mata suatu konsep intelektual.
            Pengetahuan Buddhisme menolak akan pandangan pengetahuan dari Hinduisme, dengan mengemukakan doktrin dasar dari Buddhisme yang dinamai Sūnyatā. Buddha menolak dunia metafisika atau dunia religius hinduisme yang diterangkan sebagai diluar pengalaman keindriaan; dan berpendapat bahwa dunia tersebut lebih rill dari pengalaman keindriaan. Buddha telah mengemukakandoktrin tentang Sūnyatā atau kekosongan sebagai jawaban yang radikal terhadap pandangan Hinduisme. Kemudian dalam perkembangan jaman, para filsuf mahayana telah mengemukakan secara berulang-ulang bahwa Sūnyatā itu meupakan dunia yang tidak bersifat metafisika, tidak misterius atau kabur, dan bukan merupakan suatu pengertian atau konsep yang sama sekali abstrak. Selain itu, didalam pembahasan ajaran Sūnyatā merupakan jawaban yang menjadi jalan tengah diantara berkembangnya dua aliran eksrtrim (nihilisme dan eternalis).  Kekosongan bukanlah sesuatu yang tidak ada; tetapi lebih menekankan sesuatu yang tidak bersifat materi, sifat materi tidak dapat kita ketahui dengan mempergunakan kesadaran yang terbatas.
             Buddhisme memiliki pandangan tentang pengalaman yang bersifat iklusif. Di dalam memandang segala sesuatu tidak hanya logis, akan tetapi juga berdasarkan pengetahuan yang diperoleh secara langsung. Dalam memberikan argumentasi dari titik kedudukan bahwa kesunyataan yang bersifat absolut dan yang paling hakiki itu hanyalah pengalaman yang aktual itu sendiri. Kemudian Nagarjuna  mengsistematisir ajaran Buddha dan mengatakan bahwa semua kata-kata, lambang-lambang, konsep-konsep itu hanya dapat membahas kesunyataan yang didalam sifatnya yang relatif atau empiris saja. Didalam Buddhisme aliran mahayana, yang dinamakan zat (matter) adalah pengalaman yang dikonseptualisasikan. Agar dapat membentuk suatu model yang bersifat simbolik  atau konseptual, dari suatu pengalaman. Sehingga, pengalaman mengenai dunia, tubuh, atau otak, akan lebih mudah, tidak sukar apabila seseorang menganggap pengalaman sebagai zat (matter). Filsafat mahayana tentang alam semesta ini terbagi menjadi roh (spirit) dan zat (matter), dan mentransformasikannya menjadi kekosonga (emptiness) dan bentuk (form), yang kemudian menjadikan menjadikan pengalaman total dan model-model konseptual. Dengan hal tersebut, mentransformasikan pandangan yang religius dari dunia materi yang muncul dan berada didalam dunia spiritual menjadi pandangan tentang model-model konseptual yang muncul dari dan berada didalam pengalaman aktual yang bersifat total.

            Dengan demikian, Sūnyatā merupakan suatu ajaran sentral di dalam aliran Mahayana. Sūnyatā mendasari segala ajaran didalam mahayana. Dapat kita ketahui bahwa setiap ajaran mahayana tidak terlepas dari ajaran Sūnyatā dalam upaya memahami ajaran Buddha. Selain itu, ajaran Sūnyatā merupakan suatu ajaran yang menjadi jalan tengah yang menghindari adanya berbagai pandangan ekstrim yang dimunculkan oleh kaum nihilisme dan kaum eternalis. Ajaran  Sūnyatā tersebut menghapuskan segala pandangan.
“Seseorang yang telah memperoleh kemenangan atas ketidaktahuannya mengungkapkan bahwa kekosongan itu adalah mirip penghapus, yang menghapus segala pandangan. Orang yang telah memperoleh pengetahuan kekosongan akan memiliki pandangan terang yang tidak dapat dilenyapkan dari alam pikiran”.
Dengan memberikan bahan bacaan tentang ajaran Sūnyatā, penulis berharap dapat memberikan pengetahuan kepada pembaca agar tidak terjebak pada dua pandangan ekstrem dari kaum nihilisme dan kaum eternalis, agar dapat merealisasikan pencapaian kebahagiaan seperti halnya yang diajarkan oleh Buddha.

Refrensi:
Suwarto, T. 1995. Buddha Dhamma Mahayana. Palembang: Majelis Agama Buddha Mahayana.
Della Santina, Petter. 2002. Causality and Emptiness: The Wisdom of Nagarjuna. Singapore: Buddhist Reserch Society.
Sugianto, R. 2004 Agama Buddha dan Ilmu Pengetauan. Jakarta: Buddhis Aryasurya Candra.
Kalupahana, David J.1994. A History of Buddhist Philosophy. Delhi: Motilal Barnasidas Publisher Ltd.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar