TANTRAYANA DI TIBET
Pengertian Tantrayana
Pada tahun 747 masehi, Maha Guru Padma Sambhava menjalankan misi ke Tibet.
Beliau pada masa mudanya adalah seorang pangeran dan sangat menyenangi hal-hal
yang bersifat magis. Beliau memiliki kemampuan supranatural yang dipadukan
dengan ajaran-ajaran Hyang Buddha. Berkat kemampuan beliaulah, dukun-dukun
Tibet dapat ditundukkan dan memperoleh simpati dari bangsa Tibet.
Tantrayana di Tibet berkembang hingga menjadi tiga periode. Yakni periode
pertengahan dan pembaharuan serta periode permulaan gelar Dalai Lama (dari abad
XVII hingga sekarang ini). Tantrayana merupakan aliran dalam agama buddha
(mahayana) yang bersifat esoteric atau (rahasia). Aliran ini mengutamakan
praktek-perakatek atau upacara-upacara keagaman yang bersipat mistik
dengan sarana-sarana seperti: mudra,daranai mantra serata mandalapa. Tantra ini
juga menekankan praktek mistik dalam usahanya mencapai persatuan dengan kosmos
dan melalui sarana-sarana seperti sikap tubuh (Mudra), konsentrasi pada ucapan
(Dharani dan Mantra) dan pikiran (Yoga) yang dibantu dengan simbol religius
lainnya.
Berasal dari kosa kata Sanskrit "Vajra" yang berarti berlian
dalam aspek kekuatannya, atau halilintar dalam aspek kedahsyatan dan
kecepatannya, serta dari kata "yana" yang berarti wahana/kereta.
Sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Wang Shifu dengan lugas di atas,
Vajrayana merupakan Jalan Intan. Kata "Tantra" sendiri berarti "Tenun"
dalam bahasa Sansekerta, merujuk kepada prakteknya yang bertahap namun pasti,
seperti tenun itu ibaratnya. Adapun tujuan akhir dari pada Vajrayana, ialah :
Mencapai kesempurnaan dalam pencerahan dengan tubuh fisik kita saat ini di
kehidupan ini juga tanpa harus menunggu hingga kalpa-kalpa yang tak terhitung .
Ajaran-ajaran Buddha Sakyamuni dirangkum ke dalam Vinayana Abhidarma Sutra
dan Tantra. Tantra sendiri diturunkan salah satunya kepada Bhiksu Arya Kashyapa
murid sang Buddha yang terkenal dengan latiahan-latihan kerasnya.
Mantra merupakan pengulangan kata-kata tertentu
yang diaggap suci merupakan hasil akhir dari suatu peringkasan sutra dalam
beberapa tahapan. pertama, sebuah sutra panjang diringkas menjadi
beberayang hanya terdiri dari beberapa suku katasar). Hrdyaini diringkas menjadi dharani yang terdiri dari
satu atau dua baris kalimat , kemudian diringkas menjadi bentuk
mantra yang hanya terdiri dari beberapa suku kata. mantra diringkas menjadi bija-mantra (benuh mantra)
yang hanya terdiri atas satu suku kata tunggal. Mantra bukan magik, melainkan melaikan sarana
budayaan diri,pengembangan mental (bhavana), trasformasi kesadaran untuk merealisasi peribadi agung
(Adhyatman), membantu seseorang terbesar dari jerat jerit duniawi,mencapai
penyatuan dengan obyek pemujaan.
Dalam praktek upacara keagaman tantra yang bersifat
esoterik-mistik itu yang fungsinya merealisasi hubungan sepurna kebuddhan
seperti yang dirumuskan dengan istilah buddha dalam diriku,aku dalam buddha.
Upacra ini biasanya memiliki tiga aspek atau saran :
1.
Mudra : jari berjalin dalam sikap-sikap
tubuh tertentu
2.
Dharani :
syairmistik dan mantra sabda
sejati
3.
Dharana :
kosentrasi yoga
Disamping mudra dharani dan mantra serta kosentrasi
yoga, unsur lain yang tak dapat ditinggalkan dalam praktek meditai
tantra adalah mandala, yaitu sebuah lingkaran seperti
diagram psiko-kosmos yang didalamnya intisari ajaran tantra tergambar
aksara-aksara atau simbol-simbol visual..Terdadapat empat mandalayang
melambangkan tiga misteri badan,ucapan,dan pikiran yaitu :
1.
Maha Mandala : gambar tampat kediaman para Buddha dan
makhluk agung lainnya
2.
Samaya Mandala : juga tempat kediaman para
Buddha dan makhluk agung lainya ditambah dengan benda duniawi
3.
Dharma Mandala : Berbentuk bija aksara melambangkan
para dewa dan ariya lainnya
4.
Karma Mandala : Figur-figur buatan misalnya arca.
Identitas
Tantrayana di Tibet
Identitas
mazhab Tantrayana di Tibet dapat diuraikan sebagai berikut :
- Faktor
pertama adalah gejala luar biasa atau fenomena pelbagai matra atau ukuran
yang dikenal sebagai silsilah turun-temurun (lineage). Silsilah turunan
utama tersebut meliputi para Guru yang diawali dengan Sang Buddha, para
acharya yang berasal dari India sampai dengan guru dari Tibet pada
masa-masa sekarang ini, yang telah memberikan / menurunkan ajaran
Tantrayana baik secara metode lisan maupun tulisan menurut tradisi
turun-temurun.
- Faktor
yang lain adalah kelompok ajaran secara lisan dan tulisan yang dihasilkan
oleh para anggota daripada silsilah turun temurun (lineage) tersebut,
termasuk uraian, karangan, komentar, tafsiran, ulasan, tekstual yang
mengandung unsur ritual dan sebagainya.
- Sekte-sekte
dikenal pula dengan cara latihan masing-masing yang khas dan unik.
Misalnya sekte Kar-gyu-pa menitik beratkan meditasi, yang umumnya disebut
tradisi meditasi atau samadhi. Sedangkan sekte Kah-dam-pa ataupun sekte
Ge-lup-pa dikenal memiliki tradisi disiplin intelektual.
- Faktor
lain yang menonjol dan menarik perhatian adalah gabungan biara/ monastery
tempat para Lama/Bhiksu yang berfungsi sebagai tempat belajar serta tempat
latihan religi. Biasanya suatu biara merupakan markas besar yang resmi
bagi satu sekte sambil dijadikan sebagai suatu contoh atau model bagi yang
lainnya. Setiap sekte besar memiliki banyak biara. Sedang sekte yang kecil
hanya memiliki satu atau dua biara saja.
- Setiap
sekte juga dikenali dengan memimpin spiritual yang berkedudukan tinggi,
biasanya disebut "Tulku".
Sekte-sekte Tantrayana yang utama di Tibet adalah :
1. Sekte nim-ma-pa (sekte jubah merah/ancient red sect):
Anggota sekte ini selalu memakai jubah dan topi merah. Mereka merupakan
keturunan dari garis silsilah (lineage) dari maha guru Padma sambhava.
Mereka menjalankan ajaran esoteric (ajaran rahasia). Ajaran dan interpretasi sekte ini merupakan penggabungan dari Buddha Dharma dan Bon-pa dan di dalam prakteknya mereka tidak hanya merupakan jalan pikiran yang rasional, namun juga memerlukan inspirasi guna menguasai :
Mereka menjalankan ajaran esoteric (ajaran rahasia). Ajaran dan interpretasi sekte ini merupakan penggabungan dari Buddha Dharma dan Bon-pa dan di dalam prakteknya mereka tidak hanya merupakan jalan pikiran yang rasional, namun juga memerlukan inspirasi guna menguasai :
o Dasar permulaan ajaran di transfer langsung dari para
acarya India.
o Mempertahankan tradisi teks-teks kuno yang disimpan /
dipendam dalam bumi (tanah) seperti Kitab Bardo Thodol.
Padmasambhawa dan Santarakshita sebagai pendiri pada
pertengahan abad ke 7. Sekte ini merupakan penggabungan dengan unsur bon-pa.
Semua ide sekte ini adalah sesuai dengan Tantra kidal di India, dan merupakan
sekte lama dari lamaisme. Sekte tersebut kembali pada tahun 1250, dan adalah
jasa dari Gu-ru Chos-dbyang. Sekte ini timbul sub sekte yaitu: Dorjetak-pa,
Nandag-pa, Mindollin-pa, Kartok-pa, Lhatsun-pa. Sekte ini membedakan 2 tingkat
tradisi mereka, ocapan dari guru-guru orang India dan sesuatu yang berharga
terkubur, yang merupakan kitab-kitab suci disembunyikan oleh Padmasambhawa.
2. Sekte Kah-dam-pa
Sekte ini dipelopori oleh Atissa Srinyana Dipankara pada tahun 1042 masehi.
Atissa pada tahun 1012 pernah mengunjungi Sriwijaya dan berguru pada Maha
Acarya Dharmapala selama duabelas tahun, Atissa kembali ke Tibet pada tahun
1042. Beliau wafat tigabelas tahun, kemudian perkembangannya dikemudian hari
sekte ini bergabung denga Ge-lug-pa. Sekte ini mewakili pusat inti tradisi dari
Tibet dan membentuk batasan dengan pandita india.
3. Sekte Ge-lug-pa (Sekte jubah kuning)
Anggota sekte ini mengenakan jubah berwarna kuning. Sekte ini merupakan
pembaharuan dari sekte Kah-dam-pa dan dipelopori oleh Tzong-ka-pa pada abad XV.
Gelug-pa menerima gelar Ta-le atau dalai
dari suku mongol.
4. Sekte Kar-gyu-pa
Sekte ini didirikan oleh Lama Marpa pada abad XI. Garis silsilah (lineage)
sekte ini diawali dengan Buddha Vajradhara (symbol Penerangan Agung). Para
siswa sekte ini dalam pelaksanaan latihan religi dan upacara ritualnya wajib
memandang gurunya sebagai Vajradhara, supaya dapat lebih mendekatkan diri pada
Sang Buddha, sambil menjamin keberhasilan hubungan erat antara guru dan murid.
Salah seorang siswa Marpa yang terkenal adalah Milarepa, yang juga dikenal
sebagai filsuf dan penyair terkenal dari Tibet.
Perbedaan ke Empat Sekte di Tibet
Penggunaan
istilah-istilah teknis adalah salah satu perbedaan utama Tantrayana. Para
Gelugpa berkata bahwa cita itu, yang berarti kesadaran akan sasaran-sasaran,
bersifat tidak tetap, sementara para Kagyupa dan para Nyingmapa menegaskan
sifatnya tetap. Dua kedudukan makna tersebut tampak bertentangan dan saling
terpisah; tapi, sebetulnya, tidak. Istilah “tidak tetap” yang digunakan para
Gelugpa itu bermakna bahwa kesadaran akan sasaran-sasaran bergonta-ganti dari
waktu ke waktu dalam pengertian bahwa sasaran-sasaran yang disadari seseorang
berubah tiap waktu. Dengan istilah “tetap”, para Kagyupa dan Nyingmapa
bermaksud bahwa kesadaran akan sasaran-sasaran itu berlanjut selamanya; sifat
dasarnya tetap tak terpengaruh oleh apapun dan karenanya tidak pernah berubah.
Masing-masing pihak akan saling setuju, tapi karena mereka menggunakan istilah-istilah
dengan makna yang berbeda, tampak seolah-olah pemikiran mereka saling
berbenturan. Para Kagyupa dan Nyingmapa pasti akan beranggapan bahwa kesadaran
sasaran seseorang akan melihat atau mengenali sasaran-sasaran yang berbeda tiap
waktu; sementara para Gelugpa pasti akan sepakat bahwa cita seseorang merupakan
arus kesadaran sasaran yang tak bermula dan tak berakhir.
Perbedaan lain
di antara aliran-aliran Tibet adalah sudut pandang tempat mereka bertolak dalam
menjelaskan berbagai gejala. Menurut Jamyang-kyentse-wangpo, seorang guru Rimey
(gerakan niraliran), para Gelugpa mengajukan penjelasan dari sudut pandang
“sang dasar”, yaitu dari sudut pandang makhluk-makhluk biasa, non-Buddha. Para
Sakyapa menjelaskan dari sudut pandang “sang jalan”, yaitu dari sudut pandang
mereka yang amat sangat maju dalam jalan menuju pencerahan. Para Kagyupa dan
Nyingmapa menjelaskan dari sudut pandang “sang hasil”, yaitu dari sudut pandang
seorang Buddha. Karena perbedaan ini agak mendalam dan rumit untuk dipahami,
biar saya tunjukkan titik mulanya saja untuk menjelajahi persoalan ini. Dari
sudut pandang sang dasar, orang hanya bisa memusatkan perhatian pada kehampaan
atau wujud sekali sewaktu. Oleh karena itu, para Gelugpa bahkan menjelaskan
meditasi arya atas kehampaan dari sudut pandang ini. Arya adalah makhluk
berkesadaran tinggi dengan pemahaman atas kehampaan yang lempang dan nirsekat.
Para Kagyupa dan Nyingmapa menekankan pada tak dapat dipisahkannya dua
kebenaran itu: kehampaan dan wujud. Dari sudut pandang seorang Buddha, orang
tak mungkin dapat bicara tentang kehampaan saja atau wujud saja. Karenanya,
mereka bicara dari sudut pandang segala sesuatu yang telah lengkap dan
sempurna. Penyajian dzogchen oleh Bon setakat dengan sikap penjelasan ini. Satu
contoh penyajian Sakya dari sudut pandang sang jalan adalah pernyataan bahwa
cita bercahaya jernih (kesadaran terhalus dari tiap makhluk tersendiri) itu
penuh sukacita. Kalau hal itu benar pada tingkat sang dasar, maka cita
bercahaya jernih yang mewujud dalam kematian akan penuh sukacita pula, padahal
tidak begitu. Akan tetapi, pada sang jalan, orang menjadikan cita bercahaya
jernih sebagai cita penuh sukacita. Karena itu, ketika para Sakyapa berbicara
tentang cita bercahaya jernih sebagai hal yang penuh sukacita, ini pasti
berasal dari sudut pandang sang jalan.
Perbedaan lain
muncul dari kenyataan bahwa ada dua ada dua jenis pelaku rohani: mereka yang
melalui jalan langkah-demi-langkah dan mereka yang mengalami segalanya
seketika. Para Gelugpa dan Sakyapa kebanyakan bicara dari sudut pandang mereka
yang berkembang melalui tingkat-tingkatan; para Kagyupa, Nyingmapa, dan Bonpo,
khususnya dalam penyajian mereka atas golongan tantra tertinggi, kerap bicara
dari sudut pandang mereka yang mengalami segalanya secara seketika. Walau
penjelasan yang muncul mungkin memberi kesan bahwa masing-masing pihak
menegaskan satu saja jenis cara di sepanjang jalan, itu hanya perkara ragam
mana yang mereka tekankan dalam penjelasannya.
Seperti tadi
disebutkan, semua aliran Tibet menerima Madhyamaka sebagai ajaran paling
mendalam, tetapi cara mereka memahami dan menjelaskan berbagai tata ajaran
filsafati Buddha India agak berbeda-beda. Perbedaannya terasa paling kuat dalam
cara mereka memahami dan melakukan Madhyamaka dalam tantra tertinggi. Karena
ini juga merupakan pokok yang sangat rumit dan mendalam, kita coba untuk
mencerap pemahaman awalnya saja.
Pendekatan
kedua adalah menekankan meditasi pada cita bercahaya-jernih itu sendiri, yang
tanpa seluruh tingkat cita atau kesadaran yang lebih kasar. Dalam lingkung ini,
kesadaran bercahaya-jernih diberi nama “kehampaan-lain”; ia tanpa seluruh
tingkat cita lebih kasar lain. Kehampaan-lain merupakan pendekatan utama
dalamKagyupa Karma, Drugpa, dan Shangpa, para Nyingmapa, dan sebagian Sakyapa.
Tentu saja, masing-masing memiliki cara penjelasan dan meditasi yang agak
berbeda. Kemudian, salah satu wilayah perbedaan utama di antara berbagai perguruan
Tibet adalah cara mereka memaknai kehampaan-diri dan kehampaan-lain; entah itu
mereka menerima yang satu, yang lain, atau keduanya; dan apa yang mereka
tekankan dalam meditasi untuk memperoleh kesadaran bercahaya-jernih atas
kehampaan.
Terlepas dari
perbedaan mengenai kehampaan-diri dan kehampaan-lain ini, semua perguruan Tibet
mengajarkan cara-cara memasuki kesadaran bercahaya-jernih atau, dalam tata
dzogchen, padanannya: rigpa, kesadaran murni. Di sini muncul perbedaan
besar lain. Para Kagyupa non-dzogchen, Sakyapa, dan Gelugpa mengajarkan tentang
melarutkan tingkat-tingkat cita atau kesadaran yang lebih kasar dalam berbagai
tahap untuk memasuki cita bercahaya-jernih. Pelarutan itu dicapai baik dengan
mengupayakan saluran-tenaga halus, angin, cakra, dan seterusnya, atau dengan
secara cergas membangkitkan lebih banyak lagi keadaan kesadaran yang
bersukacita dalam tata-tenaga halus tubuh. Para Nyingmapa, Bonpo, dan para
pelaku rohani silsilah-silsilah dzogchen Kagyupa mencoba untuk mengenali dan
dengan demikian memasuki rigpa yang mendasari tingkat-tingkat kesadaran yang
lebih kasar, tanpa benar-benar terlebih dahulu melarutkan tingkat-tingkat yang
lebih kasar itu. Akan tetapi, karena awalnya di pelatihan mereka terlibat dalam
latihan-latihan dengan saluran-tenaga, angin, dan cakra, mereka mengalami bahwa
tingkat-tingkat kesadaran mereka yang lebih kasar dengan sendirinya larut tanpa
upaya sadar-sengaja lebih lanjut ketika mereka akhirnya mengenali dan memasuki
rigpa.
Malah, para
Sakyapa, Kagyupa, dan Nyingmapa menggunakan banyak kosakata Chittamatra bahkan
dalam penjelasan-penjelasan Madhyamaka mereka, khususnya dalam hal tantra
tertinggi. Para Gelupa jarang sekali melakukan hal yang sama. Akan tetapi,
ketika para non-Gelugpa menggunakan istilah-istilah teknis Chittamatra dalam
penjelasan-penjelasan Madhyamaka tantra tertinggi, mereka memaknainya berbeda
dengan ketika mereka menggunakannya secara ketat dalam lingkung sutra
Chittamatra. Contohnya, alayavijinana (kesadaran landasan) merupakan
satu dari delapan jenis kesadaran terbatas dalam tata sutra Chittamatra. Dalam
lingkung Madhyamaka tantra tertinggi, kesadaran landasan adalah sebuah
kawan-kata bagi cita bercahaya-jernih yang terus berlanjut bahkan ke dalam
ranah ke-Buddha-an.
Kitab Suci Mazhab Tantrayana di Tibet
Mazhab Tantrayana di Tibet memiliki naskah terjemahan kitab suci yang
kebanyakan berasal dari India dan terdiri lebih dari 4.566 naskah. Kumpulan
naskah dalam bahasa Tibet tersebut digolongkan dalamdua bagian, masing-masing :
Bkahgyu r(dibaca Kanjur) yang sebahagian besar adalah terjemahan dari
bahasa Sanskerta dan sebahagian kecil terjemahan dari bahasa mandarin, terdiri
dari 3.458 naskah serta dihimpun dalam tiga bagian, yakni :
1. Dulva (Vinaya), terdiri dari 13 bagian, merupakan
peraturan-peraturan,disiplin, tata tertib untuk anggota Sangha.
2. Do (Sutra), terdiri dari 66 bagian yang mencatat
ajaran Hyang Buddha, seperti halnya dalamsutra-sutra canon pali dan sutta-sutta
kanon sanskerta dan selalu diawali dengan "Demikianlah yang saya
dengar".
3. Chon non pa (Abhidhamma), terdiri dari 21 bagian yang
merupakan pelajaran
Filsafat dan pembahasan dari ajaran Hyang/Sang Buddha.
Bstanghyur (dibaca Tanjur),
merupakan pembahasan atau komentar (tafsir) yang dihimpun dalam dua kitab :
1. Tantra (Rgyud), terdiri dari 22 bagian yang berisi
doa-doa,dharani-dharani, mudra, mandala dan lain-lainnya.
2. Sutra, merupakan pembahasan atau komentar (tafsir)
dari Do (sutra).
Ritual dan Praktek
Jalan Tantra berusaha untuk mengubah nafsu manusia dasar keinginan dan
kemalasan dalam pertumbuhan rohani dan pembangunan. Jadi, bukannya
menyangkal primal seksual dan sensual mendesak seperti dalam agama Buddha
tradisional, praktek Tantra menerima ini mendesak kehidupan sebagai suci energi
kekuatan, yang dimurnikan dan berubah menjadi kekuatan sehat dan sehat
menghubungkan individu dengan kesadaran spiritual yang lebih tinggi. Untuk
menjadi sukses dengan kerja Tantra, seseorang harus memiliki keterampilan dalam
kontrol diri dan penerimaan diri dan orang lain.
Tindakan atau perbuatan itu ada 3 macam, yakni: tubuh, vokal, dan mental.
Pikiran atau perbuatan mental, darimana pikiran yang dikonsentrasikan ialah
keserbaragaman yang paling manjur, menentukan ucapan dan tindakan yang
mempengaruhi pikiran. Perbuatan sakral dari Tantra bertujuan menghasilkan suatu
transformasi mengenai kesadaran dengan usaha dari (secara spiritual) suara dan
gerakan yang sangat mempunyai arti secara spiritual.
Dengan suara yang sangat mempunyai arti secara spiritual dengan berbagai
‘dharani atau mantra’ yang disebabkan oleh akibat yang sangat besar pengulangan
yang konstan ada pada pikiran, menduduki di dalam Buddism Tantra suatu posisi
yang sangat penting. Gerakan yang sangat mempunyai arti itu secara spiritual
mencakup semuanya yang diperbuat oleh sebagian tubuh, seperti mudra yang
dilakukan oleh tangan, dan yang diperbuat mengenai sembah dan tari. Karena
ritual dan perbuatan sakral dapat dibentuk hanya dengan tubuh. Tantra jauh dari
menurunkan tubuh menyambutnya sebagai kapal keselamatan dan memujanya dengan
suatu ekstent yang tidak terdengar dari dalam setiap bentuk lain Buddism. Lebih
dari itu, tidak hanya bagian tubuh dari alam semesta material, tapi banyak
obyek material dikerjakan untuk tujuan sakramen; karena itu Tantra menganggap
dunia itu juga bukan sebagai suatu rintangan tapi sebagai suatu bantuan
Penerangan, memuliakannya sebagai gambar hidup dari keselamatan dan wahyu dari
Yang Absolut. Sebagai ganti mengorbankan dunia itu seseorang harus hidup di
dalamnya, di dalam suatu jalan seperti itu bahwa kehidupan dunia sendirinya
diubah ke dalam kehidupan transendental.
Menurut pandangan Tantra, menanamkan tubuh itu dengan kesucian adalah
kemungkinan dari tindakan manusia pada pikiran bukan hanya oleh gerakan anggota
tubuh tapi dengan memainkan pernafasan dan air mani, semuanya dihubungkan
secara intim bahwa dengan mengendalikan setiap salah satu dari semua itu dan
sisanya yang dua itu dikendalikan secara otomatis. Lagi, dihubungkan tidak
sebanyak dengan perumusan filsafat yang luas daripada dengan notulen yang
mendetail mengenai latihan spiritual, aspek-aspek tertentu yang terlalu
kompleks, sulit, dan sedikit untuk disetujui dengan tulisan. Tantra tentu saja
sangat menegaskan perlunya menerima inisiasi atau upacara dan petunjuk dari
sorang guru spiritual yang ahli.
Kesimpulan
Tantra merupakan aliran dalam agama buddha (mahayana)
yang bersifat esoteric atau (rahasia). Aliran ini mengutamakan
praktek-perakatek atau upacara-upacara keagaman yang bersipat mistik
dengan sarana-sarana seperti: mudra,daranai mantra serata mandalapa. Tantra ini
juga menekankan praktek mistik dalam usahanya mencapai persatuan dengan kosmos
dan melalui sarana-sarana seperti sikap tubuh (Mudra), konsentrasi pada ucapan
(Dharani dan Mantra) dan pikiran (Yoga) yang dibantu dengan simbol religius
lainnya. Aliran tantra di Tibet terdiri dari 4 aliran besar dan masing masing
mempunyai perbedaan dalam hal penggunaan
istilah-istilah teknis, sudut pandang penjelasan, jenis pelaku rohani yang
ditekankan, dan pendekatan pada meditasi atas kehampaan dalam tantra tertinggi
Referensi
·
http://budhisme-sidharta.blogspot.com/2012/06/aliran-tantrayana-mantyayana-dan.html
(diakses tanggal 23 maret 2013)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar