Oleh: Andi Setiyono
Di dalam dunia ini
terbentuk dari kondisi-kondisi yang sangat kompleks. Segala yang ada di dalam
dunia sulit dihindarkan dari perpaduan antara satu kondisi dengan kondisi lain
yang saling berkaitan. Seperti halnya dunia ini, di dunia ini terbentuk dari
berbagai kondisi, sehingga di dalam dunia ini terbentuk suatu sistem yang
sangat komplek. Hal tersebut juga tidak jauh berbeda dengan susunan tubuh
manusia, di dalam tubuh manusia tersusun dari berbagai macam kondisi yang
saling berkaitan sehingga membentuk nama dan rupa. Perpaduan dari nama dan rupa
yang saling berkaitan itulah yang secara pandangan umum disebut sebagai wujud
manusia. akan tetapi jika dipelajari lebih mendalam, di dalam tubuh manusia
tidak ada unsur yang dapat dikatakan sebagai manusia. Tubuh manusia hanyalah
perpaduan dari berbagai kondisi yang saling berhubungan antara satu kondisi
dengan kondisi-kondisi yang lain yang sangat kompleks. Sehingga tidak ada unsur
inti yang dapat dikatakan sebagai manusia yang seutuhnya, atau lebih tepatnya
dikatakan sebagai kosong dari inti yang sejati.
Dalam
Buddhisme, ajaran kekosongan dikenal dengan istilah Suññata. Istilah Suññata
atau Sūnyatā umumnya digunakan berkaitan dengan ajaran tanpa diri (anata / anatman)
untuk menunjukan bahwa lima kelompok kehidupan (Pancakandha) adalah ‘kosong’
dari adanya diri atau jiwa yang bersifat kekal, yang dengan salah
dikaitkan dengan unsur pancakandha
tersebut. Namun ajaran kekosongan dijelaskan secara panjang lebar oleh Nāgārjuna,
yang digunakannya dengan tepat untuk melenyapkan konsep substansial dari ajaran
Abhidhamma aliran Theravada. Karena aliran mahayana berpandangan bahwa tidak
ada apapun yang bukan sifat kebuddhaan (Buddhatā), semua yang muncul sesungguhnya sama seali
tanpa karakteristik. Sehingga ajaran Sūnyatā menjadi ajaran sentral di dalam
aliran Mahayana. Selain itu, ajaran
Sūnyatā menjadi jalan tengah dari adanya dua pandangan ekstrem yang berkembang
di masa Buddha. Di dalam pembahasan ini, saya akan menguraikan lebih lanjut
berkenaan Sūnyatā sebagai Jalan Tengah. Dengan adanya pembahasan ini, saya
berharap dapat menyediakan wahan pengetahuan bagi pembaca dalam memahami
ajaran Buddhisme. Sehingga pembaca tidak
terjebak didalam pandangan ekstrem yang berkembang di masa itu. Seperti halnya
usaha Buddha Gautama dan Nāgārjuna dalam menghindari adanya dua pandangan
ekstrem, agar tidak terjebak di dalam pandangan ekstrem yang berkembang saat
itu.
Buddhisme mengalami
pergeseran pemaknaan pasca seketarian. Salah satu pergeseran pemaknaan dalam
Buddhisme tersebut berkenaan pemaknaan akan dua buah pemaknaan, paramatha sacca
dan samutti sacca. Perkembangan dua buah kebenaran tersebut awalnya tidak
begitu jelas. Menurut Pali Canon pemaknaan dua buah kebenaran tersebut tidak
ditemukan adanya perbedaan yang begitu jelas. Di dalam Anggutara nikaya ada dua
kelompok orang yang menggambarkan Buddha dengan dua buah pernyataan. Pernyataan
tersebut mengungkapkan adanya kelompok yang memandang Sutta makna tidak langsung sebagai Sutta
makna langsung dan sebaliknya kelompok yang mewakili Sutta makna langsung
sebagai Sutta tidak langsung. Di kedua pandangan kebenaran tersebut tidak ada
kebenaran yang dijadikan sebagai kebenaran yang dianggap sebagai suatu
kebenaran mutlak dan satu-satunya kebenaran. Didalam pali teks disebut bahwa
Nitattha Sutta, yang maknanya adalah polos dan langsung dan yang lainnya
disebut sebagai Neyyattha Sutta dalam
pengartian bahwa maknanya tidak langsung atau terselubung oleh makna tertentu. Dalam perkembanganya pemaknaan akan dua buah
kebenaran tersebut semakin menunjukan perbedaaan pemaknaan yang semakin jelas.
Perbedaan berkenaan pemaknaan Paramatha Sacca dan Samutti Sacca terlihat jelas
ketika agama Buddha terbagi ke dalam
beberapa aliran. Pergeseran Dua pengetahuan tentang kebenaran Paramata Sacca
dan Samutti Sacca semakin jelas ketika diungkapkan oleh sarjanawan modern.
Sehingga perbedaan yang awalnya tidak begitu jelas berkenan kedua kebenaran, dalam
perkembangannya mulai nampak jelas perbedaan-perbedaan dalam memandang konsep
kebenaran tersebut.
Perkembangan
ajaran Sūnyatā
tidak dapat terlepas dari adanya perkembangan dalam memandang dua buah
kebenaran. Di dalam menanggapi perkembangan adanya dua buah kebenaran tersebut,
aliran filsafat mahayana meng-klaim bahwa kebenaran relatif didasarkan pada
Sūnyatā, suatu istilah yang digunakan
untuk menunjukan Paramatha Sacca atau kebenaran tertinggi (ultimate truth),
yang dikatakan sebagai yang diluar devinisi.
Sūnyatā dimengerti dari dua
segi pandangan. Sūnyatā dapat dimengerti berhubungan dengan vyavahara atau realitas empiris, Sūnyatā
berarti naihsvabhavya yaitu ketiadaan
adanya diri sendiri, sifat dasar yang tidak bersyarat. Sūnyatā mengandung arti pratitya-samutpada sebagai suatu relativitas
sebenarnya. Sebagai relativitas, Sūnyatā juga mengandung arti relatif, sifat
dasar yang tidak absolut dari pandangan yang spesifik. Pandangan yang ke-dua, Sūnyatā
dapat dimengerti dalam hubungan dengan paramartha atau realitas akhir, Sūnyatā
mengandung arti sifat dasar mengenai absolut yang non-konseptual.
Ajaran Sūnyatā secara tidak langsung dipadang sebagai
tidak ada perbedaan antara kedua kebenaran. Kedua kebenaran tersebut dipandang
sebagai yang tdak dapat dibeda-bedakan. Di dalam Maharatnakuta Sutta, Sutta
ke-35 yang berjudul Pembabaran Mengenai Kondisi Ke-Buddha-an Yang Tak
Tertandingi menguraikan:
“Yang
Dijunjung Dunia, apakah yang dimaksud dengan penerangan sempurna?” Buddha
menjawab, “yakni kondisi kekosongan itu sendiri, karena semua gagasan adalah
sama. Ia adalah kondisi ‘ketanpa-cirian’, karana semua ciri adalah sama. Ia
adalah kondisi ‘tiadanya keinginan lagi’, karena ketiga alam adalah sama. Ia
adalah ‘tanpa rindakan’, karena semua tindakan adalah sama. Ia adalah keadaan
‘tak terkondisi’, karena segala yang berkondisi adalah sama..., meskipun
demikian kekosongan itu sendiri tidak mengenal pembeda-bedaan.”
Dalam memahami ke dua
kebenarna tersebut, Nagarjuna mengambil jalan pada ke dua kebenaran dalam
memahami ajaran Buddha. Nagarjuna menyatakan bahwa, di dalam memahami Samutti
Sacca (kebenaran empiris/umum) dan Paramatha Sacca (kebenaran absolute/akhir)
menjadi sarana yang penting dalam memahami ajaran Buddha. Tanpa memahami adanya
kebenaran tersebut, sulit bagi setiap orang dalam memahami ajaran Buddha.
Madhyamaka Karika XXIV, 9:
(Nagarjuna)
“ Ye nayor na vijananti
vibhagam satyayor dvayoh/
Te tattvam na vijananti
gambhiram Buddhasasana//”
Artinya:
“Bagi yang tidak mengetahui
perbedaan diantara kedua kebenaran ini tidak dapat mengerti arti yang dalam
mengenai ajaran Hyang Buddha”.
Pemahama tentang kedua
ajaran kebenaran menjadi suatu kesatuan yang utuh. Dalam memahami ajaran Buddha
tidak dapat dipisahkan antara Paramatha Sacca dan Samutti Sacca. Kedua
kebenaran tersebut menjadi suatu kesatuan yang saling mendukung. Nagarjuna
menjelaskan kepentingan vyavahara
atau realitas empiris didalam mencapai Paramatha atau realitas absolute.
Madhyamaka Karika XXIV, 10 :
“Vyavaharam anasritya paramartha desyate/
Paramartham anagmya nirvanam nadhigamyate//”
Artinya:
“Kebenaran tertinggi tidak
dapat diberikan tanpa mempunyai jalan lain menuju kebenaran konvensional: dan
Nirvana tidak dapat diperoleh tanpa realisasi mengenai kebenarn tertinggi.”
Oleh karena itu, Samutti adalah upaya (cara), paramatha adalah upeya (tujuan).
Sūnyatā memandang paramatha Sacca dan Samutti Sacca
sebagai keadaan kekosongan. Dalam memandang dua kebenaran tersebut, tidak ada
yang dapat dikatakan sebagai suatu kebenaran yang paling tinggi maupun
kebenaran yang dipandang lebih rendah. Kedua kebenaran tersebut menurut ajaran
Sūnyatā dikatakan sama, yang diliputi oleh keadaan kekosongan, termasuk
kekosongan itu sendiri yang kosong dari konsep. Dalam menanggapi pergeseran
pemaknaan akan kedua kebenaran yang telah terjadi, di dalam Dvadasanikaya
Sastra (disusun oleh Nagarjuna) menyatakan bahwa: “Kebijaksanaan terbesar
adalah yang disebut Sūnyatā.” Didalam memandang dan memahami segala sesuatu,
Sūnyatā menjadi suatu kebenaran yang tertinggi.
Di aliran mahayana menempatkan ajaran Sūnyatā ditempatkan pada kebenaran
yang tertinggi atas dasar bahwa keadaan kekosongan tersebut meliputi segala
sesuatu yang ada di alam semesta. Segala sesutu yang terdapat di alam semesta
ini meupakan perpaduan dari berbagai kondisi yang saling berkaitan dan tidak
dapat dipisahkan. Jika diuraikan secara mendalam untuk menemukan sebuah inti,
alam semesta ini diliputi oleh kekosongan. Keadaan Sūnyatā tersebut menunjukan
bahwa yang dimaksud kekosongan adalah keadaan kosong dari substansi-substansi
dari materi, termasuk kosong dari teori kekosongan itu sendiri.
Kita telah mengetahui bahwa aliran mahayan menggunakan
dialektika sebagai suatu kritik mengenai semua drsti (teori) tanpa suatu sesuatu teori miliknya. Dengan
menggunakan pandangan yang dialektika, aliran mahayana memperoleh kesimpulan
bahwa semua dharma diliputi oleh
keadaan sunya atau nissvabhava yaitu kosong dari segala
independen, realitas atau kenyataan substansi. Sūnyatā bukanlah suatu teori.
Sedangkan orang sering keliru menganggap Sūnyatā itu teori. Nagarjuna
menjelaskantujuan Sunyata sebagai berikut:
“Atra brumah sunyatayam na tvam vetsi prayojnanam/
Sunyatam sunyatartham ca tata evam vihanyase//”
Artinya
“Anda tidak mengetahui/mengerti tujuan dari
Sūnyatā. Sūnyatā bukanlah digunakan sebagai suatu teori tetapi hanya untuk
kepentingan Sūnyatā”
Sūnyatā dipikirkan bukan untuk kepentingannya sendiri,
tetapi untuk membimbing pikiran itu terhadap realitas atau kenyataan dengan
mengendalikan tendensi yang berhubunngan dengan konsepsi. Sehingga kondisi
tersebut menempatkan Sūnyatā di dalam alirna mahayana sebagai kebenaran yang
tertinggi. Selain itu penafsiran akan adanya kebenaran tersebut menjadi salah
satu dasar dalam perkembangan ajaran Sūnyatā.
Ajaran Sūnyatā menjadi ajaran sentral dalam aliran
Mahayana. Segala ajaran-ajaran yang di sampaikan oleh aliran Mahayana tidak
terlepas dari pengaruh dalam memahami ajaran Sūnyatā. Pernyataan yang
menyatakan bahwa ajaran Sūnyatā sebagai ajaran sentral di dalam aliran Mahayana
di kemukakan oleh Nagarjuna. Nagarjuna merupakan salah satu orang yang
mendukung ajaran Sūnyatā sebagai ajaran sentral. Hal tersebut dapat ditemukan
didalam karyanya Mūla-Mādhyamaka-Nārikā. Mūla-Mādhyamaka-Nārikā karya
Nagarjuna mengungkapkan bahwa Sūnyatā
menjadi dasar dalam memahami ajaran Buddha. Karena segala sesuatu didasarkan
pada memahaman dari segala sesuaatu yang kosong dari inti yang sejati. Selain
itu, ajaran Sūnyatā juga mendasari dari segala ajaran-ajaran di dalam aliran
Mahayana.
Metode penganalisisan materi di dalam ajaran Sūnyatā
tidak jauh berbeda dengan metode penganalisisan materi kaum Abhidhamma aliran
Theravada. Metode penganalisisan materi yang digunakan berupa penguraian materi
hingga hakikat yang terkecil dari suatu materi. Seperti halnya tubuh manusia,
menurut kaum Abhidhamma tubuh manusia merupakan perpaduan dari
substansi-substansi yang ada di alam semesta berupa elemen tanah, elemen air,
elemen udara serta elemen api. Walaupun metode yang digunakan kaum Abhidhamma
dari aliran Theravada, akan tetapi hasil penganalisisan materi yang ada di
ajaran Sūnyatā jauh berbeda. Di dalam penganalisisan materi yang dilakukan oleh
ajaran Sūnyatā menguraikan lebih dalam akan hakikat materi yang sesungguhnya.
Hasil penganalisisannya menunjukankan bahwa materi yang ada di alam semesta ini
diliputi kekosongan dari substansi-substansi materi, bahkan kosong dari
kekosongan itu sendiri. Selain itu. hal tersebut juga didukung dengan hasil
dari delapan metode penyangkalan langsung. Nagarjuna didalam Madhyamaka Karika
mengatakan sebagai berikut:
“Anirodham anutpadam
anucchedam asasvatam/
Anekartham ananartham
anagaman anirgamam//”
Artinya:
Anirodham
berarti tidak rusak atau lenyap,
Anutpadam berarti tidak dijadikan atau dilahirkan,
Anucchedam berarti tidak terputus,
Asasvatam berarti tidak tidak kekal, tiada
kekekalan,
Anekartham
berarti tidak sendirian, tiada
ketunggalan,
Ananartham
berarti tidak atau tiada pluralitas,
Anagaman
berarti tidak datang,
Anirgamam
berarti tidak pergi.
Hasil penganalisisan yang dilakukan dalam ajaran Sūnyatā
sekaligus membantah akan adanya substansi-substansi yang ada di kaum Abhidhamma
aliran theravada. Melalui delapan metode penyangkalan tersebut, semua konsep di alam semesta ini
yang secara normal ditempatkan didalam bentuk yang negatif. Sehingga di dalam
memandang segala sesuatu yang ada di dunia sebagai kekosongan, kosong dari
substansi-substansi materi. Realitas atau kenyataan yang kekosongan dipandang
di luar pengetian intelek.
Dalam pembahasan Sūnyatā, Nagarjuna menolak menguraikan
secara tepat tentang apa yang beliau maksudkan dengan istilah Sūnyatā. Penolakan
tersebut dilakukan untuk menghindari adanya pandangan ekstrem dari kaum
nihilisme yang memiliki pandangan bahwa dunia ini tidak terdapat suatu apapun.
Selain itu, juga berusaha untuk menghindari dari kaum eternalis yang memiliki
pandangan bahwa dunia ini bersifat abadi yang terdapat inti-inti yang kekal.
Jadi dikatakan:
“Anaksarasya dharmasya srutih ka desana ca ka,
sruyate desyate carthat samaropad anaksarah.”
Artinya:
Bagaimana dapat mendengarkan dan
mengkhotbahkan dharma, yang tidak dapat diucapkan (harafiah: tidak dapat
diucapkan kata demi kata dengan jelas),
hal itu dengan tingkatan ke tingkatan yang lebih tinggi dari ide tentang
realitas yang tidak dapat dijelaskan bahwa yang belakangan dapat
dikotbahkan atau didengar.
Sehingga
Nagarjuna dalam karyanya berusaha menolak menguraikan secara tepat tentang apa
yang beliau maksudkan dengan istilah Sūnyatā. Dalam penguraian yang lebih
lanjut nagarjuna juga berusaha menghindari pertanyaan spekulatif yang dapat
menjerumuskan seseorang kedalam pandangan yang salah. Selain itu, karena perdebatan
dengan pertanyaan-pertanyaan bentuk spekulatif tidak akan membawa pembebasan
dari lobha, dosa, moha dan justru apabila salah dalam memahami dapat menghambat
untuk mencapai pembebasan. Pertanyaan spekulatif tersebut salah satunya seperti
berikut:
“Apabila terdapat beberapa hal yang bersifat
tidak kosong, (non-empty), tentu juga terdapat beberapa hal yang
diistilahkan sebagai kekosongan (empty);
lalu apabila tidak terdapat sesuatu yang sifatnya tidak kosong, lalu
dimanamungkinnya terdapat suatu yang sifatnya kosong?”
Dengan adanya pertanyaan seperti halnya pertanyaan tersebut,
baik Buddha maupun Nagarjuna tidak menjawab pertanyaan tersebut.karena
pertanyaan tersebut tidak akan membawa perkembangan batin menuju pembebasan
bagi yang bertanya. Akan tetapi, mereka hanya menganjurkan agar seseorang
mempelajari meditasi menurut Buddhisme yang dapat memungkinkan sang meditator
dapat memahami pengalaman total secara langsung, sehingga mereka dapat memahami
sendiri tentang keadaan kekosongan tersebut. Melalui penembusan langsung
tersebut, menempatkan kekosongan menjadi karakteristik utama dalam mempelajari
ajaran Buddha.
Sūnyatā menjadi karakteristik utama dalam
ajaran Buddha aliran Mahayana. Ajaran kekosongan merupakan suatu ajaran yang
mendalam dan dengan rumusan yang tepat menjadikan perdebatan yang rumit. Karena
sedikit saja kesalahpahaman dikatakan dapat menghalangi kemajuan menuju
kebahagiaan. Kekosongan tidak pernah disamakan dengan ketiadaan, seperti halnya
suatu ruang yang tidak terdapat suatu apapun didalamnya, tetapi selalu
berhubungan dengan entitas (suatu yang berwujud) tertentu dimana kekosongan
tersebut dinyatakan. Seperti halnya dalam memandang tubuh manusia, yang apabila
diperhatikan sekilas terdapat suatu wujud yang dapat ketahui melalui
pancaindria yaitu berupa wujud tubuh manusia. Akan tetapi, apabila tubuh manusia
tersebut diurai lebih dalam hingga hakikat terkecil dari tubuh manusia, tubuh
manusi sesungguhnya kosong dari substansi-substansi materi, termasuk kosong
dari kekosongan itu sendiri. kekosongan tersebut menjadi karakteristik utama
didalam aliran mahayana yang mendasari setiap ajaranya, yang amat penting dipahami
untuk membedakan Sūnyatā dengan nihilisme.
Sūnyatā yang berarti kekosongan,
berkaitan dengan penembusan hakikat dari segala sesuatu. Segala sesuatu
dikatakan kosong (Sūnyatā) merupakan dimana segala fantasi atau konsep, atau
pandangan keliru tentang orang dan benda lenyap seperti halnya mimpi yang
buyar. Manusia serta fenomena (Dharma) lainnya adalah Sūnyatā, kosong dari inti, kosong
berarti substansi. Didalam Prajnaparamitahrdaya
Sutra dikatakan:
“Iha sariputra sarva dharmah sunyata
laksana anutpanna aniruddha amala na vimala nona na paripurnah”
Artinya:
Dalam hal ini; oh,
Sariputra, semua dharma (fenomena) bercirikan kekosongan, mereka tidak muncul
atau pun lenyap; tidak ternoda atau pun murni; tidak kurang atau pun lengkap.
Karena
itu, fenomena-fenomena sesungguhnya adalah nama, di mana terdapat kekosongan, di
sana tak ada wujud, perasaan, persepsi, dorongan pikiran, atau pun kesadaran;
tak ada mata, telinga, hidung, lidah, atau pun pikiran (manas); tak ada bentuk,
suara, bebauan, rasa, obyek yang dapat disentuh, atau pun obyek pikiran; tak
ada unsur indera penglihatan, dan sebagainya, hingga, tak ada unsur kesadaran
pikiran; tak ada kebodohan, tak ada kelenyapan kebodohan, dan sebagainya,
hingga, tak ada kelapukan dan kematian, atau pun lenyapnya kelapukan dan
kematian; tak ada penderitaan, sebab (penderitaan), akhir (penderitaan), atau
pun jalan (yang membawa kepada akhir penderitaan); tak ada pemahaman, tak ada
pencapaian (napraptih) dan tak ada bukan-pencapaian (apraptivat). Istilah “ada” dalam pembahasan Sūnyatā
sesungguhnya suatu keadaan yang “bukan ada”. Ketika seseorang memandang ada
diri, hal tersebut merupakan suatu ungkapan untuk menyatakan adanya perpaduan
kondisi-kondisi yang saling berkaitan hingga dapat membentuk wujud. Hal
tersebut merupakan suatu eksistensi tidak disertai ensensi, sehingga adanya
istilah “saya” sesungguhnya adalah “tidak ada”.
Sūnyatā adalah sinonim dengan ajaran
Buddha tentang anata atau tentang aku. Sūnyatā menyangkal adanya suatu
substansi yang tepisah dan ada dengan sendirinya tanpa tergantung atas
kondisi-kondisi lainnya. Sūnyatā atau Suññata berkaitan dengan ajaran tanpa
diri (anata/anaman). Didalam ajaran
Sūnyatā menunjukan bahwa didalam diri manusia hanyalah perpaduan dari beragai
konsisi-kondisi. Ajaran Sūnyatā memandang tubuh manusia adalah kosong dari inti
yang sejati. Keadaan tersebut diuraikan dalam Prajnaparamitahrdaya Sutra :
“Tams ca svabhava sunyan pasyati sma. Iha
sariputra rupam sunyata sunyataiva rupam rupanna prithak sunyata sunyataya
na prithak rupam yad rupam sa sunyataya sunyata tad rupam. Evam eva
vedana samjna samskara vijnanani”.
Artinya:
Dalam hal ini, oh,
Sariputra, wujud adalah kekosongan (sunyata), dan kekosongan itu sendiri adalah
wujud (rupa); kekosongan tidak berbeda dari wujud, dan wujud juga tidak berbeda
dari kekosongan; apa pun yang merupakan wujud, itu adalah kekosongan, apa pun
yang merupakan kekosongan, itu adalah wujud. Begitu pun halnya dengan perasaan
(vedana), persepsi (samjna), dorongan pikiran (samskara), dan kesadaran
(vijnana).
Dalam
Buddhisme berpandangan teguh pada pandangan yang sedikit berbeda dengan ilmu
pengetahuan. Didalam ilmu pengetahuan membicarakan pengetahuan tentang dunia
ini didasarkan pada sesuatu yang bersifat materi. Akan tetapi, Buddhisme berpandangan bahwa dunia ini
didasarkan pada sesuatu yang bersifat immateri, tidak bersifat mateial.
Sūnyatā
memiliki pandangan yang berbeda dari kaum eternalis dan kaum nihilisme. Pandangan
Buddhisme tentang kekosongan sering disalah artikan sebagai nihilisme. Perlu
diketahui bahwa didalam nihilisme memandang kebenaran atau realitas tidak dapat
diketahui. Dengan adanya anggapan tersebut, dalam memandang dunia mereka
beranggapan bahwa didunia ini merupakan suatu keadaan yang tidak tediri dari
segala sesuatu. Sehingga dari konsep tersebut mereka berpandangan yang menurut
mereka tidak ada hal yang berarti yang dapat dibicarakan tentang dunia. Dalam
pandangan Buddhisme tentang kekosongan dari subtansi-substansi materi
berlawanan dengan dengan ajaran nihilisme. Ajaran Sūnyatā menyatakan bahwa
realitas tertinggi dapat diketahui, tedapat ontologis yang jelas untuk
fenomena, dan seseorang dapat membicarakan dan memperoleh pengetahuan yang
bermanfaat darinya tentang dunia. Kekosongan (Sūnyatā) tidak boleh disamakan
dengan ketiadaan. Kekosongan bukan tidak ada (non-existence) atau pun tidak ada
realitas (non-reality). Kekosongan tersebut sesunggugnya merupakan keadaan yang
penuh dari kondisi-kondisi yang saling berkaitan. Walaupun demikian, apabila
kondisi-kondisi diurai merupakan keadaan yang kosong. Selain itu, dalam
memandang dunia yang kosong dari subsansi-substansi materi, juga berlawanan
dengan ajaran eternalis. Di dalam pandangan eternalis memandang bahwa keadaan
dunia ini sebagai suatu keadaan yang abadi dan kekal; tidak berubah; hal yang
pokok akan selalu ada, yang terdapat dibelakang semua fenomena atau gejala-gejala.
Di dalam ajaran Sūnyatā di Buddhisme memandang segala sesuatu tidak dapat
dikatakan sebagai keadaan yang selalu beruah maupun keadaan yang selalu tetap.
Sūnyatā suatu keadaan yang rill, dimana keadaan Sūnyatā
tidak tedapatnya sesuatu, namun juga bukan keadaan yang hampa dari sesuatu.
Sunyata merupakan keadaan yang jelas dan dapat dihayati secara langsung. Akan
tetapi, tidak mungkin dapat seseorang tangkap pengertian Sūnyatā sepenuhnya
hanya dengan pikiran. Sūnyatā merupakan sesuatu yang semua sifatnya dapat
disebutkan, namun hanya melalui pengalaman langsung yang aktual sajalah
kemungkinannya Sūnyatā dapat ditunjukan ciri-cirinya. Hanya dalam arti yang
demikian filsafat mahayana mengungkapkan arti sunyata. Dan yang harus
dirasakan, dihayati sendiri oleh orang yang ingin mengetahui makna Sūnyatā
melalui penembusan langsung. Buddha dengan jelas mendasarkan ajarannya atas
dasar pengalaman. Pengalaman tersebut haruslah diperoleh melalui pelaksanaan
bhavana hingga mencapai pengetahuan dan pembebasan.
Aliran Yogacara
dan Vijnanavada dari Buddhisme Sūnyatā dengan pengalaman. Di dalam aliran
Yogacara dan Vijnanavada, kekosongan diajarkan sebagai ketidakmampuan untuk
memikirkan suatu objek selain dari kesadaran yang menyadari objek tersebut. Didalam
Yogacara dan Vijnanavada, Sūnyatā diajarkan lebih menekankan pada ketidak
mampuan menguraikan suatu subjek dan objek dalam proses mengetahui (suatu
objek) yang merupakan konsep kekosongan dari Yogacara dan Vijnanavada. Namun,
Sūnyatā itu sendiri bukan berarti suatu konsep tentang “pengalaman”, seperti
yang disarankan oleh aliran Yogacara dan Vijnanavada. Sūnyatā itu berarti
kekosongan yang menunjukan bahwa yang dimaksud adalah keadaan kosong dari
sesuatu konsep. Sūnyatā merujuk pada pengalaman yang aktual itu sendiri, suatu
pengalaman yang diperoleh dalam pengembangan bhavana bukanlah semata-mata suatu
konsep intelektual.
Pengetahuan
Buddhisme menolak akan pandangan pengetahuan dari Hinduisme, dengan
mengemukakan doktrin dasar dari Buddhisme yang dinamai Sūnyatā. Buddha menolak dunia
metafisika atau dunia religius hinduisme yang diterangkan sebagai diluar
pengalaman keindriaan; dan berpendapat bahwa dunia tersebut lebih rill dari
pengalaman keindriaan. Buddha telah mengemukakandoktrin tentang Sūnyatā atau
kekosongan sebagai jawaban yang radikal terhadap pandangan Hinduisme. Kemudian
dalam perkembangan jaman, para filsuf mahayana telah mengemukakan secara
berulang-ulang bahwa Sūnyatā itu meupakan dunia yang tidak bersifat metafisika,
tidak misterius atau kabur, dan bukan merupakan suatu pengertian atau konsep
yang sama sekali abstrak. Selain itu, didalam pembahasan ajaran Sūnyatā
merupakan jawaban yang menjadi jalan tengah diantara berkembangnya dua aliran
eksrtrim (nihilisme dan eternalis).
Kekosongan bukanlah sesuatu yang tidak ada; tetapi lebih menekankan
sesuatu yang tidak bersifat materi, sifat materi tidak dapat kita ketahui
dengan mempergunakan kesadaran yang terbatas.
Buddhisme memiliki pandangan tentang
pengalaman yang bersifat iklusif. Di dalam memandang segala sesuatu tidak hanya
logis, akan tetapi juga berdasarkan pengetahuan yang diperoleh secara langsung.
Dalam memberikan argumentasi dari titik kedudukan bahwa kesunyataan yang
bersifat absolut dan yang paling hakiki itu hanyalah pengalaman yang aktual itu
sendiri. Kemudian Nagarjuna
mengsistematisir ajaran Buddha dan mengatakan bahwa semua kata-kata,
lambang-lambang, konsep-konsep itu hanya dapat membahas kesunyataan yang
didalam sifatnya yang relatif atau empiris saja. Didalam Buddhisme aliran
mahayana, yang dinamakan zat (matter) adalah pengalaman yang
dikonseptualisasikan. Agar dapat membentuk suatu model yang bersifat
simbolik atau konseptual, dari suatu
pengalaman. Sehingga, pengalaman mengenai dunia, tubuh, atau otak, akan lebih
mudah, tidak sukar apabila seseorang menganggap pengalaman sebagai zat (matter).
Filsafat mahayana tentang alam semesta ini terbagi menjadi roh (spirit) dan zat
(matter), dan mentransformasikannya menjadi kekosonga (emptiness) dan bentuk
(form), yang kemudian menjadikan menjadikan pengalaman total dan model-model
konseptual. Dengan hal tersebut, mentransformasikan pandangan yang religius
dari dunia materi yang muncul dan berada didalam dunia spiritual menjadi
pandangan tentang model-model konseptual yang muncul dari dan berada didalam pengalaman
aktual yang bersifat total.
Dengan
demikian, Sūnyatā merupakan suatu ajaran sentral di dalam aliran Mahayana.
Sūnyatā mendasari segala ajaran didalam mahayana. Dapat kita ketahui bahwa
setiap ajaran mahayana tidak terlepas dari ajaran Sūnyatā dalam upaya memahami
ajaran Buddha. Selain itu, ajaran Sūnyatā merupakan suatu ajaran yang menjadi
jalan tengah yang menghindari adanya berbagai pandangan ekstrim yang
dimunculkan oleh kaum nihilisme dan kaum eternalis. Ajaran Sūnyatā tersebut menghapuskan segala
pandangan.
“Seseorang
yang telah memperoleh kemenangan atas ketidaktahuannya mengungkapkan bahwa
kekosongan itu adalah mirip penghapus, yang menghapus segala pandangan. Orang
yang telah memperoleh pengetahuan kekosongan akan memiliki pandangan terang
yang tidak dapat dilenyapkan dari alam pikiran”.
Dengan memberikan bahan bacaan tentang ajaran Sūnyatā,
penulis berharap dapat memberikan pengetahuan kepada pembaca agar tidak
terjebak pada dua pandangan ekstrem dari kaum nihilisme dan kaum eternalis,
agar dapat merealisasikan pencapaian kebahagiaan seperti halnya yang diajarkan
oleh Buddha.
Refrensi:
Suwarto, T. 1995. Buddha Dhamma
Mahayana. Palembang: Majelis Agama Buddha Mahayana.
Della Santina, Petter. 2002. Causality
and Emptiness: The Wisdom of Nagarjuna. Singapore: Buddhist Reserch
Society.
Sugianto, R. 2004 Agama Buddha dan Ilmu Pengetauan. Jakarta: Buddhis
Aryasurya Candra.
Kalupahana, David
J.1994. A History of Buddhist Philosophy. Delhi: Motilal Barnasidas
Publisher Ltd.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar