Rabu, 01 April 2015

Latar Belakang Sejarah Menumbuhkan Pemahaman Buddhisme Awal Dan Meningkatkan Keyakinan


Latar Belakang Sejarah Menumbuhkan Pemahaman
Buddhisme Awal Dan Meningkatkan Keyakinan


            Keyakinan seseorang tidak semata-mata tumbuh hanya karena ada unsur percaya, akan tetapi keyakinan terbentuk karena telah memahami nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Keyakinan yang dimaksud lebih mengarah pada kepercayaan menyakini suatu agama untuk dianut. Tidak dapat dipungkiri bahwa seseorang telah menyakini agama dan dianutnya tetapi tidak mengerti nilai-nilai di dalamnya. Hal tersebut dapat dikatakan bahwa keyakinan hanya sebatas mempercayai.Keyakinan dapat diperoleh secara optimal apabila seseorang mempercayai dan benar-benar memahami nilai-nilai yang membawa pada kemajuan pikiran, ucapan dan perbuatan ke arah lebih baik.
            Seseorang yang salah menaruh keyakinan dapat menimbulkan pandangan keliru. Pandangan keliru dapat membawa pada kehancuran. Kehancuran tersebut dapat berupa merosotnya moral manusia yang ditandai dengan munculnya kekotoran batin (lobha, dosa, dan moha). Kemelekatan pada kekotoran batin justru akan lebih dekat dengan penderitaan. Seseorang pada umumnya tidak ingin menderita. Seseorang mampu terlepas dari penderitaan apabila telah terlepas dari kekotoran batin dan pandangan salah.Pandangan salah yang dimaksud di dalam Buddhisme dapat berupa;
Berbagai pandangan salah mengenai masa lampau  terdapat  18 cara:
·         Empat pandangan kepercayaan atta dan loka adalah kekekalan (sassata ditthi)
·         Empat jenis kepercayaan dualisme pada kekekalan dan ketidak-kekelan (ekacca sassata ditthi)
·         Empat pandangan mengenai apakah dunia itu terbatas atau tak terbatas (antnanta ditthi)
·         Empat jenis pengelakan yang tidak jelas (amaravikkhepa vada)
·         Dua dokterin non sebab akibat (adhiccasamuppanna vada)

Berebagai pandangan salah mengenai masa depan terdapat 44 cara
·         Enambelas  jenis kepercayaan pada adanya sanna setelah kematian (uddhamaghatanika sanni vada)
·         Delapan jenis kepercayaan pada tidak adanya sanna setelah kematian (uddahamaghatanika asanni vada)
·         Delapan jenis kepeercayaan pada adanya bukan sanna pun bukan non sanna setelah kematian (uddhamaghatanika nevasanni nasanni vada)
·         Tujuh jenis kepercayaan pada anihilasi (uccheda vada)
·         Lima jenis nibbana duniawi sebagai yang bisa diwujudkan dalam kehidupan ini juga (ditthadhamma nibbana vada)
Pandangan salah dapat dimiliki seseorang berawal dari sebuah keyakinan dan kepercayaan. Hal tersebut dapat dikatakan bahwa pandangan salah dipengaruhi karena menaruh keyakinan tanpa pemahaman. Oleh karena itu, pentingnya memahami sejarah keadaan kerohanian sebelumnya lahirnya agama Buddha sebagai dasar pemahaman terhadap perkembangan munculnya ajaran agama Buddha awal dan sebagai pedoman menuntun menganut agama sebagai suatu hal yang diyakini.
            Keyakinan dapat menjadi sebab munculnya pandangan salah pada diri seseorang dikarenakan adanya suatu ajaran yang mengandung nilai-nilai rendah. Hal tersebut dapat dilihat kembali pada sejarah awal sebelum munculnya agama Buddha.Banyak ajaran-ajaran yang dikaitkan dengan tradisi atau kebudayaan dan mengandung pandangan salah pada masa sebelum munculnya Buddhisme.Ajaran dan tradisi yang mengandung kepercayaan pada pandangan salah di masa sebelum munculnya Buddhisme diantaranya kepercayaan brahmaisme, kepercayaan kaum carvaka, kepercayaan kaum Titthia tradisi sramana, dll. Kepercayaan awal tersebut dapat dilihat dari sejarah awal keadaan kepercayaan keagamaan sebelum agama buddha muncul.
Pembahasan
            Kepercayaan keagamaan pada masa sebelum munculnya agama Buddha merupakan suatu pergerakan dibidang spiritual baru. Abad ke-enam SM juga membuka lembaran baru dalam perjalanan sejarah di India. Pada masa itu merupakan suatu masa yang genting dalam bidang spiritual dan merupakan zaman haus akan intelektual (ketidakpuasan ilmu pengetahuan). Akhir dari abad ke-enam ditandai dengan timbulnya gerakan-gerakan keagamaan yang baru. Berawal dari pemikiran yang berbeda-beda tumbuh saling berdampingan. Perbedaan pemikiran tersebut memunculkan ajaran-ajaran yang baru. Siswa-siswa pengikutnya menempuh hidup bertapa dengan cara menyiksa diridan pemusatan pikiran.Digha Nikaya “Brahmaja Sutta” menyebutkan bahwa perbedaan pemikiran telah  memunculkan 62 aliran-aliran yang saling bertentangan. Aliran tersebut diantaranya Maundavasaka, Jatila, Ajivaka, Magandika, Tedandika, Gotamuka, Nigantha dan Paribbajaka.Dari aliran-aliran tersebut disebutkan juga terdapat enam macam filsafat sebelum adanya Buddhisme. Para tokoh dari enam filsafat tersebut ialah:
1.      Purana Kasapa mengajarkan doktrin tentang tidak adanya “perbuatan”, artinya tidak ada hasil yang baik dari perbuatan baik dan tidak ada akibat jelek dari perbuatan jelek.
2.      Makkali Ghosala adalah orang yang percaya takdir (fatalis). Pendapatnya bahwa manusia tidak bertanggung jawab atas segala perbuatannya dan berkeyakinan bahwa kesucian dapat dicapai dengan “pemindahan” (nyawa) belaka.
3.      Ajita Kesakambali adalah seorang yang bersifat materialistis. Menganggap bahwa makhluk hidup hanya hidup sekali, setalah mati tidak ada kehidupan selanjutnya.
4.      Pakuddha Kaccayana mengajarkan adanya tujuh zat yang kekal, tidak dicipta dan tidak dapat dihancurkan.
5.      Nigantha Putta (Mahavira), sebagai tokoh pendiri aliran Jain yang mengajarkan empat macam peraturan.
6.      Sanjaya Belatthaputta, ajarannya bersifat meragukan akan segala hal. Dia menolak semua ajaran-ajaran mengenai kepribadian (diri) dan menolak membenarkan suatu ajaran sebagai positif maupun negatif.
Dari ke-enam filsafat tersebut merupakan suatu pandangan salah seperti yang termuat di dalam Brahmajala Sutta.Filsafat-filsafat tersebut telah ada sebelum munculnya Buddha dan lahir dari perbedaan pemikiran. Perbedaan pemikiran yang menjadi sebuah kepercayaan muncul oleh para guru yang belum memperoleh penerangan dan pikirannya masih memiliki akar pandangan salah. Munculnya filsafat tersebut juga disusul dengan kepercayaan mengenai ketakhayulan para Brahmana dan Materialisme oleh kaum Carvaka.
            Penyimpangan pemahaman akan pandangan hidup tersebut menimbulkan seseorang buta memaknai kehidupan. Pandangan hidup tesebut masih terjerat oleh penderitaan. Kedatangan Sang Bhagava yang telah mencapai penerangan mampu memahami kebenaran untuk meluruskan pemahaman salah tersebut. Pandangan salah yang ada menciptakan pikiran seseorang lebih tertantang untuk mencari kebenaran yang sesungguhnya. Mengenai pemahaman baru yang muncul karena ketidak cocokan mengenai jalan yang telah ditempuh oleh para pertapa ekstrim berpandangan salah dan telah mengerti kekeliruan demikian, maka menciptakan pemikiran baru untuk mencari jalan tengah. Pencarian jalan tengah dengan maksud untuk menemukan kepercayaan yang benar-benar membawa pada kemajuan.
·         Pandangan yang menganggap tidak adanya “perbuatan” tidak ada hasil yang baik dari perbuatan baik dan tidak ada akibat jelek dari perbuatan jelek. Pandangan demikian akan menjerumuskan seseorang pada ketidaktauan dan membawa pada penderitaan. Pandangan demikian justru membawa seseorang untuk mengimbar hawa nafsu dan bertindak semaunya. Tindakan yang mengandung unsur lobha, dosa, dan moha akan sering dilakukan karena orang yang bertindak menganggap bahwa semua perbuatan tidak menghasilkan karma. Munculnya Buddha untuk mencari jalan tengah yaitu menggunakan pemahaman bahwa semua perbuatan akan memperoleh hasil yang akan diperoleh. Apabila seeorang berbuat baik maka akan memperoleh karma baik dan sebaliknya.
·         Pandangan yang menganggap adanya takdir juga akan membawa pada penderitaan. Cara meluruskan terhadap pandangan yang demikian yaitu dengan ajaran sang Buddha maka akan memahami Karma. Sesuatu terjadi bukan secara kebetuan, akan tetapi didukung oleh faktor-faktor yang lain yaitu hukum sebab musabab yang saling bergantungan.
·         Pandangan materialisme merupakan pandangan yang dapat menyesatkan seseorang dalam bertindak. Dengan pemikiran demikian maka penderitaan akan terus membayanginya. Seseorang cenderung memuaskan keinginannya (lobha) dan menghabiskan waktu hidup untuk berseneng-senang. Cara memuaskan keinginannya masih bersifat duniawi dan hanya akan merasakan kebahagiaan sementara dan duniawi yang akhirnya akan mengalami penderitaan.
·         Sang Buddha mengajarkan bahwa diri bukan merupakan wujud satuan benda akan tetapi merupakan suatu kombinasi dari agregat atau kekuatan fisik mental (pancakkhandha), yang terdiri dari tubuh dan bentuk  (rupakandha), perasaan (vedanakkhandha), pencerapan (sannakkhandha), dan kesadaran (vinnanakkhandha). Kekuatan dari masing-masing unsur bekerja sama sehingga memberi fungsi pada masing-masing bagian. Sang Buddha menjelaskan bahwa di dalam unsur kehidupan tersebut tidak adanya jiwa dan diri yang kekal. Sang Buddha menyatakan alam istilah tegas bahwa kesadaran muncul terggantung pada bentuk, perasaan, pencerapan, dan bentukan mental. Masing-masing komponen tidak dapat berdiri terpisah dari yang lainnya. Dengan pemahaman demikian maka seseorang dapat memahami kehidupan bahwa semua yang berwujud adalah tidak kekal dan akan selalu mengalami perubahan. Setelah seseorang mampu memahami hal tersebut maka akan mengurangi penderitaan dari kesunyataan.

            Pandangan salah yang lain yaitu menguak ketakhayulan Para Brahma diwujudkan pada tradisi kebudayaan dari masyarakat yaitu pelaksanaan upacara pengorbanan yang dinamakan “Yajna”. Dalam upacara tersebut, hewan ternak seperti sapi, kerbau, kambing, kuda dan lain-lain dikorbankan untuk dipersembahkan kepada para dewa-dewi beraneka ragam yang dianggap memberi sumber perlindungan dan tercantum dalam kitab-kitab weda. Selain hewan ternak yang dijadikan objek korban, manusia juga sebagai korban yaitu dengan cara dibunuh kemudian dibakar diatas api yang dianggap api suci. Upacara “Yajna” dengan harapan para dewa-dewi dapat memberi keanugrahan, melindungi, dan membantu mengangkat mereka ke surga setelah meninggal.
            Seiring berjalannya waktu orang-orang mulai membuat aturan atau menyangsikan akan manfaat yang diperoleh dari upacara korban, karena mereka merasa bahwa upacara korban tersebut tidak menghasilkan perubahan dalam hidup. Maka memunculkan tokoh-tokoh yang menggulingkan kekuasaan kaum Brahmana.
            Kepercayaan yang seiring dengan kemunduran kaum Brahmana yaitu paham Materialisme yang dipimpin oleh kaum Carvaka. Para kaum Carvaka memiliki paham bahwa tidak ada kehidupan yang akan datang atau kehidupan selanjutnya setelah meninggal. Mereka juga dapat disebut dengan kaum materialisme sejati, yang beranggapan bahwa manusia mengalami kelahirkan dan kematian hanya sekali. Pandangan demikian mendorong seseorang untuk mengumbar hawa nafsu dan berusaha memuaskan nafsu duniawi. Akan tetapi cara pandang hidup menurut kaum Carvaka bertentangan  dengan kaum Tittha yang merupakan faham ekstrim kedua, yaitu orang-orang yang mengutamakan cara hidup menyiksa diri. Mereka menyadari akan bahaya dari mengejar kenikmatan yang bersifat duniawi. Oleh karena itu, mereka berusaha mengemukakan sebuah faham tata susiala yang dianggap lebih baik.
            Kaum Tittha menganggap adanya roh yang kekal dan bersifat abadi, yang dilahirkan berulang-ulang didalam badan jasmani manusia. Mereka menganggap roh adalah “diri sejati” yang bersemayam didalam tubuh manusia. Oleh karena itu, mereka beranggapan bahwa badan jasmani yang menjadi belenggu roh dan mereka akan bertindak menyiksa badan jasmani untuk memurnikan roh pada tingkat kebahagiaan. Pandangan demikian merupakan sifat ekstrim, keinginan mendapatkan kebahagian akan tetapi dengan cara yang salah.
            Ajaran Sang Buddha mengenai dua pandangan yang ekstrim yaitu pemuasan nafsu dan menyiksa diri, maka Sang Buddha tidak membenarkan dari ke-duanya karena pandangan tersebut masih tercengkram penderitaan. Sang Buddha mencari jalan tengah dan dapat dikatakan bahwa mengatasi penderitaan tanpa penderitaan. Keinginan memperoleh kebahagian dengan cara memuaskan nafsu bukan menjadi jaminan untuk memperoleh kebahagian sejati justru akan menambah penderitaan. Begitu juga keinginan memperoleh kebahagian akhir dengan cara menyiksa diri merupakan hal yang sia-sia karena tidak akan pernah memperoleh kebahagiaan. Kebahagiaan akan diperoleh yaitu apabila memiliki pandangan terang dan selalu melakukan perbuatan bajik. Selain itu juga perlunya menjalani kehidupan dengan sila yang baik, mampu melepas, dan selau mengembangkan tindakan-tindakan bajik.
            Pentingnya memahami sejarah awal yaitu sebagai pencarian jalan tengah dan memahami kebenaran-kebenaran yang sejati. Sejarah awal sebagai penemuan jalan yang sesungguhnya. Menunculkan pemahaman untuk mengatasi penderitaan tanpa penderitaan. Pemahaman demikian muncul karena melihat dari kenyataan yang dialami para pertapa ekstrim, kemudian berkeinginan menemukan jalan untuk meluruskan pandangan tersebut. Oleh karena itu pandangan salah mulai diluruskan dengan harapan semua makhluk menggunakan jalan yang telah ditemukan dan menjadikan pedoman untuk menyeblangi kehidupan menuju kebahagiaan sejati.
            Dengan memahami kebenaran selain dapat melestarikan ajaran yang suci tetapi juga menguatkan keyakinan umat Buddha bahwa menyakini agama Buddha tidah hanya percaya tetapi sadar dan telah paham akan nilai-nilainnya. Hal ini menunjukan bahwa keyakinan dengan penuh pemahaman dan pandangan benar maka bukan lagi disebut dengan kepercayaan semata.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar