Pathama Miggajala Sutta
Tempat:
Di Savatti
Latar Belakang:
Sutta ini dibabarkan kepada
Yang Mulia Migajala berkenaan pertanyaannya mengenai bagaimanakah yang disebut
seseorang yang berdiam sendirian, dan bagaimanakah yang disebut seorang yang
berdiam dengan teman.
Inti sutta:
Sang Buddha menjelaskan
ketika bentuk-bentuk yang dikenali oleh mata, suara-suara yang dikenali oleh
telinga, bau-bauan yang dikenali oleh hidung, rasa kecapan yang dikenali oleh
lidah, objek-objek sentuhan yang dikenali oleh tubuh, fenomena-fenomena pikiran
yang dikenali oleh pikiran. Disukai, indah, menyenangkan, nikmat, memikat
indria, menggoda. Jika seorang bhikkhu menikmatinya, menyambutnya, dan
terus-menerus menggenggamnya, maka kenikmatan muncul. Ketika ada kenikmatan,
maka ada ketagihan. Jika ada ketagihan, maka ada belenggu. Terikat oleh
belenggu kenikmatan, seorang bhikkhu seperti ini disebut sebagai seorang yang
berdiam dengan teman. Walaupun seorang bhikkhu yang demikian berdiam menetap di
hutan-hutan, di tempat-tempat terpencil di mana terdapat hanya sedikit suara
dan kebisingan, sepi, tersembunyi dari orang banyak, cocok untuk mengasingkan
diri, ia tetap disebut seorang yang berdiam dengan teman. Karena keinginan
adalah temannya, dan ia belum meninggalkannya; oleh karena itu ia disebut
seorang yang berdiam dengan teman.
Sebaliknya ketika
bentuk-bentuk yang dikenali oleh mata, suara-suara yang dikenali oleh telinga,
bau-bauan yang dikenali oleh hidung, rasa kecapan yang dikenali oleh lidah,
objek-objek sentuhan yang dikenali oleh tubuh, fenomena-fenomena pikiran yang
dikenali oleh pikiran. Disukai indah, menyenangkan, nikmat, memikat indria,
menggoda. Jika seorang bhikkhu tidak menikmatinya, tidak menyambutnya, dan
tidak terus-menerus menggenggamnya, maka maka kenikmatan terhenti. Ketika tidak
ada kenikmatan, maka tidak ada ketagihan. Jika tidak ada ketagihan, maka tidak
ada belenggu. Terlepas dari belenggu kenikmatan, seorang bhikkhu seperti ini
disebut seorang yang berdiam sendirian. Walaupun seorang bhikkhu yang demikian berdiam
, menetap di dalam lingkungan desa, bergaul dengan para bhikkhu dan bhikkhuni,
dengan umat-umat awam laki-laki dan perempuan, dengan raja dan para menteri,
dengan para guru sekte lain dan murid-murid mereka, ia tetap disebut seorang
yang berdiam sendirian. Karena keinginan adalah temannya, dan ia telah
meninggalkannya; oleh karena itu is disebut seorang yang berdiam sendirian.
Kesimpulan:
Seorang Bhikkhu
yang belum bisa mengendalikan diri walaupun tinggal di hutan yang sepi akan
tetapi diliputi oleh keingginan-keingginan rendah maka bhikkhu tersebut berdiam
dengan teman. Sebaliknya, ketika seorang
bhikkhu mampu mengendalikan diri walaupun tinggal di pedesaan yang ramai akan
tetapi terbebas dari keingginan-keinginan rendah maka bhikkhu tersebut berdiam
sendirian.
Pesan moral:
Semakin banyak
keingginan semakin dekat dengan penderitaan, semakin sedikit keingginan semakin
dekat dengan kebebesan. Sehingga kendalikanlah segala keingginan-keingginan
rendah kita.
Refrensi:
Bodhi,
Bhikkhu. 2010. Kotbah-Kotbah Berkelompok Sang Buddha Buku 4
Saḷāyatanavagga. Jakarta Barat: Dhammacitta Press.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar