Latar Belakang Sejarah Menumbuhkan Pemahaman
Buddhisme Awal Dan Meningkatkan Keyakinan
Keyakinan
seseorang tidak semata-mata tumbuh hanya karena ada unsur percaya, akan tetapi
keyakinan terbentuk karena telah memahami nilai-nilai yang terkandung di
dalamnya. Keyakinan yang dimaksud lebih mengarah pada kepercayaan menyakini
suatu agama untuk dianut. Tidak dapat dipungkiri bahwa seseorang telah
menyakini agama dan dianutnya tetapi tidak mengerti nilai-nilai di dalamnya.
Hal tersebut dapat dikatakan bahwa keyakinan hanya sebatas mempercayai.Keyakinan
dapat diperoleh secara optimal apabila seseorang mempercayai dan benar-benar
memahami nilai-nilai yang membawa pada kemajuan pikiran, ucapan dan perbuatan
ke arah lebih baik.
Seseorang
yang salah menaruh keyakinan dapat menimbulkan pandangan keliru. Pandangan
keliru dapat membawa pada kehancuran. Kehancuran tersebut dapat berupa
merosotnya moral manusia yang ditandai dengan munculnya kekotoran batin (lobha, dosa, dan moha). Kemelekatan pada kekotoran batin justru akan lebih dekat
dengan penderitaan. Seseorang pada umumnya tidak ingin menderita. Seseorang
mampu terlepas dari penderitaan apabila telah terlepas dari kekotoran batin dan
pandangan salah.Pandangan salah yang dimaksud di dalam Buddhisme dapat berupa;
Berbagai pandangan salah mengenai
masa lampau terdapat 18 cara:
·
Empat pandangan kepercayaan atta dan
loka adalah kekekalan (sassata ditthi)
·
Empat jenis kepercayaan dualisme pada
kekekalan dan ketidak-kekelan (ekacca
sassata ditthi)
·
Empat pandangan mengenai apakah dunia
itu terbatas atau tak terbatas (antnanta
ditthi)
·
Empat jenis pengelakan yang tidak jelas (amaravikkhepa vada)
·
Dua dokterin non sebab akibat (adhiccasamuppanna vada)
Berebagai pandangan salah mengenai
masa depan terdapat 44 cara
·
Enambelas jenis kepercayaan pada adanya sanna setelah
kematian (uddhamaghatanika sanni vada)
·
Delapan jenis kepercayaan pada tidak
adanya sanna setelah kematian (uddahamaghatanika
asanni vada)
·
Delapan jenis kepeercayaan pada adanya bukan
sanna pun bukan non sanna setelah kematian (uddhamaghatanika
nevasanni nasanni vada)
·
Tujuh jenis kepercayaan pada anihilasi (uccheda vada)
·
Lima jenis nibbana duniawi sebagai yang
bisa diwujudkan dalam kehidupan ini juga (ditthadhamma
nibbana vada)
Pandangan salah dapat dimiliki seseorang
berawal dari sebuah keyakinan dan kepercayaan. Hal tersebut dapat dikatakan
bahwa pandangan salah dipengaruhi karena menaruh keyakinan tanpa pemahaman.
Oleh karena itu, pentingnya memahami sejarah keadaan kerohanian sebelumnya
lahirnya agama Buddha sebagai dasar pemahaman terhadap perkembangan munculnya
ajaran agama Buddha awal dan sebagai pedoman menuntun menganut agama sebagai
suatu hal yang diyakini.
Keyakinan
dapat menjadi sebab munculnya pandangan salah pada diri seseorang dikarenakan
adanya suatu ajaran yang mengandung nilai-nilai rendah. Hal tersebut dapat
dilihat kembali pada sejarah awal sebelum munculnya agama Buddha.Banyak ajaran-ajaran
yang dikaitkan dengan tradisi atau kebudayaan dan mengandung pandangan salah pada
masa sebelum munculnya Buddhisme.Ajaran dan tradisi yang mengandung kepercayaan
pada pandangan salah di masa sebelum munculnya Buddhisme diantaranya
kepercayaan brahmaisme, kepercayaan kaum carvaka, kepercayaan kaum Titthia
tradisi sramana, dll. Kepercayaan awal tersebut dapat dilihat dari sejarah awal
keadaan kepercayaan keagamaan sebelum agama buddha muncul.
Pembahasan
Kepercayaan
keagamaan pada masa sebelum munculnya agama Buddha merupakan suatu pergerakan
dibidang spiritual baru. Abad ke-enam SM juga membuka lembaran baru dalam
perjalanan sejarah di India. Pada masa itu merupakan suatu masa yang genting
dalam bidang spiritual dan merupakan zaman haus akan intelektual (ketidakpuasan
ilmu pengetahuan). Akhir dari abad ke-enam ditandai dengan timbulnya
gerakan-gerakan keagamaan yang baru. Berawal dari pemikiran yang berbeda-beda
tumbuh saling berdampingan. Perbedaan pemikiran tersebut memunculkan
ajaran-ajaran yang baru. Siswa-siswa pengikutnya menempuh hidup bertapa dengan
cara menyiksa diridan pemusatan pikiran.Digha Nikaya “Brahmaja Sutta”
menyebutkan bahwa perbedaan pemikiran telah memunculkan 62 aliran-aliran yang saling
bertentangan. Aliran tersebut diantaranya Maundavasaka, Jatila, Ajivaka,
Magandika, Tedandika, Gotamuka, Nigantha dan Paribbajaka.Dari aliran-aliran
tersebut disebutkan juga terdapat enam macam filsafat sebelum adanya Buddhisme.
Para tokoh dari enam filsafat tersebut ialah:
1. Purana Kasapa mengajarkan doktrin tentang tidak adanya
“perbuatan”, artinya tidak ada hasil yang baik dari perbuatan baik dan tidak
ada akibat jelek dari perbuatan jelek.
2. Makkali Ghosala adalah orang yang percaya takdir
(fatalis). Pendapatnya bahwa manusia tidak bertanggung jawab atas segala
perbuatannya dan berkeyakinan bahwa kesucian dapat dicapai dengan “pemindahan”
(nyawa) belaka.
3. Ajita Kesakambali adalah seorang yang bersifat
materialistis. Menganggap bahwa makhluk hidup hanya hidup sekali, setalah mati
tidak ada kehidupan selanjutnya.
4. Pakuddha Kaccayana mengajarkan adanya tujuh zat yang
kekal, tidak dicipta dan tidak dapat dihancurkan.
5. Nigantha Putta (Mahavira), sebagai tokoh pendiri
aliran Jain yang mengajarkan empat macam peraturan.
6. Sanjaya Belatthaputta, ajarannya bersifat meragukan
akan segala hal. Dia menolak semua ajaran-ajaran mengenai kepribadian (diri)
dan menolak membenarkan suatu ajaran sebagai positif maupun negatif.
Dari ke-enam filsafat tersebut merupakan
suatu pandangan salah seperti yang termuat di dalam Brahmajala Sutta.Filsafat-filsafat tersebut telah ada sebelum
munculnya Buddha dan lahir dari perbedaan pemikiran. Perbedaan pemikiran yang
menjadi sebuah kepercayaan muncul oleh para guru yang belum memperoleh
penerangan dan pikirannya masih memiliki akar pandangan salah. Munculnya
filsafat tersebut juga disusul dengan kepercayaan mengenai ketakhayulan para
Brahmana dan Materialisme oleh kaum Carvaka.
Penyimpangan
pemahaman akan pandangan hidup tersebut menimbulkan seseorang buta memaknai kehidupan.
Pandangan hidup tesebut masih terjerat oleh penderitaan. Kedatangan Sang
Bhagava yang telah mencapai penerangan mampu memahami kebenaran untuk
meluruskan pemahaman salah tersebut. Pandangan salah yang ada menciptakan
pikiran seseorang lebih tertantang untuk mencari kebenaran yang sesungguhnya.
Mengenai pemahaman baru yang muncul karena ketidak cocokan mengenai jalan yang
telah ditempuh oleh para pertapa ekstrim berpandangan salah dan telah mengerti
kekeliruan demikian, maka menciptakan pemikiran baru untuk mencari jalan
tengah. Pencarian jalan tengah dengan maksud untuk menemukan kepercayaan yang
benar-benar membawa pada kemajuan.
·
Pandangan
yang menganggap tidak adanya “perbuatan” tidak ada hasil yang baik dari
perbuatan baik dan tidak ada akibat jelek dari perbuatan jelek. Pandangan
demikian akan menjerumuskan seseorang pada ketidaktauan dan membawa pada
penderitaan. Pandangan demikian justru membawa seseorang untuk mengimbar hawa
nafsu dan bertindak semaunya. Tindakan yang mengandung unsur lobha, dosa, dan
moha akan sering dilakukan karena orang yang bertindak menganggap bahwa semua
perbuatan tidak menghasilkan karma. Munculnya Buddha untuk mencari jalan tengah
yaitu menggunakan pemahaman bahwa semua perbuatan akan memperoleh hasil yang
akan diperoleh. Apabila seeorang berbuat baik maka akan memperoleh karma baik
dan sebaliknya.
·
Pandangan
yang menganggap adanya takdir juga akan membawa pada penderitaan. Cara
meluruskan terhadap pandangan yang demikian yaitu dengan ajaran sang Buddha
maka akan memahami Karma. Sesuatu terjadi bukan secara kebetuan, akan tetapi
didukung oleh faktor-faktor yang lain yaitu hukum sebab musabab yang saling
bergantungan.
·
Pandangan
materialisme merupakan pandangan yang dapat menyesatkan seseorang dalam
bertindak. Dengan pemikiran demikian maka penderitaan akan terus membayanginya.
Seseorang cenderung memuaskan keinginannya (lobha) dan menghabiskan waktu hidup
untuk berseneng-senang. Cara memuaskan keinginannya masih bersifat duniawi dan
hanya akan merasakan kebahagiaan sementara dan duniawi yang akhirnya akan
mengalami penderitaan.
·
Sang Buddha mengajarkan bahwa diri bukan
merupakan wujud satuan benda akan tetapi merupakan suatu kombinasi dari agregat
atau kekuatan fisik mental (pancakkhandha),
yang terdiri dari tubuh dan bentuk (rupakandha), perasaan (vedanakkhandha), pencerapan (sannakkhandha), dan kesadaran (vinnanakkhandha). Kekuatan dari
masing-masing unsur bekerja sama sehingga memberi fungsi pada masing-masing
bagian. Sang Buddha menjelaskan bahwa di dalam unsur kehidupan tersebut tidak
adanya jiwa dan diri yang kekal. Sang Buddha menyatakan alam istilah tegas
bahwa kesadaran muncul terggantung pada bentuk, perasaan, pencerapan, dan
bentukan mental. Masing-masing komponen tidak dapat berdiri terpisah dari yang
lainnya. Dengan pemahaman demikian maka seseorang dapat memahami kehidupan
bahwa semua yang berwujud adalah tidak kekal dan akan selalu mengalami
perubahan. Setelah seseorang mampu memahami hal tersebut maka akan mengurangi
penderitaan dari kesunyataan.
Pandangan
salah yang lain yaitu menguak ketakhayulan Para Brahma diwujudkan pada tradisi
kebudayaan dari masyarakat yaitu pelaksanaan upacara pengorbanan yang dinamakan
“Yajna”. Dalam upacara tersebut, hewan ternak seperti sapi, kerbau, kambing,
kuda dan lain-lain dikorbankan untuk dipersembahkan kepada para dewa-dewi
beraneka ragam yang dianggap memberi sumber perlindungan dan tercantum dalam
kitab-kitab weda. Selain hewan ternak yang dijadikan objek korban, manusia juga
sebagai korban yaitu dengan cara dibunuh kemudian dibakar diatas api yang
dianggap api suci. Upacara “Yajna” dengan harapan para dewa-dewi dapat memberi
keanugrahan, melindungi, dan membantu mengangkat mereka ke surga setelah
meninggal.
Seiring
berjalannya waktu orang-orang mulai membuat aturan atau menyangsikan akan
manfaat yang diperoleh dari upacara korban, karena mereka merasa bahwa upacara
korban tersebut tidak menghasilkan perubahan dalam hidup. Maka memunculkan
tokoh-tokoh yang menggulingkan kekuasaan kaum Brahmana.
Kepercayaan
yang seiring dengan kemunduran kaum Brahmana yaitu paham Materialisme yang
dipimpin oleh kaum Carvaka. Para kaum Carvaka memiliki paham bahwa tidak ada
kehidupan yang akan datang atau kehidupan selanjutnya setelah meninggal. Mereka
juga dapat disebut dengan kaum materialisme sejati, yang beranggapan bahwa
manusia mengalami kelahirkan dan kematian hanya sekali. Pandangan demikian
mendorong seseorang untuk mengumbar hawa nafsu dan berusaha memuaskan nafsu
duniawi. Akan tetapi cara pandang hidup menurut kaum Carvaka bertentangan dengan kaum Tittha yang merupakan faham
ekstrim kedua, yaitu orang-orang yang mengutamakan cara hidup menyiksa diri.
Mereka menyadari akan bahaya dari mengejar kenikmatan yang bersifat duniawi.
Oleh karena itu, mereka berusaha mengemukakan sebuah faham tata susiala yang
dianggap lebih baik.
Kaum
Tittha menganggap adanya roh yang kekal dan bersifat abadi, yang dilahirkan
berulang-ulang didalam badan jasmani manusia. Mereka menganggap roh adalah
“diri sejati” yang bersemayam didalam tubuh manusia. Oleh karena itu, mereka
beranggapan bahwa badan jasmani yang menjadi belenggu roh dan mereka akan
bertindak menyiksa badan jasmani untuk memurnikan roh pada tingkat kebahagiaan.
Pandangan demikian merupakan sifat ekstrim, keinginan mendapatkan kebahagian
akan tetapi dengan cara yang salah.
Ajaran
Sang Buddha mengenai dua pandangan yang ekstrim yaitu pemuasan nafsu dan
menyiksa diri, maka Sang Buddha tidak membenarkan dari ke-duanya karena
pandangan tersebut masih tercengkram penderitaan. Sang Buddha mencari jalan
tengah dan dapat dikatakan bahwa mengatasi penderitaan tanpa penderitaan.
Keinginan memperoleh kebahagian dengan cara memuaskan nafsu bukan menjadi
jaminan untuk memperoleh kebahagian sejati justru akan menambah penderitaan.
Begitu juga keinginan memperoleh kebahagian akhir dengan cara menyiksa diri
merupakan hal yang sia-sia karena tidak akan pernah memperoleh kebahagiaan.
Kebahagiaan akan diperoleh yaitu apabila memiliki pandangan terang dan selalu
melakukan perbuatan bajik. Selain itu juga perlunya menjalani kehidupan dengan
sila yang baik, mampu melepas, dan selau mengembangkan tindakan-tindakan bajik.
Pentingnya
memahami sejarah awal yaitu sebagai pencarian jalan tengah dan memahami
kebenaran-kebenaran yang sejati. Sejarah awal sebagai penemuan jalan yang
sesungguhnya. Menunculkan pemahaman untuk mengatasi penderitaan tanpa
penderitaan. Pemahaman demikian muncul karena melihat dari kenyataan yang
dialami para pertapa ekstrim, kemudian berkeinginan menemukan jalan untuk
meluruskan pandangan tersebut. Oleh karena itu pandangan salah mulai diluruskan
dengan harapan semua makhluk menggunakan jalan yang telah ditemukan dan
menjadikan pedoman untuk menyeblangi kehidupan menuju kebahagiaan sejati.
Dengan
memahami kebenaran selain dapat melestarikan ajaran yang suci tetapi juga
menguatkan keyakinan umat Buddha bahwa menyakini agama Buddha tidah hanya
percaya tetapi sadar dan telah paham akan nilai-nilainnya. Hal ini menunjukan
bahwa keyakinan dengan penuh pemahaman dan pandangan benar maka bukan lagi
disebut dengan kepercayaan semata.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar